Militerisasi Kepulauan Spratly: Upaya Balancing oleh Tiongkok?

Cindy Angelica Wijaya
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
15 November 2022 8:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Angelica Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi militerisasi kepulauan Spratly oleh Tiongkok (FOTO: Cindy Angelica Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi militerisasi kepulauan Spratly oleh Tiongkok (FOTO: Cindy Angelica Wijaya)
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah tumbuh menjadi salah satu negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia dengan pengeluaran militer terbesar kedua setelah Amerika Serikat, yaitu mencapai 229 miliar USD pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Salah satu kepentingan yang mendorong peningkatan militer Tiongkok adalah masalah Laut Cina Selatan. LCS merupakan kawasan perairan di Asia Tenggara dengan nilai ekonomi dan geostrategi yang sangat penting. Hal ini karena LCS merupakan bagian dari jalur perairan terpenting dunia dan diketahui memiliki cadangan minyak bumi dan gas alam yang sangat besar.
Pada tahun 2014, Tiongkok mulai meningkatkan kapasitas militernya di LCS dengan mereklamasi dan membangun pangkalan-pangkalan militer di kepulauan Spratly Islands, yaitu di pulau Mischief Reef. Pada tahun 2022, pembangunan telah mencakup 2 daerah lain yaitu Subi Reef dan Fiery Cross.

Kepulauan Spratly dalam Sengketa Laut Cina Selatan

Kepulauan Spratly merupakan sekelompok ‘pulau’ kecil di bagian tenggara LCS. Pada kenyataannya, Kepulauan Spratly merupakan sekelompok objek maritim yang sebagian adalah gugusan batu karang bawah laut dan pulau rendah yang permukaannya sangat kecil.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Spratly Islands memiliki nilai simbolis dan geostrategis yang sangat penting dalam konflik LCS. Hal ini karena negara yang bisa mengklaim Spratly Islands memiliki kuasa lebih untuk mengekspansi ZEE-nya ke perairan sekitar kepulauan tersebut dan mendapatkan hak eksklusif atas perairan tersebut. Hal ini yang membuat negara-negara yang terlibat dalam sengketa LCS seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia berlomba mencaplok teritori di pulau-pulau tersebut dengan membangun pelabuhan-pelabuhan kecil dan bahkan menempatkan pemukiman disana.
Namun, Tiongkok mengambil langkah ekstrim yaitu mereklamasi pulau-pulau rendah tersebut yang awalnya hanya tumpukan pasir menjadi pulau buatan yang dapat menunjang kegiatan ekonomi dan militernya. Per tahun 2021, ketiga reef telah sepenuhnya di militerisasi dengan gudang, hanggar, pelabuhan laut, landasan pacu, radar, serta misil anti-pesawat terbang dan anti-kapal. Pemerintah Tiongkok juga menempatkan kapal-kapal patrolinya di sekitar perairan Kepulauan Spratly.
ADVERTISEMENT

Upaya Menyaingi Kekuatan Amerika Serikat?

Langkah agresif Tiongkok dalam memiliterisasi Kepulauan Spratly bersinggungan dengan kepentingannya dalam melakukan klaim atas LCS dan menempatkan diri sebagai pesaing dari kekuatan Amerika Serikat di Indo-Pasifik. Apabila dilihat dari posisi strategis pangkalan militer Tiongkok di Spratly, dapat dilihat bahwa salah satu kepentingan Tiongkok adalah upaya Balancing terhadap kekuatan militer AS di kawasan.
Balancing merupakan upaya dari sebuah atau sekelompok negara untuk mengimbangi kekuatan militer dari negara lain yang berpotensi lebih kuat dengan tujuan mencegah terjadinya pemusatan kekuatan pada satu negara tersebut. Sederhananya, balancing merupakan upaya sebuah negara melindungi diri dari negara lain yang berpotensi lebih kuat dengan mengimbangi kekuatan militer negara tersebut.
Selama beberapa dekade, Amerika Serikat telah menjadi kekuatan adidaya tunggal di dunia. Hal ini membuat AS dapat menggunakan kekuatan angkatan lautnya untuk mengawasi perairan internasional, termasuk di kawasan Asia Tenggara yang juga meliputi daerah perairan LCS.
ADVERTISEMENT
AS dan sekutunya juga telah menjalin hubungan dengan beberapa negara di Asia-Pasifik. Pengaruh AS dan sekutu secara militer di kawasan dapat kita lihat dari pendirian pangkalan militer di Okinawa (Jepang), Darwin (Australia), dan penempatan militer di Singapura. Tiga basis militer barat ini membentuk sebuah segitiga yang menyelimuti kawasan Asia Tenggara dan LCS. Didirikannya pangkalan militer Tiongkok di Spratly merupakan langkah yang strategis karena Kepulauan Spratly berada di tengah-tengah segitiga tersebut.
Bentrokan antara AS dan Tiongkok di Kepulauan Spratly pun pernah terjadi pada Oktober 2015 ketika kapal perang AS berlayar melewati perairan berjarak 12 mil dari Subi Reef. Tiongkok merespon dengan mengirim kapal perangnya sendiri bersama kapal patroli sebagai peringatan keras. Hal ini menunjukkan bahwa militerisasi Kepulauan Spratly memberikan Tiongkok kesempatan dan kuasa lebih untuk menekan aktivitas militer AS di LCS dengan menggunakan kekuatan militer yang telah ia bangun.
ADVERTISEMENT