Konten dari Pengguna

Refleksi Hardiknas 2023: Menilik Pentingnya Ekosistem Belajar yang Baik

Cindy Muspratomo
Penulis lepas, bookstagrammer, dan pemilik lapak haka bookstore
2 Mei 2023 16:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Muspratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sekolah dasar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sekolah dasar. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Hardiknas 2023. Bicara mengenai pendidikan, mendidik itu seperti bertani. Bedanya, jika bertani menumbuhkan tanaman, mendidik menumbuhkan manusia.
ADVERTISEMENT
Ada banyak faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya pertanian. Salah satunya faktor petani. Kita pasti setuju, untuk menghasilkan panen yang baik, kita membutuhkan petani yang cakap, yang mengerti cara menyemai bibit, yang paham mengolah tanah, dan yang tahu pasti kapan memupuk, kapan dari menyiram, berapa takaran pupuk dan air, dan sebagainya.
Jika dalam dunia pertanian berhasil tidaknya proses menanam berada di tangan petani, maka dalam dunia pendidikan yang menjadi sosok penting adalah guru. Ya, kita butuh guru yang cakap agar bibit-bibit muda tumbuh subur dan baik dan menghasilkan 'panen' yang menggembirakan.
Namun, perlu kita ingat, walaupun penting, tapi petani bukanlah satu-satunya hal yang menentukan berhasil tidaknya pertanian. Ada hal lain yang tak kalah penting, yang kadang bahkan petani secakap apa pun akan kesulitan menghadapinya. Hal yang saya maksud adalah ekosistem.
ADVERTISEMENT
Dalam urusan pertanian, bibit sebaik apa pun akan mati jika ditanam dalam ekosistem yang buruk, dalam tanah yang tandus, musim yang kerontang, suhu yang buruk, dan sebagainya.
Begitu pula di dunia pendidikan. Guru yang cakap saja masih kurang untuk membiakkan bibit-bibit muda menjadi pohon yang baik. Mudahnya, saya ingin sampaikan, selain guru yang cakap, agar pendidikan kita menjadi baik, kita perlu juga ekosistem yang mendukung.
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
Percayalah, sebagaimana bibit tanaman, anak secemerlang apa pun akan sia-sia jika berada dalam ekosistem belajar yang menyedihkan.
Kondisi pendidikan kita yang masih tertinggal dari negara-negara lain (ditunjukkan dengan capaian skor PISA kita pada 2018 lalu yang 100 poin di bawah skor rata-rata) barangkali tidak saja diakibatkan karena buruknya kualitas guru, melainkan juga akibat ekosistem belajar yang tidak buruk.
ADVERTISEMENT
Ekosistem yang saya maksud di sini bukan saja ekosistem sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, melainkan ekosistem keluarga dan masyarakat.
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan kita, pernah menyebut-nyebut soal Tripusat Pendidikan. Sosok yang kiprah dan pemikirannya dalam dunia pendidikan sungguh luar biasa ini tidak hanya mendirikan Taman Siswa, lembaga pendidikan bagi rakyat pribumi, tapi juga menyumbangkan pemikiran-pemikiran brilian yang menjadi dasar filosofi pendidikan nasional.
Terkait dengan tulisan singkat ini, salah satu konsep pendidikan Ki Hadjar yang hendak saya gaungkan kembali adalah konsep Tripusat pendidikan. Sederhananya, Tripusat pendidikan adalah konsep yang menjelaskan bahwa ada tiga ekosistem penting dalam proses pendidikan, yakni ekosistem keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Menurut Ki Hadjar, pendidikan akan mencapai targetnya jika ketiga ekosistem tersebut saling berkolaborasi dan bersinergi. Artinya pendidikan tidak hanya tergantung pada ekosistem sekolah semata, tapi juga ekosistem di luar sekolah.
Ilustrasi Sekolah Dasar Swasta Bekasi. Foto: Shutter Stock
Ekosistem pertama yang perlu diperhatikan adalah ekosistem keluarga. Cobalah kita pertanyakan pada diri sendiri, sudahkah ekosistem di keluarga kita mendukung aktivitas pendidikan anak-anak kita?
ADVERTISEMENT
Salah satu kesalahan fatal orang tua dalam mengupayakan pendidikan yang bermutu untuk anak-anaknya adalah menyerahkan urusan pendidikan sepenuhnya pada pihak sekolah, lalu lepas tangan.
