Konten dari Pengguna

Fenomena Belanja Online Terus Menerus: Gaya Hidup Atau Kecanduan?

Cindy Laurent Agustina
Mahasiswi UIN K.H ABDURRAHMAN WAHID Pekalongan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
15 Desember 2024 16:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Laurent Agustina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi Fenomena Belanja Online Terus-Menerus: Gaya Hidup atau Kecanduan? (Sumber: Artificial Intelligent)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Fenomena Belanja Online Terus-Menerus: Gaya Hidup atau Kecanduan? (Sumber: Artificial Intelligent)
ADVERTISEMENT
Dalam era globalisasi yang serba instan, budaya konsumerisme telah menjadi fenomena yang tak terelakkan. Konsumerisme bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi, melainkan telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia, menciptakan pola pikir bahwa kepemilikan barang adalah penentu kebahagiaan dan keberhasilan. Berbagai produk dan layanan hadir bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk membentuk identitas sosial. Namun, apakah budaya konsumerisme ini murni sebuah pilihan gaya hidup modern, atau telah menjelma menjadi kecanduan yang merugikan individu dan masyarakat?
ADVERTISEMENT
Meski pertanyaan tersebut dapat terjawab berdasarakan perspektif masing-masing individu, namun secara universal, di satu sisi konsumerisme dapat dilihat sebagai gaya hidup yang mencerminkan nilai-nilai tertentu. Dalam masyarakat modern, konsumsi barang dan jasa sering kali menjadi cara individu mengekspresikan diri, menunjukkan preferensi, atau bahkan meraih pengakuan sosial. Misalnya, memilih gadget terbaru bukan hanya soal fungsionalitas, tetapi juga mencerminkan seseorang yang “melek teknologi.” Tren fesyen juga berfungsi sebagai pernyataan identitas, di mana pakaian bermerek tertentu bisa dianggap sebagai simbol status.
Dalam konteks ini, konsumerisme dipandang positif karena menjadi medium bagi individu untuk mengartikulasikan kepribadiannya. Pilihan konsumsi juga mencerminkan kesadaran nilai, seperti memilih produk ramah lingkungan yang menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan. Bahkan, dalam skala tertentu, konsumsi dapat mendorong inovasi teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan roda ekonomi.
ADVERTISEMENT
Namun, batas antara gaya hidup dan kecanduan dalam konsumerisme sangatlah tipis. Masalah muncul ketika konsumsi tidak lagi didasarkan pada kebutuhan atau keinginan yang rasional, tetapi pada dorongan emosional atau bahkan tekanan sosial. Belanja menjadi semacam pelarian, bukan solusi, untuk mengatasi rasa bosan, stres, atau kesepian. Kesenangan yang didapat dari pembelian sering kali hanya bersifat sementara, meninggalkan perasaan kosong yang mendorong individu untuk terus mengulangi siklus tersebut.
Fenomena ini diperburuk oleh keberadaan media sosial dan algoritma digital yang terus-menerus memasarkan barang kepada konsumen berdasarkan data perilaku mereka. Iklan yang muncul tanpa henti memanipulasi persepsi kita, seolah-olah kita selalu membutuhkan lebih banyak barang untuk mencapai kebahagiaan. Ini membuat banyak orang kehilangan kontrol atas keputusan konsumsi mereka, yang secara perlahan menjebak mereka dalam lingkaran kecanduan belanja. Kecanduan konsumsi barang dengan membeli terus-menerus, tidak hanya merugikan individu secara emosional dan finansial, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas. Salah satu konsekuensi yang paling nyata adalah krisis lingkungan. Tren seperti fast fashion menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar yang sulit terurai, sementara produksi barang elektronik memicu peningkatan limbah elektronik yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, konsumerisme juga menciptakan ketimpangan sosial. Orang-orang yang tidak mampu mengikuti gaya hidup konsumeristik sering kali merasa terpinggirkan, menciptakan tekanan mental dan perasaan inferioritas. Bahkan, muncul fenomena “utang konsumtif,” di mana orang rela berutang hanya untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan demi mengikuti tren.
Mengatasi budaya konsumerisme yang berlebihan membutuhkan kesadaran kolektif. Individu perlu belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, penting untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar membutuhkannya? Pendekatan minimalis, di mana seseorang hanya membeli barang yang benar-benar esensial, dapat menjadi solusi untuk memutus lingkaran konsumsi yang tidak sehat.
Disamping itu, pemerintah dan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mendorong pola konsumsi yang lebih berkelanjutan. Ini bisa dilakukan dengan mempromosikan produk ramah lingkungan, mendukung bisnis lokal, dan mengedukasi masyarakat tentang dampak konsumsi berlebihan terhadap planet ini. Media sosial juga harus dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang gaya hidup sederhana, alih-alih terus mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Sehingga, budaya konsumerisme pada intinya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan modern. Namun, ketika konsumsi berubah dari kebutuhan menjadi kecanduan, kita harus mulai merefleksikan kembali prioritas hidup. Apakah kita mengendalikan apa yang kita konsumsi, atau justru sebaliknya, konsumerisme telah mengendalikan kita?
Jawaban atas pertanyaan “apakah fenomena belanja online secara terus menerus merupakan sebuah gaya hidup atau kecanduan” tidak hanya menentukan kualitas hidup individu, tetapi juga masa depan lingkungan dan masyarakat global. Konsumsi yang bijak dan bertanggung jawab adalah kunci untuk mengubah budaya konsumerisme dari sesuatu yang merusak menjadi kekuatan yang mendukung kesejahteraan bersama.