Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Dianggap Bodoh, Aku Diajak Ibu Bertemu Selingkuhannya
7 Mei 2020 20:28 WIB
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Keluargaku dikenal sebagai keluarga yang harmonis. Banyak sekali yang iri dengan keluargaku, termasuk beberapa teman-teman di sekolah tetapi banyak rahasia yang mereka tidak tahu. Keluargaku sebenarnya tidak seharmonis yang mereka pikir, banyak kecurigaan di antara kedua orang tuaku.
Ayahku adalah seorang pengusaha batu bara, sedangkan ibu memiliki sebuah butik terkenal di daerah Jakarta dan aku yang menjadi satu-satunya putri mereka. Ibu selalu ikut dengan ayah saat ia pergi ke luar kota tetapi mereka masih saja sering diliputi rasa curiga satu sama lain. Terutama ayah, ia adalah lelaki paling pencemburu yang pernah aku tahu.
Dulu aku anggap kalau sikap ayah terlalu berlebihan terhadap ibu, mobil ibu dipasang GPS sedangkan ponselnya disadap. Aku mengetahui semua itu saat membuka ponsel ayah, tetapi yang aku temukan adalah akun Whatsapp ibu. Lalu aku bertanya “Yah, ini ponsel ayah atau ibu? Kok profilnya nama Ibu” tanyaku, ayah hanya menjawab kalau akun Whatsapp mereka itu “sharing.”
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu aku semakin curiga kalau ibu sepertinya memang ada main dengan lelaki lain. Semua aku tahu ketika ibu sering ‘menjual’ namaku pada ayah saat hendak pergi ke suatu tempat. Saat ibu mengajak pergi, aku disuruh membawa teman atau meminta temanku menunggu di tempat yang ibu tentukan.
Ketika sampai di sana, ibu menyuruhku untuk berjalan-jalan dengan temanku, sedangkan ia pergi seorang diri. Aku sempat bertanya padanya, “ibu bertemu siapa?” dan ia hanya menjawab “rekan kerja.” Dari situ aku tidak pernah bertanya lagi tetapi diam-diam aku sudah mencurigainya.
Ayahku termasuk seseorang yang sering mengumpulkan teman-temannya di rumah, entah urusan bisnis atau memang hanya ingin bernostalgia. Hampir semua teman dekat ayah, aku dan ibu kenal. Kami sering liburan bersama mereka, tentunya dengan membawa keluarga masing-masing.
ADVERTISEMENT
Ayah selalu berharap persahabatan mereka akan dilanjutkan oleh anak-anaknya. Untuk itu, aku dan anak-anak teman ayah bisa dikatakan cukup dekat bahkan kami semua pernah berada di satu sekolah yang sama saat SMP.
Usiaku sudah 17 tahun dan ibu masih selalu ‘menjual’ namaku untuk pergi bertemu 'temannya'. Suatu hari ibu meminta izin pada ayah, dan seperti biasa, ia mengatakan kalau aku butuh membeli alat-alat sekolah di sebuah mal. Ayah memberi izin dan pergilah kami berdua ke mal yang ibu bilang sebelumnya.
“Nanti kalau sudah sampai kita naik taksi pergi ke mal seberang ya” kata ibu. Kali ini cara ibu mengajakku sedikit berbeda, mungkin karena ia sudah tahu kalau mobilnya dipasangi GPS oleh ayah. Aku hanya diam dan menurut saja apa kata ibu, sebenarnya aku disuruh membawa teman tetapi tidak aku lakukan karena niatku kali ini memang untuk mengikuti ibu.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan, ada suara ponsel bergetar dan kemudian ibu membuka ponsel itu. Aku terkejut karena aku tidak pernah tahu tentang ponsel itu, ternyata diam-diam ibu membelinya tanpa sepengetahuan ayah. Aku mulai mengetahui satu per satu rahasia ibu, mungkin karena dipikir aku ini masih bodoh dan polos sehingga ia bersikap sangat terbuka padaku.
Setelah membaca pesan itu, ibu segera mempercepat laju mobilnya. “Kamu sudah telepon temanmu? Di mana dia? Ibu buru-buru mau meeting nanti kamu ibu tinggal seperti biasa ya” ucapnya. “Temanku sudah di sana” jawabku berbohong, setelah itu kami diam dan aku asyik memainkan ponsel.
