5 Tahun Tak Bisa Punya Anak, Ternyata Suamiku Miliki Putra dari Selingkuhannya

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 17:32 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com/bdcbethebest
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com/bdcbethebest
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Seharusnya pernikahan menjadi bukti nyata dari sebuah komitmen. Janji yang diucapkan hari itu bukan hanya sebuah kata-kata manis melainkan sebuah ikatan dunia dan akhirat.
ADVERTISEMENT
Sepasang kekasih yang melakukan ikatan suci itu seharusnya bisa menerima kelebihan dan melengkapi kekurangan pasangannya. Namun, romansa seperti itu hanya delusi untukku, aku tidak pernah menginginkan penyakit atau ketidakberuntungan tidak memiliki seorang anak dari rahimku sendiri.
Apalah dayaku, kalau Dia berkehendak tidak memberikannya padaku? Sudah delapan tahun kami menikah dan separuh lebih dari itu kami mengusahakan agar memiliki seorang anak dari rahimku sendiri. Mulai dari medis sampai alternatif, tetapi semua hasilnya nihil.
Aku menyarankan agar kami mengadopsi seorang anak, paling tidak kami memiliki seseorang yang merawat ketika tua nanti. “Aku tidak bisa mencintai anak yang bukan anakku!” ucapnya. Dia bersikukuh tidak menginginkan aku mengadopsi seorang anak padahal aku sudah sering datang ke sebuah tempat penampungan anak.
ADVERTISEMENT
Ada satu anak perempuan yang ingin sekali aku miliki. Aku sering bertemu dengannya meski belum mengabarkan kalau aku ingin mengadopsinya karena terhalang persetujuan suamiku. Anak itu dan aku seperti sudah memiliki koneksi tersendiri. Aku jatuh hati pada anak itu.
Tepat satu bulan setelah aku merajuk ingin mengadopsi seorang anak, aku menemukan sebuah tas olahraga milik suamiku yang ia simpan di rak paling bawah di dalam lemari. Ketika aku membuka tas itu, betapa bahagianya aku melihat banyak mainan anak kecil di dalamnya.
“Dia pasti sudah berubah pikiran dan ingin mengejutkankupikirku.
Aku mulai sering menyanyikan lagu-lagu kesukaanku saat melakukan banyak pekerjaan rumah. Aku juga banyak memikirkan apa saja yang akan kami lakukan saat anak tersebut ada di rumah. Semuanya pasti akan berubah menjadi menyenangkan.
ADVERTISEMENT
“Rumah kami akan ramai dan penuh mainan!” pikirku.
Lalu dua hari setelah menemukan mainan itu di dalam tas olahraganya, suamiku izin pergi ke luar kota karena ada perjalanan bisnis. Aku tidak curiga mengapa ia membawa tas olahraga itu karena berpikir kalau dia ingin memberiku sebuah kejutan.
Mungkin saja ia sudah mengurus surat izin mengadopsi dan anak itu akan tiba ketika ia kembali ke rumah. Pikiranku sudah melayang ke hal-hal menyenangkan yang akan aku rasakan ketika anak itu hadir di tengah-tengah kami. Rupanya semua itu hanya pikiran dan harapanku saja.
Entah dia bodoh atau bagaimana, seminggu setelah dia pergi aku malah menemukannya berada di sebuah taman yang tidak jauh dari kota tempat tinggalku. Aku melihatnya sedang bersama seorang anak laki-laki yang memanggilnya dengan sebutan “Ayah.”
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan aku melihat seorang wanita yang berjalan mendekat dengan membawa tiga buah es krim. Lalu memberikannya pada mereka berdua, aku sangat terkejut sekaligus marah. Marah karena dirinyalah aku tidak bisa mengadopsi anak perempuan di tempat penampungan anak.
Sejujurnya, perasaanku terhadap suami tidak terlalu penting dibandingkan memiliki seorang anak yang bisa kucintai lebih dari apa pun. Aku menunggu hingga wanita dan anak itu menjauh dari suamiku kemudian menghampirinya. Aku hanya ingin tahu mengapa ia tidak mau meninggalkanku ketika memang dia memiliki hidup yang lebih bahagia bersama selingkuhannya.
“Aku hanya kasian sama kamu, kalau aku tinggal kamu akan hidup seorang diri” katanya.
Betapa menyedihkannya diriku di dalam pandangannya, saat itu aku memutuskan untuk berpisah dan membiarkan dia yang mengurus semuanya.
ADVERTISEMENT
Aku bertekad untuk mengadopsi anak perempuan itu meski tidak memiliki suami. Butuh keyakinan dan tekad yang besar untuk mengambil keputusan itu karena sangat jelas, kenyataan terbesar yang harus kuhadapi adalah biaya. Membesarkan anak seorang diri tidak mudah karena ia tidak hanya membutuhkan kasih sayang tetapi juga masa depan yang cerah.
Hampir dua bulan aku selalu pergi ke tempat penampungan itu sambil membulatkan tekadku. Di sana aku bertemu dengan seorang pria yang juga ingin mengadopsi anak yang sama. Ia juga masih ragu untuk mengadopsi anak itu seorang diri, akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya selagi ia masih berada di tempat penampungan anak.
Kami berbagi tugas dan kasih sayang kepada anak itu sampai benar-benar siap untuk mengadopsinya. Aku tidak keberatan berbagi anak dengannya. Lagipula anak itu memang membutuhkan kasih sayang dari seorang laki-laki. Satu tahun sudah berjalan, sepulang kerja aku selalu menyempatkan diri bertemu dengan anak perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Di akhir pekan, aku akan bertemu dengannya untuk mengajak anak perempuan itu bermain bersama. Bohong jika aku bilang selama satu tahun itu kami tidak merasa dekat. Kami selalu bertukar cerita dan pemikiran jika anak perempuan itu sedang tidur siang.
Seiring berjalannya waktu, kami memutuskan untuk menikah dan mengadopsi anak tersebut. Kehidupan pernikahan keduaku berjalan begitu menyenangkan meski masih harus banyak beradaptasi dari kehidupan lama kami. Buatku cinta pada pria bukanlah segalanya, aku bisa mencintai pria kapan pun aku mau, tetapi cinta pada anak itu butuh waktu selamanya.
Aku merasa diajarkan banyak hal oleh anak yang kami adopsi hingga akhirnya ketika anak itu berusia dua tahun, aku mendapatkan kabar bahagia. Aku bisa memiliki anak dari rahimku sendiri.
ADVERTISEMENT
Semua penantian dan rasa sakit karena pernah dikhianati seolah terbayar sudah, anak yang kami adopsi setelah menikah memberikan banyak pelajaran dan tentunya mendatangkan kebahagiaan bagi kamu.