Konten dari Pengguna

Lolita Menjadikan Teman-temanku sebagai Kekasih Malamnya

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
2 Juni 2021 18:29 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Sejak awal menikah aku merasa semua baik-baik saja. Istri cantik yang selalu memujaku, karier bagus, dan bahkan calon bayi yang sedang bertumbuh di dalam perut Alia. Aku bekerja sangat keras, berusaha membuat anakku mendapatkan segalanya. Aku tahu betul bagaimana kerasnya hidup, kami pernah mengalaminya saat tahun pertama pernikahan. Saat itu ekonomiku tidak stabil dan terpaksa aku harus dikeluarkan oleh perusahaan karena mereka hampir bangkrut.
ADVERTISEMENT
Namun di tahun tersulit itu Alia tidak pernah mengeluh dan bahkan terus mendukungku. Ia ikut membantu memenuhi semua biaya, ia bekerja paruh waktu di saat aku berusaha mencari pekerjaan tetap. Semua berlangsung selama hampir lima tahun hingga akhirnya tempat aku bekerja sekarang memberi kesempatan padaku untuk membuktikan diri. Setelah itu semua mulai membaik bahkan kami diberi rezeki lebih yang membuat hati terasa sangat hangat.
Hadiah yang harus dibesarkan dengan penuh cinta dan tentu saja materi. Saking gila bekerja, mereka selalu menganggapku egois dan serakah karena tak menyisihkan waktu untuk keluarga. Padahal semua itu aku lakukan untuk Alia dan calon anakku, aku tidak ingin mereka mengalami kesulitan seperti yang sudah kami alami dulu. Bulan demi bulan berlalu, rasa senang, bahagia sekaligus gugup pun tatkala menghampiriku dengan mesra.
ADVERTISEMENT
Aku sampai tidak bisa tidur dua hari karena mulas yang dirasakan oleh Alia sepertinya mulai memengaruhiku. Dua hari tidak tidur, dua hari pula aku dan Alia menginap di rumah sakit. Erangan, genggaman, sampai teriakan terdengar dari balik ruangan tempat Alia mengejan hingga kami mendengar tangisan dari seorang bayi mungil yang kunamai Lolita. Kenapa? Karena semasa hamil Alia tidak pernah jauh dari permen lolipop dan bayi itu terlalu manis untuk tidak kuberi nama semanis nama permen.
Kukira kebahagiaanku lengkap sudah. Semua kehangatan sudah ada di dalam rumahku begitupula dengan materi yang sudah kusiapkan susah payah. "Aku akan menjadi seorang ayah yang bahagia" pikirku, namun ternyata semua jauh berbeda dari khayalanku. Alia mengidap penyakit depresi pasca melahirkan, ia jadi membenci Loli tanpa sebab apa pun. "Dia yang membuat aku selama ini kesakitan, aku tidak mau mengurus anak jahat itu!" Teriak Alia saat Loli menangis meminta ASI darinya.
ADVERTISEMENT
Alia sempat kubawa ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lebih lanjut tetapi ia justru menolak. "Aku tidak gila Anderson! Aku tidak gila! Anak itu yang membuatku gila, kamu harus menyingkirkan dia dari rumah ini!" Ucapnya padaku. "Aku tahu kamu tidak gila, Sayang tapi tidak ada salahnya jika kamu menceritakan apa yang kamu rasakan pada dokter. Mereka pasti tahu alasannya" jawabku berusaha setenang mungkin. Aku tidak mengerti bagaimana menghadapi orang yang terkena gangguan mental, tetapi yang kutahu aku harus mengurus semua hal bahkan yang terkecil.
Sejak kelahiran Loli dan Alia menderita depresi, aku jadi harus membagi waktu antara pekerjaan dan masalah di rumah. Aku harus mengurus Loli hampir dua puluh empat jam meskipun ia sudah kutitipkan pada seorang pengasuh. Dalam sehari Alia pasti menghubungiku sebanyak tiga puluh lima kali, hanya untuk melaporkan bagaimana perasaannya padaku saat ia menatap mata mungil Lolita.