Ketika ibu sudah memarkirkan mobil di mal yang ibu bilang pada ayah, kami segera mencari taksi dan pergi ke mal lain. Di dalam taksi ibu sering memainkan ponselnya dan sibuk membalas pesan sambil tersenyum. Aku sudah cukup yakin itu adalah seseorang yang menjadi selingkuhannya.
ADVERTISEMENT
Hanya butuh waktu 15 menit untuk kami sampai di mal yang ibu tuju karena memang jarak mal di Jakarta tidak terlalu jauh dan lagipula jalanan hari itu sedang tidak macet. Kami turun dari taksi dan berpisah di lobi mal, ibu memberiku banyak sekali uang mungkin sebagai uang tutup mulut.
Aku melihat ibu sangat tergesa-gesa menaikki tangga eskalator, beberapa saat ia melihat ke arahku dan melambaikan tangan. Aku tersenyum dan berpura-pura akan menuruni tangga eskalator tetapi kemudian berbalik dan mengikuti ibu. Belum sampai di lantai yang dituju, aku sudah melihat ibu bersama dengan seorang laki-laki.
Ia memiliki wajah yang sangat tidak asing bagiku, ia adalah teman dekat ayah yang sering datang ke rumah. Tanpa berpikir panjang aku mengambil ponsel dan memotret mereka. Ibu terlihat sangat mesra sekali dengannya, mereka berjalan sambil berangkulan menuju sebuah bioskop.
ADVERTISEMENT
Rupanya ibu terburu-buru karena film yang mereka akan tonton akan segera dimulai. Aku hanya bisa sampai di pintu depan bioskop dan tidak berani masuk karena takut ketahuan oleh mereka. Ketika mereka sedang menonton film aku makan di sebuah restoran yang memang berseberangan dengan bioskop itu.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan makanannya dan lebih memilih pizza, tetapi aku harus makan di sana agar ketika ibu keluar aku bisa melihatnya. Dua jam setengah aku menunggu mereka, akhirnya mereka keluar sambil tetap berangkulan. Mereka terlihat sangat mesra, pria itu sesekali terlihat mengusap lembut rambut ibu.
Aku memotret mereka dan mengikuti dari jarak yang cukup jauh. Mal saat itu cukup padat sehingga aku bisa bersembunyi di antara banyak orang. Aku melihat mereka berhenti di sebuah restoran, tiba-tiba aku mendapat pesan dari ibu “kamu di mana?” Tanyanya. Aku cukup terkejut dan mengira kalau ibu mengetahui keberadaanku “di supermarket” jawabku.
ADVERTISEMENT
Jawabanku menjadi penentu, apakah ibu melihatku atau tidak. Aku melihat ibu mengecek layar ponselnya dan sepertinya membaca pesanku terlebih dulu sebelum mereka masuk ke dalam restoran. Ternyata ibu mengecek keberadaanku agar mereka tidak tertangkap sedang berdua di dalam restoran itu.
Aku memotret mereka saat memasuki restoran tersebut. Kemudian sambil menunggu mereka makan, aku masuk ke sebuah toko sepatu sport dan membeli salah satu yang kusuka. Uang dari ibu sebenarnya sangat cukup untuk membeli tiga sepatu sekaligus, tetapi ada barang yang sangat ingin aku beli. "Aku akan meminta pada ibu setelah bertemu dengannya nanti" pikirku.
Satu jam kemudian mereka keluar dari restoran dan aku kembali mengikuti mereka. Mereka seperti memikirkan janji temu selanjutnya karena mengobrol sangat serius. Aku masuk ke dalam lorong toilet dan mulai mengirimkan sinyal GPS ke ayah juga beberapa foto ibu bersama dengan lelaki itu.
ADVERTISEMENT
Aku memotret mereka dengan wajah lelaki terlihat cukup jelas. Jadi, ayah akan segera tahu siapa yang menjadi selingkuhan ibu sebenarnya. Ayah tiba-tiba meneleponku dengan suara sangat marah, “ayah kalau tidak percaya datang saja ke mal ini dan lihat sendiri, aku masih mengikuti ibu” jawabku. Ia segera menutup telepon dan aku tebak ia akan menyusulku.
Jarak kantor ayah dan mal ini tidak terlalu jauh, jadi aku kira ayah akan sampai saat mereka masih bersama. Aku masih mengikuti mereka berkeliling di mal, aku mengirimkan pesan pada ibu, “Bu aku pergi ke rumah teman ya, nanti aku balik lagi ke mal karena mau beli sesuatu.” “Hati-hati” balas ibu.
