Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Jauh-jauh Cari Istri ke Negeri Seberang, Ia Kembali ke Pelukan Sang Mantan
8 Mei 2020 20:02 WIB
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Disclaimer: Cerita ini hanyalah karangan semata. Bila ada kesamaan nama, waktu, tempat, profesi, dan cerita itu bukan merupakan kesengajaan.
ADVERTISEMENT
Aku seorang laki-laki berkebangsaan Amerika, ini kedua kalinya aku menyandang status sebagai duda. Dari mantan istri pertama aku mendapatkan dua putri, sedangkan yang kedua hanya satu putri. Aku bercerai karena mantan istriku sangat berorientasi pada hartaku, ia juga sangat kasar terhadap anak kami.
Aku merupakan pensiunan tentara Amerika dan tinggal di daerah yang cukup elite. Mantan istriku pernah memanfaatkanku untuk membeli apa pun yang dia inginkan tetapi tidak mengurus anak kami dengan baik. Aku menceraikannya dan mendapat hak asuh putri kami.
Tiga tahun setelah bercerai aku ingin memiliki teman hidup lagi karena usiaku sudah 60 tahun, tidak mungkin aku mengurus anak kecil lagi. Anak pertama dan keduaku sudah memiliki kehidupan mereka masing-masing, aku cukup menghargai hidup mereka. Jadi, aku tidak ingin mereka terganggu karena hidupku.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya aku tidak harus mendapatkan wanita secepat mungkin, hanya saja takdir berkata lain. Aku senang memainkan salah satu permainan di Facebook, ada satu wanita yang cukup mahir saat memainkannya. Kebetulan kami berteman di Facebook, lalu aku mulai menyapa dan mengajaknya mengobrol.
Ia sangat terbuka dan baik padaku. Ia mengatakan kalau ia berdomisili di Jakarta, Indonesia. Ia adalah seorang janda, mantan suaminya meninggal karena kecelakaan kerja. Dari sana kami sering bertukar cerita, ternyata dirinya sudah memiliki tiga anak laki-laki dan satu perempuan. Keempatnya sudah dewasa dan bisa menghidupi diri mereka masing-masing.
Aku jatuh cinta dan mengutarakan perasaan itu padanya. Dia menyambutku dengan baik dan bilang kalau ia juga sudah nyaman denganku, sempat aku bertanya soal umur karena memang usia kami terpaut cukup jauh. Dia tidak mempermasalahkan itu dan hanya mencari pria yang bisa menyayangi dia juga anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, kami menjalin hubungan. Aku memintanya untuk membeli sebuah cincin tanda dia milikku, tetapi dia tidak mau. Katanya “di dalam agamaku tidak ada pertunangan, kalau kamu benar-benar ingin denganku lebih baik datang ke Indonesia dan kita menikah.” Aku berjanji akan datang ke negaranya suatu hari nanti tetapi tidak bisa dalam waktu dekat.
Aku perlu memikirkan biaya dan menyesuaikan jadwal sekolah anakku. Ketika semuanya sudah siap, aku berangkat ke Indonesia. Dia menungguku di bandara dan untuk pertama kalinya kami bertemu. Aku sangat senang melihatnya meski kami berbeda agama, aku tetap mencintai dia.
Setelah dari bandara, ia mengajakku bertemu dengan keluarganya di rumah. Aku sangat senang mengetahui kebudayaan di Indonesia, saat itu aku meminta izin untuk tinggal di rumahnya karena kebetulan kedatanganku bertepatan dengan hari raya mereka. “Aku harus meminta izin pada keluargaku dulu” katanya, aku tidak memaksa jika memang keluarganya tidak memperbolehkan, aku akan tidur di hotel bersama anakku.
ADVERTISEMENT
Sesampainya kami di rumahnya, aku dan anakku disambut hangat sekali. Banyak dari mereka yang senang dengan anakku karena katanya ia sangat cantik. Aku dan anakku diminta banyak mencicipi makanan, aku sangat senang karena suasana di rumahnya begitu hangat. Berbeda di rumahku yang hanya ada aku dan anakku, semua terasa sepi dan hampa sekali.
