Konten dari Pengguna

Memaknai Romantisme Mudik Lebaran

Cindy Muspratomo
Penulis lepas, bookstagrammer, dan pemilik lapak haka bookstore
18 April 2023 21:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Muspratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemudik antre untuk memasuki Kapal KM Gunung Dempo di Terminal Penumpang Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (15/4/2023). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pemudik antre untuk memasuki Kapal KM Gunung Dempo di Terminal Penumpang Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (15/4/2023). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Puasa tinggal menghitung hari, lebaran sudah mendekat, aktivitas pekerjaan juga sudah berhenti. Kaum perantau yang ingin kembali ke kampung halaman, hari-hari ini sudah pasti sibuk dengan persiapan mudik lebaran.
ADVERTISEMENT
Entah menyiapkan bekal untuk anak-anak di perjalanan, entah memastikan tiket sudah aman dengan berkali-kali memeriksa tanggal dan jam keberangkatan agar jangan sampai ketinggalan. Atau, menghitung-hitung uang yang sudah dimasukkan amplop warna-warni untuk nanti dibagikan ke tetangga, keponakan, dan sanak saudara.
Bagi perantau yang sentimentil seperti saya, mudik selalu jadi momen khidmat dan romantis. Mudik bukan lagi sekadar rutinitas tahunan, tapi lebih dari itu, mudik adalah pemuas kebutuhan batin. Bagi saya pribadi, ketika pulang kampung, saya seperti menemukan oase di tengah padang pasir, di sana saya kembali menemukan sumber air, sumber kesegaran, dan sumber kehidupan.
Bukan bermaksud lebay, memang kenyataannya begitu. Hidup dan bekerja di kota yang jaraknya ratusan kilometer jauhnya, saya merasa seperti musafir yang berbulan-bulan tak menemukan apa pun selain gersang.
ADVERTISEMENT
Maka, mudik ke kampung halaman seperti nyemplung dalam telaga untuk minum bergalon-galon air kerinduan. Di dalam kepala saya sudah terbayang aroma masakan emak, celoteh riang sanak saudara, juga aneka cerita pahit manis kehidupan teman-teman lama.
Meski domisili di kartu keluarga dan KTP sudah berubah, meski bahasa dan budaya sehari-hari yang saya gunakan bukan lagi bahasa dan budaya kampung halaman saya, meski sudah menetap di kota orang bertahun-tahun lamanya, namun, bagi saya… tetap, kampung halaman adalah segalanya.
Kota domisili saya tinggal saat ini bukanlah sebuah rumah, namun hanya tempat singgah sementara. Bagi saya, rumah sesungguhnya adalah rumah bapak ibu saya di kampung, rumah di mana saya lahir dan dibesarkan, rumah yang sederhana, yang sepi, yang aroma dinding dan lantainya terpatri betul dalam kepala saya.
ADVERTISEMENT
Ibarat pohon, saya adalah cabang pohon yang tumbuh dan mengular jauh ke kampung orang lain, tapi akarnya tetap mencengkeram erat tanah dan kerikil kampung sendiri. Sejauh apa pun cabang itu tumbuh, ia akan tetap terikat pada akarnya yang kuat menghunjam bumi.
Saya yakin saya bukanlah satu-satunya manusia yang merasa begitu romantis dengan fenomena mudik. Ribuan bahkan mungkin jutaan manusia lain saya rasa juga sama. Maka, jangan heran ketika lebaran tiba, mode transportasi darat, laut, dan udara penuh sesak dengan tubuh-tubuh bahagia yang tak sabar ingin pulang ke rumah. Pulang ke "akar".

