Ayah Tiriku adalah Pacarku

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2021 21:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Sebenarnya ini menjadi rahasia terbesar dalam hidupku, tidak pernah ada yang tahu tapi rasanya aku sangat gatal untuk bercerita.
ADVERTISEMENT
Hidupku terasa normal seperti kebanyakan orang memiliki sepasang orang tua yang sangat mencintai aku seolah mereka akan mati tanpaku. Ayah adalah seorang seniman sekaligus pengurus sebuah komunitas yang sangat aktif. Sering kali ayah manggung di salah satu teater terbesar kota untuk melakoni sebuah peran, aku dan ibu selalu diajak untuk melihatnya tampil atau sekadar latihan bersama teman-temannya.
Banyak pemeran teater yang kenal baik denganku bahkan mengajariku bagaimana caranya mendalami seni peran. Aku selalu tertawa saat berada di tengah-tengah pemain teater karena mereka biasanya akan bersenda gurau bersama untuk mencairkan suasana yang tegang. Kertas yang bertumpuk, orang lalu-lalang, alat rias di mana-mana, sampai pendalaman karakter yang selalu seru untuk kutonton.
Dulu aku berpikir bagaimana caranya seseorang memiliki banyak karakter hingga bisa mendalami banyak peran. Mungkin aku yang dilihat mereka paling berminat dengan dunia seni peran karena selalu memaksa ayah ikut agar bisa merasakan berada di balik panggung. Aku selalu terkagum-kagum dengan cerita yang mereka bawakan, biasanya cerita rakyat yang diangkat kembali dengan sisipan komedi atau kritik.
ADVERTISEMENT
Hingga aku dewasa, aku sangat senang sekali dengan dunia seni sampai masuk ke sebuah universitas seni di kota besar. Setelah masuk ke sana, ternyata aku baru melihat dengan jelas kehidupan nyata para seniman di mana mereka melakukan beragam cara agar imajinasinya keluar dengan sempurna. Mulai dari merokok sampai berbungkus-bungkus, minuman alkohol, sampai obat-obatan terlarang mereka konsumsi demi karya.
Cara setiap orang mengeluarkan idenya sangat beragam dan beberapa temanku ada yang melakukan hal demikian agar imajinasi liarnya bisa keluar dan tertuang di atas kanvas. Begitu pula dengan seni musik, peran, dan banyak hal lainnya dan aku sungguh terkejut lalu berpikir “apakah Ayah juga melakukan hal yang sama seperti mereka?” tapi dengan cepat pemikiran itu kutepis jauh-jauh. Aku tahu betul siapa ayahku dan tidak mungkin dia melakukan hal itu.
ADVERTISEMENT
Ayah selalu melakukan sesuatu saat bersamaku kemudian pergi secara tiba-tiba untuk menuliskan ide atau garis besar cerita yang terpikirkan olehnya saat itu. Mungkin memang begitu nikmatnya menjadi seorang seniman, harus cepat-cepat menuliskan ide saat dia muncul sebelum menguap entah ke mana. Ayah sangat senang saat tahu aku mulai mengikuti jejaknya menjadi seniman dan ibu pun mendukung penuh apa pun yang kupilih.
Mungkin mereka tahu ketertarikanku pada dunia seni sudah ada sejak dulu, jadi ketika memilih universitas seni mereka sama sekali tidak menentangku. Bulan demi bulan, aku semakin memahami kehidupan sebagai seorang seniman dan materi yang kupelajari pun tidak mudah. Aku sangat mengerti kenapa kebanyakan orang memilih untuk melakukan banyak hal agar semua imajinasi mereka bisa mencengangkan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Tanpa sepengetahuan kedua orang tua, aku mulai mengikuti gaya hidup seperti seorang seniman dan minuman beralkohol sudah menjadi hal biasa buatku. Namun di pertengahan kuliah, aku dikejutkan oleh teriakan ibu karena ayah terjatuh di kamar mandi. Aku yang saat itu masih mengerjakan tugas dan belum tidur sama sekali langsung berlari ke kamar ayah dan melihat kondisinya yang sudah tidak sadarkan diri.
Aku dan ibu membawa ayah langsung ke rumah sakit. Aku menyetir ke rumah sakit dengan bercucuran air mata, khawatir sekaligus takut sedangkan ibu menemani ayah yang sudah terbaring di kursi belakang. Tidak tahu seberapa kencang aku menekan pedal gas hingga sampai ke depan pintu UGD sebuah rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pikiranku sudah tak karuan tapi aku harus menenangkan ibu yang sudah tidak karuan, pihak rumah sakit langsung membawa ayah ke ruang UGD lalu ICU.
ADVERTISEMENT
Pikiranku semakin kacau saat melihat ayah dimasukkan ke dalam ruangan ICU setelah satu jam berada di ruang UGD. Satu minggu aku melewatkan banyak kelas di kampus dan fokus menunggu ayah di ICU, beberapa kali teman-teman ayah sesama pemain peran datang tapi ibu hanya bisa menangis tanpa suara. Tepat di hari sepuluh ayah pergi meninggalkan kami, ibu dan aku merasa sangat terpukul hingga tidak bisa keluar dari kamar selama berminggu-minggu setelah kematian ayah.