Sekolah, bagaimanapun juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Ia bukan tukang sulap yang mampu mengubah besi berkarat menjadi emas. Sebaik apa pun guru-guru yang dimiliki, selengkap apa pun fasilitas yang dipunyai, ia tetap bukanlah satu-satunya ekosistem di mana anak mendapatkan pendidikan.
Bahkan menurut saya, ekosistem keluarga lebih penting dibanding sekolah. Sebab, di lingkungan keluarga inilah seorang anak mula-mula mengenal sistem norma, etika, dan nilai-nilai. Pembentukan utama watak, karakter, cara berpikir atau belief system seorang anak, dilakukan pertama dan utama di lingkungan keluarga.
Itulah sebabnya, penting sekali memastikan ekosistem di keluarga kita adalah ekosistem belajar yang baik.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menumbuhkan ekosistem belajar yang baik dalam lingkungan keluarga dengan banyak cara. Misalnya, menerapkan kebiasaan membaca, atau menyediakan perpustakaan mini di pojok-pojok rumah.
Bisa juga mengajak anak mengamati fenomena alam dan sosial di sekitar rumah, juga diskusi ringan di meja makan tentang topik-topik hangat di media. Yang paling mudah saya kira dengan mendongeng atau membacakan satu cerita sebelum anak tidur.
Ilustrasi Dongeng Anak. Foto: delcarmat/shutterstock
Menumbuhkan ekosistem belajar yang baik di dalam lingkungan keluarga tidak hanya membuat anak merasa nyaman belajar di rumah, tetapi juga membuat mereka mencintai aktivitas belajar.
Sungguh ironis, ketika orang tua yang gagal menumbuhkan ekosistem belajar yang baik di lingkungan keluarga kemudian berharap anaknya akan tumbuh menjadi sosok pembelajar yang baik.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang guru, saya sering mendapati orang tua yang mengeluhkan anaknya yang tidak suka membaca. Respons mula-mula saya tentu bertanya, apakah orang tua anak tersebut sudah menumbuhkan ekosistem gemar membaca di rumah? Jika tidak maka sudah dapat disimpulkan dari mana sumber masalahnya.
Berikutnya, ekosistem lain yang tak kalah penting adalah ekosistem belajar di lingkungan masyarakat. Seringkali sebagai seorang guru saya merasa sedih ketika melihat fakta rusaknya generasi muda akibat pengaruh buruknya lingkungan sekitar.
Di sekolah guru-guru sudah bekerja demikian keras mendidik anak-anak, tetapi ketika mereka berada di luar sekolah, lingkungan sekitar mereka merusak sendi-sendi pendidikan yang telah kami berikan.
Sekolah berusaha keras menumbuhkan kecintaan anak-anak pada literasi, pada ilmu pengetahuan, guru-guru bekerja serius membentuk akhlak mulia anak-anak. Tapi seringkali kami merasa miris, sebab di luar sekolah, kenakalan remaja merajalela, pornografi tersebar bebas, tayangan-tayangan di televisi tidak mendidik, konten-konten edukasi kalah oleh konten hiburan yang merusak, dan sebagainya.
Ilustrasi anak SMA Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Saya yakin para guru akan sangat bahagia jika pemerintah (pusat maupun daerah) mampu menumbuhkan ekosistem belajar yang baik dalam lingkungan masyarakat. Mungkin lewat aneka ragam kegiatan positif dengan bekerja sama dengan karang taruna setempat.
ADVERTISEMENT
Atau menyediakan perpustakaan kota atau taman-taman baca yang lengkap dan menyenangkan di segala penjuru. Bisa juga dengan mendirikan gelanggang olahraga dan kesenian serta mengaktifkannya dengan segala kegiatan yang menunjang pendidikan.
Yang tidak kalah penting adalah perlunya upaya serius memberantas kenakalan remaja dan penyebabnya dengan berbagai cara, selain itu, akan menjadi kabar baik jika pemerintah mulai sungguh-sungguh mengetatkan regulasi tayangan televisi atau konten-konten di media sosial, juga mendukung konten-konten positif dan edukatif.
Dengan membangun ekosistem belajar yang baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta didukung guru-guru yang cakap dan berkualitas, tentu kondisi pendidikan kita tidak akan begini-gini saja.