Konten dari Pengguna

Cerpen: Lelah Menafkahi Aku dan Anak-anak, Suami Malah Cari Istri Lagi

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
5 Mei 2020 12:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com/stevepb
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com/stevepb
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Cerita ini hanyalah karangan semata. Bila ada kesamaan nama, waktu, tempat, profesi, dan cerita itu bukan merupakan kesengajaan.
ADVERTISEMENT
Aku memiliki empat orang anak yang dulu ditinggal suami karena sudah lelah menafkahi kami. Kemudian ia memutuskan untuk mendapatkan istri baru. Saat itu aku merasa kasihan dengan anak-anakku yang harus ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya.
Anakku empat dan mereka hanya berjarak satu sampai dua tahun. Sekarang mereka pun belum bersekolah, itu masih terlalu dini untuk mereka. Tetapi untungnya, aku dinikahi oleh saudaraku yang mau menerima mereka dengan baik.
Dulu aku bekerja di salah satu toko perhiasan terkenal dan ia sering datang untuk mengambil barang pesanan atasannya. Saat ia datang, kebetulan selalu aku yang memberikan barang pesanan itu. Sejak itu kami sering mengobrol walau hanya sebatas basa-basi.
Ia meminta nomor kontakku agar bisa tahu kapan harus mengambil pesanan karena biasanya ia harus menunggu beberapa saat sampai barang siap diberikan. Awalnya aku menolak karena ia bisa menghubungi nomor telepon toko, tetapi ternyata ia meminta izin kepada atasanku untuk meminta nomor kontakku.
ADVERTISEMENT
Aku pernah memberi saran untuk ia menghubungi kepala toko, tetapi ia bersikukuh meminta nomor kontakku. Aku tidak memiliki pikiran macam-macam waktu itu, hanya sebatas berpikir kalau ia malas menunggu dan kebetulan aku yang selalu bertemu dengannya. Mungkin dia merasa lebih akrab jika bertanya denganku karena sering bertemu.
Beberapa kali ia mengirim pesan menanyakan pesanan atasannya, entah untuk siapa perhiasan mahal itu tetapi ia sering kali datang ke toko. Atasannya sering memesan perhiasan custom sesuai dengan seleranya hanya melalui email atau telepon. Ia mengirimkan sketsa perhiasannya sendiri dan meminta toko kami yang membuatkan.
Belum pernah kami bertemu dengan atasannya, ada yang bilang kalau dia adalah desainer perhiasan terkenal tetapi kami belum tahu pasti. Karena sering mengirim pesan menanyakan pesanan, ia tiba-tiba bertanya banyak hal tentang keseharianku. Beberapa waktu aku mendiamkan pertanyaan seperti itu karena merasa ia hanyalah pelanggan yang tidak perlu mengetahui hal pribadiku.
ADVERTISEMENT
Namun, sepertinya semakin didiamkan semakin pula ia sering memberikan perhatian. Pernah aku membalas hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih karena sudah diperhatikan, tetapi ia menganggap kalau itu sinyal dari keterbukaanku terhadapnya. Aku pernah mengadu ke atasanku tetapi ia hanya berkata kalau lelaki itu pelanggan penting dan jangan dikecewakan.
Aku berusaha sebaik mungkin menolak menjawab pertanyaannya, tetapi semakin lama aku semakin penasaran dengannya. Tepatnya penasaran dengan atasan yang katanya desainer terkenal. Aku mulai menjawab pertanyaannya dengan batasan tertentu, ia pun terlihat sangat senang dengan sikapku.
Kami mulai saling berkirim pesan dan timbullah rasa nyaman. Entah itu suatu kesalahan atau bukan, saat aku memutuskan menjawab semua pertanyaannya kami pun jadi lebih sering berkomunikasi. Saat datang ke toko ia selalu meminta aku yang memberikan pesanan itu kepadanya.
ADVERTISEMENT
Perlahan aku tahu kalau rumor tentang desainer terkenal itu adalah benar. Atasannya itu desainer perhiasan yang sedang tinggal di luar negeri. Ia adalah tangan kanannya untuk mengantarkan banyak pesanan ke orang penting. Saat itu aku takjub dengan pekerjaannya, berselang dua bulan dari ia terakhir datang ke toko kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.
Hubungan kami sangat indah dan semakin sering bertemu karena atasannya memiliki banyak pesanan perhiasan. Aku heran, “kalau ia adalah seorang desainer perhiasan kenapa tidak memiliki workshop sendiri?” Tanyaku suatu waktu kepadanya. Ia menjelaskan kalau workshop itu dijual untuk membiayainya yang sedang sakit di luar negeri.