Mudik dan Ketahanan Budaya

Sejumlah kendaraan melintas di Tol Jakarta-Cikampek, Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (30/4/2022). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
Selain berguna untuk nostalgia dengan keluarga dan memenuhi kebutuhan rindu batin saya, mudik juga momen berharga bagi saya untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan budaya kepada anak-anak saya. Pada momen mudik lebaran inilah datang kesempatan saya untuk memperkenalkan anak-anak saya akan segala kekayaan kearifan lokal kampung halaman kami.
ADVERTISEMENT
Anda tahu, sebagai orang yang amat mencintai kampung halamannya, tentu saya termasuk orang yang teguh memegang ajaran leluhur. Dan, begitu pula harapan saya terhadap anak-anak saya. Saya ingin mereka bersikap sama. Saya ingin mereka tak lupa akan sangkan paraning dumadi, tak lupa akan "akar".
Tentu harapan saya ini butuh usaha besar agar terwujud, karena bagaimanapun juga, tidak seperti saya, anak-anak saya tidak lahir dan besar di kampung, mereka lahir dan besar di kota perantauan yang tentu adat, budaya, dan pergaulan yang mereka jalani sehari-hari amat berbeda. Nilai-nilai yang mereka serap juga pasti tidak sama.
Oleh karenanya, saya tidak ingin anak-anak saya tumbuh dewasa tanpa tahu di mana akarnya. Saya tidak ingin mereka jadi orang-orang dewasa yang bingung mendefinisikan identitas kedaerahannya. Saya sedih jika kelak mereka kehilangan nilai-nilai luhur dan akhirnya menjadi sosok tanpa kultur.
ADVERTISEMENT
Saya emoh anak-anak saya tumbuh besar seperti beberapa peserta didik saya yang kebingungan ketika saya tanya, “Kamu termasuk suku apa?” Mereka bimbang dan kesulitan mendefinisikan identitasnya karena mereka lahir dan besar di kota yang heterogen, yang membuat mereka bertemu dengan berbagai ragam manusia, yang lalu lintas transfer kebudayaannya tumpang tindih tidak jelas.
Selain itu, barangkali orang tua mereka merasa tak perlu susah-susah mentransfer kearifan atau kebudayaan daerah asal mereka. Hal itu semakin diperparah dengan budaya yang mereka jalani, budaya perkotaan yang lupa identitas kedaerahan.
Lahirnya individu-individu yang bimbang akan indentitas kedaerahannya tentu hal yang menurut saya menyedihkan. Bagaimanapun juga, salah satu ketahanan nasional yang mesti dijaga adalah ketahanan budaya.
ADVERTISEMENT
Tanpa ketahanan budaya, maka nasib bangsa kita di masa depan akan terombang-ambing. Bisa-bisa kelak kita jadi bangsa tanpa jati diri. Masalahnya, bagaimana kita bisa mempertahankan budaya bangsa jika individunya saja bimbang mendefinisikan indentitas kedaerahannya.
Pemudik membawa barang bawaannya menuju Kapal KM Gunung Dempo di Terminal Penumpang Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (15/4/2023). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Oleh sebab itu, momen mudik lebaran adalah momen sakral bagi saya untuk mengedukasi anak-anak saya akan jati diri dan identitas kedaerahannya. Hanya pada saat itulah saya bisa memperkenalkan mereka secara langsung dengan aneka budaya dan tradisi di kampung halaman saya.
Pada momen itulah mereka saya kenalkan dengan arsitektur-arsitektur khas yang hanya ada di kampung halaman saya seperti petirtaan, masjid-masjid kuno, juga makam-makam keramat para wali dan leluhur.
Selain itu, saya kenalkan juga dengan produk-produk kreatif daerah saya seperti batik atau kuliner khas. Dan, tak kalah penting adalah memperkenalkan mereka pada aneka tradisi seperti kenduri, manganan (sedekah bumi), kupatan, juga kesenian musik seperti tongklek.
ADVERTISEMENT
Dengan upaya edukasi sederhana macam itu, saya berharap mudik tidak hanya menjadi momen liburan dan suka cita menikmati lebaran di kampung halaman, tapi juga kesempatan berharga untuk menanamkan identitas. Dengan demikian bisalah dengan agak bangga saya menganggap upaya yang saya lakukan itu adalah salah satu bentuk nyata ikut serta menjaga ketahanan budaya.
Akhinya bisa saya simpulkan, mudik menjadi momen romantis bukan saja karena kita bisa berkumpul dengan sanak saudara, tapi ia juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga akar dan identitas kedaerahan kita.