Aku melihat wajah ibu semakin bahagia karena aku sudah tidak berada di dalam satu mal dengannya. Sebenarnya aku tidak tega melihat ibu akan habis dimarahi oleh ayah dan mungkin persahabatan mereka akan hancur. Akan tetapi, aku jauh lebih tidak terima saat ayah diselingkuhi karena aku tahu betul ayah sangat mencintai ibu.
ADVERTISEMENT
Ke mana pun ia pergi, pasti ia akan membanggakan dirinya karena sudah berhasil mendapatkan ibu. Aku juga sedang menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk mereka akan berpisah. Lima belas menit kemudian, ayah meneleponku dan bertanya tentang keberadaanku.
Aku memberitahu ayah kalau aku sedang berada di dalam department store karena ibu sedang melihat-lihat baju. Saat sedang menelepon ayah, betapa terkejutnya aku saat pria itu mencium bibir ibu di tengah keramaian. Dari jauh aku melihat ayah berlari dan kemudian memukul lelaki itu.
Aku berlari dan melihat beberapa satpam sudah memisahkan mereka. Ibu hanya teriak ketakutan dan mungkin juga terkejut karena ayah tiba-tiba ada di depannya. Aku berdiri di samping ibu, aku melihat sudut bibir laki-laki itu sudah berdarah.
ADVERTISEMENT
Aku memegang lengan ayah, aku melihat ayah menunjuk wajah ibu “KAMU! JADI BEGINI CARA KAMU MEMBALAS KEBAIKANKU? SELINGKUH DENGAN SAHABATKU SENDIRI, APA KAMU GILA?” Teriak ayah. Seketika sekeliling kami terjadi kerumunan. Banyak pengunjung yang berbisik dan melihat ke arah ibu.
Ayah hanya menarikku dan kami pergi dari sana. Ayah pergi ke mal itu menggunakan ojek dan mobilnya ia tinggal di kantor. Keluar dari mal, ayah memanggil taksi dan kami masuk ke dalam. Selama perjalanan ke kantor ayah, ia hanya diam dan memelukku.
“Terima kasih ya” kata ayah, “ayah sudah curiga kalau ibumu selingkuh tetapi ayah masih tidak menyangka kalau orang itu adalah sahabat ayah sendiri” tambahnya lagi. Aku menunduk dan mulai menangis, entah kejadian ini akan aku sesalkan atau tidak tetapi rasanya sangat sesak.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah orang tuaku dan aku tidak bisa memilih di antara mereka. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Selama ini ayah berusaha mati-matian untuk membuat ibu bahagia. Membuatkan ibu butik, mengajak ibu jalan-jalan ke luar negeri, bahkan ayah selalu menyempatkan waktu untuk ibu meski di tengah-tengah rapat penting.
Aku tahu semua itu karena aku sering ikut ayah bekerja. Sedari kecil ayah membiasakanku untuk ikut dengannya, mengetahui pekerjaannya, dan banyak bertukar cerita. Ayah selalu menganggap kalau ia tidak pernah memiliki waktu yang cukup untukku, ia ingin aku dibesarkan tidak hanya dari kasih sayang ibu tetapi juga dirinya.
Bukan berarti dengan begitu aku tidak dekat pada ibu, aku tahu betul bagaimana pergaulan ibu. Mereka selalu mengadakan arisan dan bertukar cerita-cerita tentang pasangan mereka yang menurutku tidak pantas diketahui orang lain. Mungkin ibu tidak puas memiliki ayah, bukan dari segi materi tetapi dari diri ayahlah ia merasa tidak puas.
ADVERTISEMENT
Ketika sampai di kantor, ayah masih harus menjalani rapat penting. Ibu berkali-kali mengirimiku pesan meminta maaf, aku tidak membuka apalagi membalas pesannya. Aku matikan ponselku dan menunggu ayah selesai rapat di ruangannya.
Seselesainya ayah, kami langsung pulang ke rumah. Di jalan ayah seperti menahan tangis, aku paham perasaan ayah. Pasti sangat sakit dikhianati oleh pasangan tetapi lebih sakit karena orang itu adalah sahabat yang selalu ia percaya.