Aku menanggapi pernyataan-pernyataan itu dengan santai. Alasanku menyukainya bukan karena ia terkenal di kalangan orang penting, tetapi karena kepribadiannya yang lucu dan selalu memperlakukanku dengan baik. Tiga tahun kami berpacaran akhirnya ia datang menemui kedua orang tuaku.
ADVERTISEMENT
Ia meminta izin untuk meminangku. Orang tuaku dengan senang hati menyambutnya karena memang mereka sudah menginginkan aku segera menikah. Enam bulan dari lamaran itu, kami mulai mempersiapkan banyak keperluan pernikahan.
Berita pernikahanku dengan cepat tersebar ke semua teman-teman. Kami menikah di sebuah hotel berbintang yang hanya dihadiri beberapa teman dekat dari kedua belah pihak. Itu karena aku dan dia tidak terlalu menyukai keramaian.
Setelah menikah, kami mendapat liburan ke luar pulau dari atasan suamiku. Ia tidak datang tetapi mengirimkan buket dan tiket perjalanan. Kami berlibur selama satu minggu dan kemudian tinggal di sebuah rumah milik orang tuanya. Dua tahun kemudian, aku diminta untuk berhenti bekerja ketika ia tahu kalau aku sedang mengandung anaknya.
ADVERTISEMENT
Ia tidak ingin aku kelelahan dan menghilangkan bayi itu. Ia sangat perhatian dan pengertian saat masa kehamilan pertamaku, begitupun dengan kehamilan kedua.
Anak pertama kami adalah laki-laki dan kedua kalinya kami mendapatkan sepasang anak kembar. Jarak mereka hanya dua tahun tetapi satu tahun kemudian aku mulai mengandung anak keempat dan ia meminta untuk aku disteril agar tidak menambah anak lagi.
Aku menyetujui permintaannya karena sangat melelahkan merawat empat anak sekaligus dengan rentang jarak yang tidak jauh. Bertepatan dengan lahirnya anak keempat kami, atasan suamiku meninggal dunia karena penyakitnya.
Secara otomatis, ia kehilangan pekerjaan sedangkan semua anaknya sedang membutuhkan biaya. Aku tidak bisa bekerja karena ia yang memintaku untuk keluar beberapa tahun lalu. Ia mulai mencari pekerjaan lain, beruntung ia mengenal banyak orang penting dan semudah itu mendapatkan pekerjaan baru.
ADVERTISEMENT
Jika sebelumnya ia bekerja seorang diri dan hanya berkomunikasi dengan sang desainer maka sekarang ia berada di lingkup yang berbeda. Ia bekerja untuk seorang pengusaha dan menjadi tangan kanannya. Ia selalu bertemu banyak orang dan mendatangi klub.
Awalnya aku keberatan jika ia bekerja dengan pengusaha itu, tetapi melihat kebutuhan anakku yang semakin banyak, aku tidak bisa melarangnya. Semua demi kehidupan anak-anakku. Aku meminta ia tidak macam-macam saat berada di klub dan terus mengingat aku juga anak-anaknya.
Setiap kali pulang dari klub, ia meyakinkanku kalau ia bahkan tidak meminum-minuman beralkohol. Aku percaya karena tidak ada bau aneh dari mulutnya, tetapi seiring berjalannya waktu aku sering mencium bau aneh di bajunya. Semula ia bilang kalau itu hanya ketumpahan dari salah satu klien bosnya.
ADVERTISEMENT
Namun, lama-lama bukan hanya baju saja yang berbau alkohol tetapi juga badannya. Aku yakin sekali ia mulai meminum-minuman keras, bukan soal memabukkan yang aku takutkan tetapi kondisinya saat kehilangan akal. Aku takut ia akan meniduri wanita lain di saat ia tidak sadarkan diri.
Pagi-pagi sekali, sebelum ia berangkat kerja aku mencoba mengomunikasikan hal ini. Ia bilang di sana tidak ada wanita hanya para lelaki saja. Entah mengapa hatiku tidak percaya dengan ucapannya. Baru kali ini aku merasa kecurigaan yang teramat nyata tetapi semua itu aku sembunyikan rapat-rapat karena tidak ingin membuat suasana hatinya berubah menjadi buruk di pagi hari.
