Konten dari Pengguna

Brondong Ibu Datang Ketika Ayah Tak Berdaya

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
29 September 2021 15:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Sejak dulu aku selalu terkagum-kagum dengan kemesraan kedua orang tuaku yang biasa mereka tunjukkan pada kami, anak-anaknya. Bagaimana cara ayah memuji ibu atau sebaliknya, cara ibu memperlakukan ayah yang terlihat begitu harmonis. Aku selalu merasa beruntung telah dilahirkan di tengah-tengah keluarga kecil ini dan sering kali aku dan kakakku meledek mereka saat bermesraan.
ADVERTISEMENT
Hari-hariku terasa sangat bahagia meski harus kuakui kami selalu dilanda kesulitan ekonomi. Bagiku itu tidak masalah karena selama masih ada mereka, kami tahu akan masih ada harapan yang terbuka lebar. Mereka tidak akan menelantarkan kami, mereka sangat mencintai kami. Kami pun tumbuh menjadi seorang wanita dan pria dewasa yang pintar melihat kesempatan untuk menghasilkan uang. Dari kecil aku dan kakakku selalu meminta ibu untuk membuatkan kami sesuatu agar bisa dijual, meski awalnya menolak tetapi akhirnya ayah dan ibu sepakat kalau keuntungannya hanya untuk uang jajan tambahan kami.
Bertahun-tahun kami lewati bersama, rasanya seperti makan asam-garam kehidupan. Namun perekonomian ayah melonjak drastis ketika ia pernah menolong seseorang yang tak pernah ia kenal, pria itu awalnya hanya memberi pekerjaan tetapi entah melihat potensi apa yang ada di dalam diri ayah sampai akhirnya karir ayah melonjak tajam. Tapi di balik jabatan tinggi tentu saja ada tanggung jawab yang sangat besar, ayah menjadi sering pulang larut malam dan terlihat sangat tertekan.
ADVERTISEMENT
Aku tahu ia menutupinya agar kami tidak merasa menjadi beban untuknya, tapi aku sebagai seorang pria pun bisa melihat itu dengan nyata hanya dari kerut di dahinya. Kehidupan kami memang jauh membaik tetapi kemesraan ayah dan ibu tidak pernah luntur sepertinya, aku menganggap kalau peluh ayah menjadi pengorbanan untuk menghidupi orang tercintanya. Semua berjalan dengan sangat baik hingga aku menduduki kelas dua sekolah menengah atas, ayah mulai sakit karena mungkin tubuhnya tidak kuat menanggung semua tekanan yang terlimpahkan padanya.
Ayah mulai sakit meski dia tetap memaksakan diri untuk pergi ke kantor, sedangkan ibu berulang kali memasakkan makanan sehat dan mengemas beberapa vitamin untuk diminum. Aku mengantar dan menjemput ayah ke kantor, kami bergotong-royong agar ia tidak merasakan lelah yang sangat dalam hingga membuat tubuh rentanya tidak kuat menopang. Berulang kali dia menolak supaya tidak merepotkan kami tetapi sebanyak itu pula kami bersikeras.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan seperti itu selama hampir tiga tahun lamanya, ayah masih pura-pura terlihat kuat sampai akhirnya seseorang menghubungiku kalau ia masuk ke ruang gawat darurat di sebuah rumah sakit. Tanpa pikir panjang, aku izin sekolah hari itu dan meluncur untuk melihat langsung kondisi ayahku tapi sesampainya di sana ternyata ia sudah dipindahkan ke ruang MRI dan setelahnya ayah dimasukkan ke dalam ruang perawatan sambil menunggu hasil tes laboratorium.
Aku tak bisa menangani hal besar itu sendirian, ayah masih terbaring lemah dengan beragam alat bantu yang tertanam di tubuhnya. Aku menghubungi ibu dan seperti dugaanku, ia histeris. Tak berselang lama ibu sampai ke rumah sakit dengan air mata yang tak berhenti mengalir ke pipinya, “apa kata dokter?” Tanya ibu tapi aku hanya menggeleng tanda belum ada kepastian apa yang menjadi penyebab ayah seperti ini.
ADVERTISEMENT
Dua hari aku menunggu sampai akhirnya seorang suster mendatangiku untuk menghadap ke dokter, “apa benar Kamu anak dari Bapak Rusdiyanto?” Tanya wanita muda dengan pakaian serba hijau yang sudah berdiri di depanku “iya benar” jawabku, lalu dia hanya mengangguk “mari ikut Saya sebentar” ucapnya. Kemudian aku bangkit dan membuntuti wanita itu hingga masuk ke dalam ruangan bertuliskan “dr. Effendi Subagyo, Sp.B.”
Di dalam ruangan terlihat seorang pria yang tidak terlalu tua sedang berpikir keras tentang suatu hal hingga akhirnya ia menatap wajahku dan mulai memaksakan senyumnya. “Halo, silahkan duduk” sapanya, “sebelumnya apa Kamu tahu apa yang sudah Bapak Rusdi alami sebelumnya?” Tanya dokter itu, “selama ini yang Aku tahu, Ayah hanya kelelahan dan tidak ada keluhan tertentu” jawabku. Dokter itu lalu melirik suster yang tadi mengantarku dengan tatapan pasrah, “mungkin berita ini akan menjadi berita paling buruk yang akan Kamu dengar hari ini, tapi Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyembuhkan Ayahmu” jelasnya menguatkan hatiku.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa detik keheningan mengisi kekosongan di antara kami, “Ayah Kamu mengalami kanker tulang belakang stadium tiga” ucapnya. Rasanya hilang sudah harapan yang sudah kubangun selama ini, duniaku runtuh dan aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan hal itu pada ibu dan kakakku. Aku pria satu-satunya selain ayah di rumah dan sudah menjadi tanggung jawabku untuk melindungi mereka, jadi aku hanya bisa terdiam sambil berpikir keras.