Tak lama ia meminta izin agar aku dan anakku bisa tinggal di rumah itu untuk melihat kebiasaan mereka saat hari raya. Aku sudah takut permintaanku akan ditolak, tetapi ternyata mereka menerima kami dengan senang hati. Aku dan anakku diberi satu kamar tersendiri, kami belajar berpuasa juga melihat keanekaragaman makanan saat berbuka.
Anakku senang sekali pergi ke salah satu mal dan bermain. Hampir setiap hari ia meminta pada salah satu dari anak laki-lakinya untuk menemani dia bermain di sana, tidak ada raut wajah kesal atau keberatan. Laki-laki itu dengan senang hati bermain dengan anakku, saat itu aku merasa kami sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Selama di Indonesia aku bertemu dengan pemuka agama dan ingin pindah ke agama mereka. Sedikit-banyak aku sudah mempelajari tentang agamanya saat di Amerika, esoknya kami juga pergi ke Kedutaan Besar Amerika untuk bertanya tentang syarat-syarat saat aku ingin membawanya tinggal bersamaku. Aku berencana tinggal di Indonesia selama dua bulan dan ingin segera menikahi kekasihku.
Saat itu aku berpikir, aku tidak punya banyak kesempatan dan uang untuk sering-sering ke Indonesia bertemu dengannya. Aku ingin menikahi dan membawanya segera ke negara asalku. Gagasan itu aku sampaikan pada dia dan keluarganya, mereka menyambut itu dengan baik.
Keesokkan harinya, aku dipandu oleh pemuka agama untuk masuk ke agama mereka. Setelah itu ke dokter untuk bertanya apakah aku perlu disunat kembali atau tidak, bersyukur ia mengatakan kalau aku tidak perlu lagi melakukan itu. Aku sudah sangat takut untuk melakukannya di usia yang tidak muda lagi.
ADVERTISEMENT
Satu minggu kemudian kami mengurus berkas pernikahan kami dan pergi ke Kedutaan Besar Amerika untuk mendaftarkan calon istriku agar bisa ikut bersamaku. Satu bulan berlalu, akhirnya kami menikah dan langsung tercatat di catatan sipil Indonesia.
Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana tetapi berkesan karena aku jadi lebih mengenal keluarga dan juga teman-temannya. Mereka terlihat sangat berbahagia di acara kami meski banyak keterbatasan.
Dua bulan sudah berlalu dan kami memiliki pengalaman yang sangat menyenangkan di Jakarta. Kini aku kembali ke Amerika membawa seorang istri dan membayangkan rumah itu akan terasa ‘hidup’ kembali. Sesampainya kami di sana, istriku melakukan banyak tes kesehatan sebagai rangkaian dari prosedur yang sudah ditetapkan oleh Amerika.
ADVERTISEMENT
Enam bulan pertama, cukup berat bagi kami karena masih berurusan dengan pemerintah dan kepindahannya ke Amerika. Ia tidak ingin berpindah kewarganegaraan dan kami harus mengurus bemacam-macam hal tentang itu, termasuk membayar jaminan kehidupannya.
Dua tahun pernikahan kami, ia semakin mahir beradaptasi dengan bermacam-macam peraturan di Amerika. Ia juga semakin dekat dengan ketiga anakku, mereka sangat senang ketika aku menjadikannya istri. Bahkan ia juga bertemu dan berteman akrab dengan mantan istri pertamaku.
Sedangkan mantan istri kedua terus memusuhinya dan menganggap kalau aku direbut darinya. Istriku hanya tertawa mendengar semua lelucon mantan istri keduaku dan tetap menjalani hari-hari kami dengan penuh kebahagiaan. Anak bungsuku juga memperkenalkannya bukan sebagai ibu tiri tetapi sebagai ‘ibu’-nya.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan sangat sempurna sampai suatu ketika ia masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Sepertinya ia berlari saat hendak kembali dari belanja di sebuah supermarket dekat rumah. “Ada apa?” Tanyaku, dia hanya menggeleng dan mulai mengatur napasnya.