Aku baru tahu kalau ayah meninggal usai memainkan sebuah peran di atas panggung, ternyata ayah harus terus mengonsumsi sebuah obat agar stamina dan pikirannya bisa tetep fokus. “Selama ini Ayah seperti memiliki dua kepribadian ketika dia memainkan sebuah peran, Ibu seperti tidak mengenali Ayahmu” ucapnya saat kami tengah berada di dalam kamar yang sama. “Ayahmu baru kembali normal saat mengonsumsi obat ini” tambahnya sambil menunjukkan sebuah obat yang sudah tidak ada isinya.
ADVERTISEMENT
Kuambil bungkus obat itu dan menyesal karena selama ini menganggap kalau ayah tidak akan pernah seperti kebanyakan seniman di luar sana. “Kalau aku tahu Ayah mengonsumsi ini seharusnya aku bisa menghentikannya Bu” ucapku, “Ayah tidak akan pernah mau menunjukkannya di depan kamu, kamu itu kelemahan sekaligus kekuatannya” balas ibu, ternyata ayah jatuh karena sudah overdosis mengonsumsi obat itu tanpa anjuran dokter.
Hidupku jadi berantakan, aku sudah tidak fokus melanjutkan kuliah karena merasa sudah tidak ada lagi semangatku di dunia ini untuk menjadi seorang seniman tapi ibu terus mendorongku agar menyelesaikannya. Teman-teman ayah pun juga mendorongku dan memberi dukungannya dengan mengajakku terjun langsung di dunia seni peran. Beberapa kali aku memerankan sebuah peran dalam seni teater di panggung tempat biasa ayah tampil, di tengah pertunjukkan air mataku tak kuasa tertahan lagi.
ADVERTISEMENT
Aku menangis karena mengingat jelas bagaimana ayah menghabiskan hidupnya untuk dunia seni peran ini. Teman-teman ayah juga menangis, mengingat perjuangan mereka hingga akhirnya pertunjukan itu banyak disaksikan orang. Mereka mengatakan kalau aku adalah duplikat ayah, gaya bicaraku dan semangatku sangat mirip dengannya. “Kamu itu bagai pinang dibelah dua dengan Ayahmu, dia pasti bangga kalau kamu meneruskan jalannya” ucap salah satu sahabat ayah.
Sering datang ke teater dan tetap melanjutkan kuliah membuatku merasa mendapat banyak tekanan tapi kematian ayah sering kali menjadi batasanku dalam mengonsumsi minuman alkohol. Tiap kali datang ke teater, ibu pasti ada di sana karena selain mendukungku dia juga tidak merasa kesepian di rumah tapi lama-lama ada yang aneh. Ibu terlihat seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, belum lagi ada pria asing yang selalu menemaninya di bangku penonton saat aku tampil.
ADVERTISEMENT
Tiga tahun setelah kematian ayah, aku melanjutkan kariernya dan ibu menikah dengan pria yang ia kenal saat menonton pertunjukkan pertamaku. Pria itu berkulit eksotis, berdada bidang meski wajah dan rambutnya sudah terlihat menua. Dia sangat jauh berbeda dengan ayah, dia adalah pria yang menjadi seleraku selama ini dan alasanku setuju ibu menikahinya karena aku bisa memandangnya kapan pun aku mau.
Kebiasaan ibu tetap sama dan tidak pernah berubah, dia tetap menjadi ibu rumah tangga yang mengurus semua kebutuhan keluarga. Suatu hari aku sedang berpakaian terbuka dan lupa kalau papa tiriku sedang ada di rumah, tiba-tiba aku mendapatkan pesan singkat darinya “bajumu terlalu terbuka, ganti sana” tulisnya, “gantiin dong Pa” balasku. Niat hanya menggodanya tapi papa justru mengetuk pintu kamarku, kupikir dia hanya meledek dan setelah pintu terbuka dia langsung masuk dan mencumbuku dengan bergairah.
ADVERTISEMENT
Bukannya menolak aku justru merasa gembira, pria yang selama ini kutaksir ternyata juga menyukaiku dan setelah bercumbu kami melakukan hubungan itu di kamarku karena kebetulan ibu sedang pergi ke supermarket. Dia menciumku terus-menerus setelah kami menyelesaikan ‘urusan’ itu, mungkin karena dia merasakan hal yang berbeda dariku “I love you” ucapnya, “I love you too Papa” sahutku. Kemudian papa keluar dari kamarku dan lima belas menit setelahnya ibu kembali dari supermarket membawa kantong belanjaan penuh. Sejak hari itu, aku dan papa sering melakukannya kalau ibu tidak di rumah karena kebetulan papa selalu bekerja dari kantor dan juga penikmat seni. Sekarang aku menemukan cara lain untuk melepaskan tekanan dalam hidupku, meski aku tahu kalau ini semua terbongkar aku akan menyakiti hati ibuku sendiri.
ADVERTISEMENT