Kami sudah berada di rumah, ibu menunggu kami di ruang tengah. Aku dan ayah tidak mau menemui ibu dan kami langsung masuk ke dalam kamar masing-masing. Aku mendengar ibu mengetuk pintu kamar, tetapi tidak kunjung dibukakan oleh ayah.
Beberapa saat semua hening, tiba-tiba grup keluargaku berdering. Aku melihat ternyata ayah mengirimkan semua foto yang kuambil ke dalam grup keluarga. Baik keluarga ayah maupun keluarga ibu. Aku menunggu beberapa menit tetapi tidak satu pun membalas pesan itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian suara mobil perlahan berdatangan, seluruh keluarga kami datang ke rumah. Barulah aku dan ayah keluar dari kamar, aku melihat ibu sudah duduk di pinggir sofa di saat yang lain sudah hadir dan memenuhi ruang tengah. Ayah mulai berbicara dan berniat untuk mengembalikan ibu kepada keluarganya.
Ibu berteriak histeris karena tidak mau berpisah dari ayah. Keluarga ibu menanyakan alasannya sampai berpaling dari ayah “karena kamu tidak muda dan kamu tidak gagah seperti suami teman-temanku.” Hanya itu kekurangan ayahku, keluarga ibu kemudian menyetujui kalau ibu dikembalikan pada mereka.
Ayah bercerita kalau ia sudah curiga terhadap ibu sekitar tiga tahun lalu, untuk itu ia memasang GPS dan menyadap ponsel ibu. Tetapi ternyata maling memang tidak kehabisan akal, ia menggunakan uang ayahku untuk membeli ponsel baru agar ia bisa berkencan dengan pacarnya. Saat itu aku sudah sangat marah tetapi ayah melarangku untuk mengucapkan satu patah kata pun.
ADVERTISEMENT
“Biar gimana itu ibu kamu, kamu harus selalu baik dengannya. Biar ayah yang menyelesaikan masalah ini, kamu harus tetap baik” itu kalimat yang ayah keluarkan saat aku ingin marah pada ibu. Mendengar kalimat itu aku sungguh sedih, akhirnya keluarga ibu menerima keputusan ayah setelah mendengar cerita dari kedua belah pihak.
Keluarga ibu sangat sadar kalau semua kesalahan terletak pada diri ibu. Setelah pertemuan itu, ibu mengemasi semua barang-barangnya dan ikut pulang bersama keluarganya. Aku tidak mau menemui ibu karena masih merasa sangat marah. Ibu menangis terisak, meminta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi.
Hati ayah sudah terlalu sakit untuk menerima ibu kembali. Ayah hanya masuk ke dalam kamar di saat ibu akan pergi, begitu pun aku. Aku memilih untuk tinggal bersama ayah dan dua minggu kemudian ayah menggugat cerai ibu. Selama persidangan ibu hanya mengakui semua perbuatannya dan akhirnya keputusan bercerai diketuk palu oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Aku melihat mereka saling meminta maaf sesaat setelah keluar dari ruang sidang, ibu memeluk ayah sambil menangis dan ayah pun menahan air matanya. Dalam pikiranku, “mungkin ayah masih sangat mencintai ibu tetapi perbuatan ibu sungguh sangat menyakitkan, aku paham kalau ayah tidak bisa menerima ibu dan kembali memiliki hatinya.”
Setelah bertemu dengan ayah, ibu menemuiku. Meminta maaf karena sudah menggunakanku, ibu meminta agar aku tidak membencinya. Aku memeluk ibu “aku tidak akan membenci ibu, biar gimana ibu adalah orang tuaku tetapi apa yang ibu lakukan benar-benar tidak bisa aku terima.”
Ibu mengerti dan melepas pelukannya dariku. Ia hanya mengusap wajahku kemudian berpaling pergi bersama keluarganya. Aku memeluk ayah dan mulai saat itu kami hidup berdua, aku yang mengurus semua kebutuhan ayah hingga akhirnya aku bertemu dengan pasanganku dan kami menikah.
ADVERTISEMENT
Aku tetap membawa ayah untuk tinggal bersamaku. Sesekali aku datang ke rumah orang tua ibu bahkan menghadiri pesta pernikahan ibu dengan orang lain. Persahabatan ayah menjadi renggang tetapi kami sebagai anak-anaknya tetap berkumpul dan melupakan kejadian itu.