Tak terasa air mataku sudah mengalir satu per satu tanpa kusadari. Dokter dan suster lagi-lagi hanya bisa menenangkan dengan ucapan yang belum tentu sebuah kepastian. Aku keluar dan duduk di bangku yang berhadapan dengan pintu sambil terkulai lemas, bermacam-macam perkiraan sudah kupikirkan. Bagaimana sekolahku? Bagaimana kuliah kakak? Apa yang harus kulakukan untuk meringankan beban ibu?
ADVERTISEMENT
Cepat atau lambat ibu pasti akan tahu dan tentu saja aku harus memberi kabar pada perusahaan tempat ayah bekerja. Mereka mau membayarkan biaya pengobatan ayah tapi itu saja tidak cukup, banyak hal yang harus kupikirkan agar semua bisa berjalan seperti biasanya. Setelah hampir enam bulan di rumah sakit, akhirnya ayah diperbolehkan pulang tetapi kondisinya tidak bisa lagi berpura-pura kuat seperti dulu. Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur sambil sesekali merasa sangat kesakitan, sedangkan aku dan kakak sibuk mencari kerja sampingan agar semua bisa berjalan seperti biasa.
Aku berniat untuk menanggung seorang diri tapi kakak memaksa untuk membantu agar kami memiliki simpanan yang cukup kalau-kalau perusahaan tidak lagi mau membiayai pengobatan ayah. Hari-hari kami berubah drastis, satu per satu mulai mengurusi ayah secara bergantian dan sesekali kami berkumpul untuk menceritakan apa yang sudah kami jalani. Ayah tertawa, sesekali ia terus memegangi tangan ibu dengan erat. Damai rasanya melihat kemesraan mereka masih terjaga dan kupikir semua akan terus berjalan seperti itu hingga maut memisahkan tapi sayangnya itu hanya harapanku.
ADVERTISEMENT
Satu minggu kemudian, ketika aku baru saja kembali dari kerja paruh waktu di sebuah kafe, aku melihat seorang pria memasuki rumah kami. Dia tidak terlalu muda tapi sudah sangat jelas usianya jauh di atasku. Kupikir dia adalah salah satu pegawai yang di bawah naungan ayah tapi saat masuk ke dalam rumah, kulihat dia sedang memangku ibu dengan sangat mesra. Aku terkejut, begitu pun dengan mereka. Aku ingin sekali memaki dan memukuli pria yang sedang bermesraan dengan ibu, tapi aku ingat kembali kondisi ayah yang sangat tidak mungkin untuk mendengar perkelahian seperti itu.
“KELUAR!” Teriakku sekeras yang kubisa keluarkan dari tenggorokkanku. Pria itu bangkit sambil menatap ibu dengan tatapan berharap untuk dibela tapi ibu hanya membuang muka. Jelas sekali ia takut padaku. Aku tak pernah merasa semarah itu atau lebih tepatnya tidak pernah menunjukkan sisi amarahku di depan keluarga. Setelah pria itu keluar, aku masuk ke dalam kamar tanpa menoleh atau melirik ke arah ibuku.
ADVERTISEMENT
Tubuhku bergidik ketika mengingat apa yang sudah kulihat dan tidak menyangka kalau wanita yang selama ini kuanggap panutan bisa mengkhianati ayahku dengan cara yang sangat murahan. Di malam yang sama aku menceritakan semuanya pada kakak dan ia ternyata sudah tidak terkejut “aku sudah pernah melihatnya beberapa kali saat kamu tidak di rumah, pria itu bahkan masuk ke dalam kamar Ayah” ucapnya. Penjelasan kakak semakin membuatku muak dan jijik pada ibu, “makanya aku tidak pernah lagi menatapnya dengan tatapan kagum seperti yang kamu lakukan belakangan ini” tambahnya.
“Wanita itu sudah membawa kekasihnya bahkan saat Ayah masih terbaring lemah di rumah sakit” jelas kakak. Emosiku seketika memuncak dan ingin sekali rasanya aku memaki lalu mengatakan yang sebenarnya pada ayah tapi ketakutanku ternyata jauh lebih tinggi. Takut proses penyembuhan ayah akan terganggu saat mengetahui kelakuan buruk istri tercintanya. Aku dan kakak sepakat untuk bungkam sambil terus mengumpulkan semua bukti pengkhianatan yang ibu lakukan tapi semakin hari ia justru semakin berani.
ADVERTISEMENT
Mulai dari bermesraan sampai memasukkan pria itu ke dalam kamarnya di depan aku dan kakak. Di tahun ketiga ayah sempat mengalami masa kritis hingga dimasukkan ke dalam ICU selama satu minggu tetapi keajaiban terjadi dan kondisi ayah semakin stabil setiap harinya. Kelakuan ibu pun semakin tidak terkontrol di saat aku dan kakak sibuk mencari uang untuk tambahan biaya pengobatan ayah. Beberapa kali kakak memergoki kalau ibu membawa masuk dua bahkan tiga pria ke dalam kamarnya.
Hingga tiga tahun kemudian, dokter menyatakan kalau ayah sembuh dari penyakitnya. Ayah berhasil berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, di saat bersamaan aku dan kakak menceritakan semua rahasia yang selama ini kami simpan lengkap dengan beragam bukti. Enam tahun kami menahan untuk tidak meludah di wajah ibu saat ayah sibuk memujinya setiap hari akhirnya berakhir, ayah lebih percaya pada kami dibandingkan istrinya. Lalu ayah menceraikan ibu dan mengusirnya begitu saja.
ADVERTISEMENT