ADVERTISEMENT
Aku merasa mendapat tekanan ekstra dari berbagai sisi, jadi kuputuskan untuk memanggil dokter ke rumah yang menyamar sebagai kolega kerjaku. Dalam dua bulan, Alia percaya kalau Dokter Nita adalah kolega kerjaku yang hanya berkunjung karena tertarik dengan cerita Alia tetapi kemudian ia menemukan kenyataannya. "Kamu berbohong padaku! Kamu jahat Anderson! Kamu jahat! Kamu lebih percaya bayi kejam itu daripada denganku. Aku tidak gila dan kamu malah membawakan seorang psikiatris!" Bentak Alia saat aku baru membuka pintu rumah setelah lelah bekerja.
Saat itu aku hanya menghela napas dan berusaha menjelaskan situasinya pada Alia tetapi ia tetap tidak mau mendengarkanku. "Aku tidak menyangka kalau kamu akan melakukan ini padaku Anderson, aku benar-benar kecewa padamu!" Ucapnya yang kemudian membanting pintu kamar kami. Aku hanya diam dan berharap kalau Alia akan membaik esok pagi, barulah saat itu aku akan mencoba berbicara dengannya dibantu oleh Dokter Nita.
ADVERTISEMENT
Tetapi dugaanku lagi-lagi meleset, malam itu aku langsung terlelap di sofa setelah menidurkan Lolita. Tubuh dan otakku terasa sangat lelah, seketika aku benar-benar terlelap di sofa depan televisi tepatnya di antara kamarku dan Lolita. Namun saat pagi menjelang, Lolita menjerit dan seketika aku loncat dari tidurku. Aku melihat Alia sedang mencubit paha Lolita hingga merah tua, "apa yang kamu lakukan?" Teriakku yang membuat Alia menoleh di tengah kegelapan kamar.
Ia terlihat terkejut dan melompat mundur beberapa langkah, aku menyalakan lampu kamar lalu berlari ke arah Lolita yang sudah menangis kesakitan. Aku melihat luka memar di paha kanannya, "kamu sudah gila!" Teriakku, "aku tidak gila! Kamu yang gila Anderson! Tidak seharusnya kamu membela bayi jahat itu, dia sudah menyakiti aku! Kamu tidak mencintai aku lagi Anderson" jawabnya. Kala itu aku terlalu lelah untuk menjelaskan pada Alia dan memilih untuk menenangkan Lolita.
ADVERTISEMENT
Pengasuh Lolita hanya berdiri di depan pintu kamar, "hubungi polisi!" Perintahku padanya, ia bergegas mengambil ponsel dan melakukan apa yang sudah kuperintahkan padanya. Alia terlihat sangat panik, matanya memicing ke arahku kemudian ia pergi begitu saja keluar rumah kami. Aku berusaha mengejarnya, entah ia mendapat kekuatan dari mana hingga ia bisa menghilang di balik gelapnya jalanan. Tangis Lolita mulai mereda setelah diberi susu formula, aku yang memberi dia susu sambil memandangi luka lebam yang diberikan oleh ibunya.
Tak lama polisi berdatangan, begitu juga dengan Dokter Nita, meski sudah terlambat tetapi Lolita tetap diperiksa. Dari dalam kamar Loli aku melihat dokter dan polisi sedang berdiskusi, lalu Dokter Nita pun menghampiriku "maafkan aku karena terlambat bertindak, ini tidak seharusnya terjadi" ucapnya padaku. "Tidak apa-apa, beruntung dia hanya memar dan tidak kehilangan nyawa. Alia bisa melakukan apa saja untuk menyingkirkannya" jawabku. Ia hanya mengangguk dan melihat ke arah wajah mungil yang terlelap dengan bekas jalur air mata di pipinya.