Kemudian ia ke dapur dan menaruh beberapa barang di tempat seharusnya. Ia cukup rapi dalam mengorganisasi barang-barang dan cukup terampil saat mengurus rumah tangga. Hampir tidak ada debu atau pakaian kotor menumpuk di rumah kami.
Ia selalu rajin memasangkan aroma terapi sehingga membuat rumah terasa sangat nyaman sekali. Malamnya aku tetap bertanya tentang ia yang sepertinya lari dari supermarket dan dia bercerita kalau ia bertemu dengan seseorang yang tidak ingin ia temui.
ADVERTISEMENT
Dia menceritakan kalau itu adalah laki-laki dan merupakan cinta pertamanya. Ia sangat sakit hati kepadanya sampai-sampai tidak ingin melihat wajahnya. Dia tidak menyangka selama bertahun-tahun tidak bertemu di Indonesia, mereka malah bertemu di Amerika.
Aku mulai cemburu ketika dia menceritakan tentang laki-laki lain. Aku menyampaikan kalau aku tidak suka pada laki-laki itu, ia pun meyakinkanku kalau ia juga tidak suka dan tidak mau bertemu dengannya lagi. Malam itu tidurku tidak tenang, ada perasaan gelisah tentang hubungan mereka.
Sempat terbersit kalau mereka kembali bersama, bagaimana nasib anakku yang suatu saat nanti pasti akan aku tinggalkan? Aku tidak rela jika ia kembali tinggal bersama ibunya. Ibunya terlalu jahat dan suka melakukan kekerasan terhadap anakku.
ADVERTISEMENT
Tiga bulan kemudian, ia tidak lagi bertemu dengan laki-laki itu karena sudah berpindah supermarket. Ia tidak lagi berbelanja di supermarket yang sama dengan laki-laki itu. Rumah tangga kami kembali seperti biasa dan sudah hilang bermacam-macam pikiran buruk tentangnya.
Delapan tahun kami menikah, sering kali terjadi pertengkaran kecil di antara kami. Aku menganggapnya sebagai bumbu dari kehidupan rumah tangga, namun tahun itu merupakan tahun yang cukup berat untukku. Anak pertamaku pernah melihat istriku jalan berdua dengan laki-laki di sebuah kafe kemudian menyampaikannya padaku.
Berulang kali aku bertanya padanya, ia tetap menjawab kalau itu teman yang baru saja ia kenal di supermarket. Ia mengajaknya berbicara karena sedang ada permasalahan dan ingin meminta pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Aku tetap tidak percaya, aku selalu menuduhnya berselingkuh. Entah apa yang merasukiku saat itu, aku begitu takut kehilangannya. Aku sering berteriak dan menuduhnya berselingkuh dengan cinta pertamanya. Padahal saat itu mungkin saja yang ia katakan benar.
Dua tahun kemudian, aku tetap berubah menjadi keras dan ia harus selalu di dekatku. Jika tidak aku akan menuduhnya macam-macam hingga dua malam setelah kami bertengkar hebat, ia pergi dan tidak kembali selama dua hari. Aku berusaha mencarinya ke mana pun, tetapi tetap tidak menemukannya.
Semua telepon dan pesan yang kukirimkan tidak ada satu pun yang ia respons. Aku tidak tahu ia tinggal di mana saat itu, tidurku tidak tenang dan beberapa jam sekali aku terbangun. Aku mulai merindukannya.
ADVERTISEMENT
Ketika ia kembali, aku sempat menyesal karena telah berbuat seperti itu padanya. Tetapi sejak ia kembali, aku merasa semuanya telah berubah. Aku merasa ia menjadi ‘dingin’ kepadaku. “Mungkin karena ia masih marah” pikirku saat itu, tetapi sikapnya yang ‘dingin’ semakin lama semakin kurasa.
Terkadang aku merasa menjadi orang asing di hidupnya, “sebegitu salahnyakah aku sampai tidak dianggap saat berada di depannya?” pikiranku terus berbicara. Penyesalan hanya kurasakan beberapa hari saja, ketika ia kembali pergi ke luar rumah dan cukup lama aku kembali menuduhnya.