Aku mengantarnya kerja seperti biasa dan setiap bulan ia selalu memberikan semua gajinya kepadaku. Tiga bulan kemudian dari perbincangan di pagi hari, ia hanya memberikan setengah dari gajinya dan bilang kalau membutuhkan uang lebih untuk pergi ke luar kota. Aku tidak curiga karena aku lebih takut kalau suamiku tidak memegang uang saat ada di kota lain.
ADVERTISEMENT
Setiap bulan ia semakin bertingkah aneh, kecurigaanku pun semakin menajam. Ia jarang sekali pulang ke rumah dan memberikan gaji utuhnya padaku padahal kebutuhan anak-anak semakin banyak, terlebih saat mereka mulai meminum sufor.
Aku mencoba untuk berbicara dengannya baik-baik, tetapi ia malah berbalik memarahiku dan bilang kalau aku tidak bersyukur dengan apa yang ia berikan. Aku menghela napas panjang, “Mungkin ia sedang banyak masalah dengan atasannya,” pikirku. Aku mencoba menerima dan mengolah dengan baik semua yang ia berikan.
Pernah suatu kali uangku sudah habis tetapi susu anak-anak pun juga habis. Aku meminjam kepada saudaraku, tetapi ia malah membelikan susu dan memberikan uang tanpa perlu meminjam. Keluargaku sudah mengetahui perubahan suamiku dan memiliki kecurigaan yang sama, tetapi aku tetap berusaha menjaga nama baiknya.
ADVERTISEMENT
Aku tetap menyalahkan diriku karena tidak pintar mengolah uang yang ia berikan meski pernyataan itu tidak dipercaya, aku terus mengulangnya untuk meyakinkan mereka. Malam itu aku menemukan pesan yang berisikan kata-kata mesra dia dengan seorang wanita. Dari isi pesan itulah aku tahu kalau ia sudah memiliki istri lain di luar sana.
Esok paginya, aku menunjukkan bukti itu dan meminta penjelasannya. Sebenarnya ia sudah bersikap dingin kepadaku sejak beberapa bulan lalu dan baru sekarang aku tahu penyebabnya. Bukan penjelasan yang aku dapat melainkan makian, ia memaki dan menyalahkanku karena melahirkan anak terlalu banyak.
“Seharusnya kamu program dong jangan asal terima begitu saja!” Makinya, aku hanya diam dan menangis, merasa sakit hati karena diperlakukan seperti itu. Lama sekali ia memaki dan menyalahkan karena aku melahirkan terlalu banyak anak hingga “Aku sudah lelah memberikan uangku untuk kalian! Aku cape bekerja, pengeluaran di rumah ini terlalu besar!” Ucapnya.
ADVERTISEMENT
Hatiku menjerit mengingat usia anak-anakku yang masih sangat kecil. Perjalanan mereka masih panjang dan membutuhkan sosok seorang ayah, tetapi hatiku tidak mau dimadu. Terlebih sikapnya yang sudah berubah menjadi lebih kasar dalam berucap, meski tidak ‘bermain tangan’.
Aku meminta untuk bercerai dan sungguh sebenarnya itulah yang ia harapkan dariku. Perceraian. Agar ia terbebas dari biaya membesarkan anak-anaknya. Ketika ia berangkat kerja, aku memutuskan untuk membawa semua anak-anak kembali ke rumah orang tuaku.
Sesampainya di sana, aku menceritakan semuanya. Mereka menyetujui perceraianku dan menerima anak-anak untuk tinggal bersama. Enam bulan kemudian, kami resmi bercerai dan anak-anak jatuh ke tanganku secara hukum. Dua hari setelah surat cerai kami keluar, temanku mengabarkan kalau mantan suamiku sedang menikahi seorang wanita.
ADVERTISEMENT
Hatiku rasanya hancur tetapi kembali mengingat kalau ada anak-anak yang membutuhkan aku. Aku kembali bekerja di saat anak-anak kutitipkan pada orang tuaku dan empat tahun kemudian ada seseorang yang melamarku. Ia adalah saudaraku yang ternyata sudah menyimpan rasa sejak lama.
Orang tua kami menimbang pilihan yang akan diambil dengan mengurutkan silsilah keluarga agar tidak terjadi pernikahan sedarah. Namun, keberuntungan itu nyata adanya, keluarga kami tidak sedarah dan direstuilah pernikahan itu. Sekarang aku hidup bahagia bersama suami dan anak-anakku di sebuah rumah yang jauh dari keramaian.
Sejak itu, aku tidak pernah mendengar kabar lagi tentang mantan suamiku. Meski suatu saat ia akan datang meminta anak-anakku, semua keputusan akan aku kembalikan pada mereka.
ADVERTISEMENT