ADVERTISEMENT
"Kami akan mengawasi kalian, berjaga-jaga kalau dia kembali untuk melakukan sesuatu yang berbahaya" ucap Dokter Nita menutup pembicaraan kami. Bertahun-tahun setelah kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat Alia di mana pun. Aku semakin gila bekerja hanya untuk memfasilitasi Lolita, ada perasaan bersalah di dalam diriku sejak saat itu yang membuat aku ingin memberi semua yang ia minta sebagai permintaan maaf.
Orang-orang semakin sering berbicara tentang aku di belakang, mengatakan seberapa gilanya aku bekerja dan ketidakpedulianku pada Lolita. Sedangkan di sisi lain rumah Lolita terus saja berbuat ulah, berulang kali ia meminta uang dalam jumlah banyak dan membuat masalah. "Aku akan membayar dendanya jika kamu lepaskan dia dari sel" ucapku pada petugas polisi yang menahan Loli untuk kesekian kalinya. "Maafkan aku Anderson kalau ini sering kali terjadi tapi kamu tahu peraturannya dan Lolita sudah terlampau sering melanggar" jawab Thompson.
ADVERTISEMENT
"Tidak masalah, aku mengerti. Aku hanya tidak ingin dia merasa kesulitan dan menganggap kalau aku tidak peduli padanya" balasku. "Kalau boleh menyarankan, sepertinya kamu harus membiarkan dia sesekali bertanggung jawab pada ulahnya. Bukan berarti kamu tidak mempedulikan dia" timpal Thompson, dia adalah teman sekolahku dulu. Maklum saja, tinggal di kota kecil membuat kamu akan dikenal banyak orang dari tahun ke tahun termasuk masa lalumu. "Aku terus merasa bersalah karena Alia, mungkin dengan begini aku bisa menebus kesalahanku padanya" jawabku.
Thompson terlihat menghela napas panjang dan menepuk pundakku, "aku tahu, tidak ada yang inginkan itu terjadi tapi semua itu bukan salahmu dan seharusnya dia mengerti" balasnya. "Kamu terlalu mencintai dia Anderson, terkadang cinta bisa berubah menjadi racun jika kamu membiarkan dia terus menindasmu" tambahnya. Aku diam dan hanya menyerahkan kartu debitku untuk membayar denda kesalahan yang dilakukan oleh Lolita.
ADVERTISEMENT
Gadis mungilku yang sangat kucintai kini mulai berubah menjadi seorang gadis nakal dan tidak pernah mau menuruti kataku. Ia terlampau serinng melanggar semua peraturan, tak hanya milikku tetapi juga kota ini. Suatu hari aku menemukan dia sedang berada dipangkuan seorang lelaki asing di dalam rumahku "siapa kamu? Singkirkan tanganmu dari anakku!" Teriakku saat menyaksikan hal menggelikan itu di depan pintu rumahku. Namun bukannya segera menyingkir, Lolita justru semakin mesra dengannya "jangan pikirkan ucapan orang tua itu, dia hanya mengganggu kita" jawabnya.
Aku terlampau marah dan rasanya ingin mematahkan jari yang sudah melingkar manis di pinggul Lolita. Tapi yang kulakukan hanya diam dan menyaksikan mereka yang berpindah tempat menuju kamar Loli. Itu terjadi tak hanya satu kali, ia bahkan sering berpesta minuman keras dan membawa banyak temannya tanpa izin. Aku menunggu Lolita di ruang tunggu kantor polisi, lima belas menit kemudian ia berjalan keluar dari lorong kusam yang mengantarkannya pada ruangan kecil berjeruji.
ADVERTISEMENT
Lolita hanya diam saat kupeluk dirinya yang sudah kusam, kupikir ia merasa bersalah. "Dia akan berubah jika sudah waktunya" ucapku dalam hati. Dua tahun berlalu aku semakin gila bekerja, sedangkan Lolita masih sama dengan kenakalannya. Semakin aku gila, semakin banyak pula ocehan orang-orang di balik punggungku. Ketika jabatan tinggi sudah kugenggam dan uang jumlah banyak selalu mampir ke rekeningku, godaan itu pun semakin nyata.