Responsnya kali itu berbeda, ia tidak lagi berusaha menjelaskan dan menenangkanku tetapi langsung pergi ke kamar dan mengunci pintu. Amarahku besar sekali saat tahu ia pergi dan membiarkan istriku mengunci pintu untuk beberapa lama.
ADVERTISEMENT
Anak-anakku sudah mengingatkan agar aku tidak terlalu keras padanya bahkan mantan istri pertamaku juga mengatakan hal yang sama. “Dia hanya sendiri di sini, jangan terlalu keras padanya” ucap mereka, tetapi aku tidak mempedulikan itu. Aku tetap menuduhnya berkali-kali saat ia keluar rumah.
Dua bulan kemudian, anak pertamaku mengirimkanku foto saat istriku dan seorang laki-laki Asia jalan berdua. Istriku tampak bahagia sekali saat berada dipelukannya. Aku geram dan segera bertanya pada anakku di mana ia melihatnya.
Anakku memberitahu keberadaan istriku dan sesampainya di sana, aku melihat mereka sedang berciuman. Aku menghampiri laki-laki itu dan memukulnya, aku marah, aku cemburu, dan tidak mau kehilangan istri tercintaku. Saat aku memukul kekasihnya, istriku berteriak dan menangis. Kami dipisahkan oleh beberapa orang dan aku terus memaki laki-laki itu.
ADVERTISEMENT
Ketika aku hendak menarik istriku untuk pulang, ia menahan dirinya “aku mau bersama dia” ucapnya. Seketika duniaku hancur “aku sadar kalau aku masih mencintainya” lanjutnya. Aku marah dan hendak menyeretnya pulang, namun ditahan oleh seseorang. Aku melihat anak pertamaku ada di sana.
“Biarkan ibu pergi bersamanya, ia sudah terlalu sakit dengan ayah. Kalau ayah mencintainya, ayah pasti akan membiarkannya bahagia” ucapnya. Aku tidak siap kehilangannya, tidak siap untuk ditinggal olehnya. Meski anak bungsuku sudah besar dan mandiri, aku tetap membutuhkannya.
Aku berteriak tidak terima, tetapi anakku menyuruh istriku pergi bersama kekasihnya. Aku marah pada anakku, sangat marah. Ketika emosiku sudah mereda, anakku mulai bercerita padaku. Kalau selama ini istriku berusaha untuk bersikap baik padaku.
ADVERTISEMENT
Ia tidak pernah berselingkuh seperti yang selalu aku tuduhkan, ia selalu bercerita banyak hal pada anak pertamaku termasuk perasaannya. Istriku selalu merasa tersakiti ketika aku menuduhnya berselingkuh, ia mencintaiku tetapi tidak dengan perilakuku.
Ia sudah tidak tahan dengan sikap emosionalku dan anak pertamaku yang mengizinkan istriku pergi. “Dia sudah terlalu sakit Dad, dia selalu merasa sendiri di rumah karena kamu selalu menuduhnya. Itu membuatnya merasa sangat sakit dan terus-menerus ingin kembali ke Indonesia” ucapnya.
Istriku bisa saja lari dan kembali ke Indonesia, tetapi tidak ia lakukan karena tidak tega meninggalkanku sendiri di rumah. Anak bungsuku memilih untuk tinggal di apartemen seorang diri dan hanya ada aku di rumah itu. Mendengar semua cerita anak pertamaku, hatiku hancur sekali. Aku yang membuatnya menjadi seperti ini, sedangkan ia hanya membuktikan ucapanku.
ADVERTISEMENT
Mungkin saat ini, ia sudah kembali ke Indonesia bersama kekasihnya. Aku tidak tahu, yang jelas dia meninggalkanku tanpa pernah memberi kabar hingga saat ini. Kepergiannya membuat aku mengkhayal saat ada dirinya, betapa bersih dan terawatnya rumah itu. Sekarang hanya ada aku sendiri yang meratapi kesalahan karena sudah membuat orang yang kucintai pergi dan lebih memilih orang lain.