"Selama ini kamu hanya memikirkan kebahagiaan anakmu, apa dia terlalu penting sampai kamu mengabaikan kebahagiaanmu sendiri?" Tanya Albert, rekan kerjaku. "Dia sangat penting sampai aku pun tidak pernah terpikir untuk mencari wanita lain, aku tidak ingin dia merasa tersingkirkan" jawabku. "Aku tidak menyuruhmu mencari istri Anderson, di luar sana banyak wanita muda yang bisa memanjakan kamu hanya satu malam. Lolita bahkan tak perlu tahu kalau kamu melakukan itu di luar" sambut Albert.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun aku menolak ajakan seperti itu, meski sebenarnya aku begitu haus dengan perhatian seorang wanita. Pikiran itu kutolak saat wajah Lolita muncul di depanku saat kembali bekerja, ingatan buruk saat ia masih bayi selalu terputar dengan jelas. "Aku tidak ingin ada yang menyakitinya, siapa pun itu!" Kecamku dalam hati. Hasrat itu hilang begitu saja saat aku bertekad seperti itu dan hal yang kuinginkan pun terjadi.
"Ayah aku ingin melanjutkan studi di luar kota dan mungkin akan mencari kerja paruh waktu di sana" ucap Lolita saat ia menemuiku usai sekolah. Hatiku terasa hangat dan bahagia, seolah doaku selama ini di dengar olehnya dan untuk pertama kalinya ia mau menuruti keinginanku. "Boleh, aku akan senang jika kamu mau melakukannya. Tapi aku harus tahu di mana kamu akan tinggal dan universitas mana yang kamu pilih" jawabku.
ADVERTISEMENT
Lolita membuka iPad-nya dan menunjukkan surel, ia dinyatakan lolos seleksi ke tahap selanjutnya di sebuah universitas yang letaknya cukup jauh. "Diam-diam dia mendengarkan kata-kataku selama ini" ucapku bangga dalam hati, aku menyetujui keinginannya. Meski berpisah cukup jauh dan merasa sangat khawatir tetapi aku harus melakukan itu agar Lolita bisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang mandiri. Satu bulan ia harus mempersiapkan semuanya, termasuk semua berkas penting dan tiket keberangkatannya.
Setelah semua selesai, aku mengantar Lolita hingga ke bandara dan melihat dia masuk ke dalam pesawat. Hatiku sangat lega dan bahagia meski tak bisa kupungkiri ada rasa khawatir dirinya akan mengalami kesulitan di sana. Satu minggu berlalu, Albert semakin gencar mengajakku ke sebuah tempat yang selama ini ia tawarkan padaku. "Kamu sudah tidak ada Lolita, kamu pria bebas sekarang" ucapnya meyakinkanku.
ADVERTISEMENT
Akhirnya aku pun luluh dan ikut Albert ke sebuah bar di mana ia biasa bermain oleh seorang wanita. Untuk menghangatkan suasana, kami memesan minuman hingga lima botol besar "di sini kamu harus coba wanita yang bernama Candy, pelayanan dia selalu terbaik!" ucap Don yang duduk di sampingku, "itu benar dan aku selalu suka dengan dia, dia benar-benar yang terbaik!" Timpal Albert. Malam itu mereka menyuruhku untuk mencicipi pelayanan terbaik yang ada di bar dan aku pun menyetujuinya.
Belasan tahun aku tidak pernah lagi bersentuhan dengan wanita dan kali ini pun aku tidak akan menyianyiakannya. Aku memesan sebuah kamar dan meminta mereka mengirimkan seorang wanita bernama Candy seperti yang disarankan oleh teman-temanku, "tolong bawakan aku Candy ke kamar 503" ucapku pada seorang pria di seberang telepon. Sambil mempersiapkan nyali, aku menunggu wanita itu di pojok ruangan ditemani segelas whisky.
ADVERTISEMENT
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk dia sampai dan mengetuk pintu kamarku. Aku tak menjawab tetapi pintu mulai terbuka, cahaya yang remang dipadu dengan warna dinding merah tua pun semakin membuat suasana semakin menegangkan. Semerbak parfum yang ia pakai pun perlahan mulai menyapa hidungku lebih dulu. Dari balik pintu aku melihat siluet seorang wanita yang mengenakan pakaian minim dengan sepatu hak tinggi. Ia mulai berjoget perlahan yang membuat adrenalinku semakin bergemuruh, pinggul seksinya mulai bergerak ke kanan dan ke kiri seolah musik sudah ada di dalam kepalanya.
"Selamat malam" ucapnya dengan mesra, seketika adrenalinku pun menciut saat mendengar suaranya. Sambil tetap berjoget, ia semakin maju dan menampakkan wajahnya, "Lolita!" Teriakku saat wajahnya mulai terkena sinar lampu yang tidak terlalu jelas. Teriakanku membuat dia berhenti bergerak, ia mematung dan hanya menatapku yang mulai terkulai lemas dan perlahan kesadaranku menghilang. Aku mendengar teriakannya memanggil-manggilku dan bahkan ia menghubungi seseorang yang kalau tidak salah bernama John.
ADVERTISEMENT
"John, hubungi ambulans segera!" Teriaknya dan aku sukses tak sadarkan diri. Semua ucapan Albert dan Don mulai terngiang di kepalaku, "sejak kapan dia bekerja sebagai wanita seperti itu?" Tanyaku dalam hati. Aku tak kuasa membayangkan anak gadis yang rapuh harus pergi ke tempat gelap dan memuaskan banyak orang. "Apa pria yang sering berada di rumahku adalah kliennya?" Pikiranku mulai berkecamuk.
Anak yang selama ini berusaha kulindungi dan kubahagiakan mati-matian sampai harus mempertaruhkan namaku justru menjadi pedang yang menikamku sampai ke jantung. "Tidak cukupkah semua uang yang kuberikan padanya selama ini?" Tanyaku, hatiku terlalu sakit untuk membayangkan wajah-wajah brengsek yang harus menyentuh tubuh anakku. "Dia bukan anakku! Dia bukan lagi anakku!" Teriakku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Entah sudah berapa hari aku terbaring dengan banyak alat di tubuhku dan saat sadarkan diri, aku melihat Lolita sedang terlungkup di sisi ranjangku. Aku meneteskan air mata tetapi buru-buru kupalingkan wajah saat ia mulai terbangun, "Ayah..kamu sudah sadar? Akan kupanggilkan dokter" ucapnya sambil berusaha terburu-buru bangkit dari kursinya. "Tidak perlu" sahutku, "satu-satunya orang yang membuatku sakit adalah kamu! Mulai sekarang kamu bukan Lolita dan akan kuanggap anakku sudah mati di atas pesawat seminggu lalu" tambahku.
Sekuat tenaga aku mengontrol suara dan menahan rasa sakit yang menikam jantungku ribuan kali. Aku tak menatap wajahnya saat mengatakan itu dan hanya melihat ke arah jendela. Lolita terisak, "maafkan aku" ucapnya tetapi ia tak meminta lebih dari itu. Tak lama aku mendengar suara pintu yang terbuka dan langkah kakinya pun mulai menjauh. "Aku sukses membuat anakku pergi" sesalku dalam hati, tetapi rasa penyesalanku tak sebesar rasa sakit yang tertanam sangat dalam.
ADVERTISEMENT
Satu minggu aku berada di rumah sakit, semua biaya ditanggung oleh perusahaan tempatku bekerja. Setelah pulih, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu dan menikmati sisa hidup dengan semua uang yang kupunya. Aku menjual rumahku lalu pindah ke sebuah desa yang sangat tenang. Aku berusaha melupakan apa yang terjadi dan mulai membangun kehidupan baru bersama seorang wanita paruh baya yang baru kutemui satu tahun setelahnya. Semua uang dan waktu yang dulu kupertaruhkan untuk seorang anak, kini sudah saatnya kunikmati seorang diri. Albert benar, Lolita kuanggap terlalu penting sampai aku melupakan kebahagiaanku sendiri.