Konten dari Pengguna

Nenekku Menjadi Selingkuhan dari Tunanganku

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
10 Maret 2021 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Cerita ini tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku! Rasanya aku ingin menikam orang itu di tengah kerumunan tamu. Dipenjara? Aku tidak peduli! Orang seperti itu pantas untuk tinggal di dalam tanah paling dalam. Seharusnya bajingan itu juga kucelupkan ke dalam tong besar dan kurendam di dalam air keras! Seharusnya mereka tidak kubiarkan hidup dan berkeliaran bebas di jalan.
ADVERTISEMENT
Kalau ditanya apakah aku sebenci itu dengan mereka? Akan kujawab, jika ada yang lebih dari kata 'benci' maka itulah perasaanku. Dikecewakan, dikhianati, dan dibunuh perlahan secara bersamaan oleh orang yang merawatku dari kecil sungguh menyakitkan. Aku tidak memiliki orang tua, mereka telah meninggal di usiaku yang ke dua. Pemerintah ingin mengambil dan menempatkanku di panti asuhan tapi nenekku menolak lalu mengatakan kalau ia masih mampu merawatku.
Sejak saat itu aku tak lagi mengenal kata papa atau mama, hanya nenek yang selalu ada di sana untukku. Ketika semua anak bercerita tentang orang tua mereka, aku cukup bangga menceritakan nenekku yang pandai merajut juga merangkai bunga. Ia gemar sekali mengepang rambutku dan menyisirkannya hingga aku tertidur di pangkuannya. Masakan nenek adalah makanan terenak untukku di seluruh dunia! Aku selalu ingin belajar bagaimana nenek meracik semua bumbu hingga menjadikannya hidangan lezat.
ADVERTISEMENT
Kami hanya hidup dari uang pensiun kakek, tidak ada yang istimewa dari itu. Sering kali aku harus menahan diri membeli sesuatu yang kuinginkan hanya agar uang itu bisa tetap ada untuk makan sehari-hari. Beruntungnya aku memiliki teman-teman yang tidak pernah mengolokku yang hanya tinggal dengan seorang wanita paruh baya yang penuh dengan cinta. Bahkan mereka terbilang dekat dengan nenekku. Jika kalian berpikir kalau nenekku memiliki banyak keriput dan bungkuk, kalian salah!
Nenekku masih sangat bugar dan cantik meski tak bisa kupungkiri kalau memang ada keriput di beberapa bagian wajahnya. Itu wajar! Ia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun di dunia ini dan keriput itu menunjukkan kalau dia sudah melewati semua asam-garam kehidupan. Aku sangat menyayangi nenekku, hanya dia yang kupunya di dunia ini dan lagipula aku merasa berhutang budi karena dia dengan senang hati menampungku di bawah atapnya yang sederhana.
ADVERTISEMENT
Hidup di keadaan serba terbatas membuat aku memiliki banyak keinginan terpendam, salah satunya tentu ingin membeli barang yang kuinginkan. Aku sangat beruntung bisa meneruskan sekolah ke universitas dengan beasiswa penuh dari pemerintah, "itu semua berkat doa nenek yang tak pernah putus padaku" pikirku. Selama ini tidak terpikirkan olehku untuk menjalin hubungan dengan pria, meskipun ada beberapa dari mereka yang tertarik padaku.
Aku hanya fokus untuk menyelesaikan studiku agar bisa cepat melanjutkan universitas dengan beasiswa penuh. Aku tidak ingin membebankan nenek dengan banyak biaya di saat dia hanya menerima pensiunan yang tidak seberapa. Jauh di dalam hati aku ingin sekali mengajak nenek pergi berkeliling, membuat ia melihat dunia baru dengan mata tuanya. Namun ketika aku harus pergi ke universitas yang kumau, nenek terlihat sangat sedih hingga ia tidak bisa tidur dan terus mencuri pandang ke arahku.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali kukatakan padanya untuk tidak usah mengkhawatirkan keadaanku tetapi sepertinya ia masih terbayang saat aku masih tak berdaya. Seorang anak kecil rapuh yang ia persilahkan masuk ke dalam gubuk sederhananya dengan penuh kasih sayang. "Aku akan sering datang untuk menjengukmu" ucapku berulang kali, tetapi semakin dekat dengan hari kepergianku semakin ia sering menangis. Aku ingin membatalkan keberangkatanku tetapi kuingat lagi impian yang selama ini sudah kupendam.
"Kalau aku sukses, kamu akan bangga melihatku" ucapku masih berusaha menenangkannya. Berhari-hari ia tidak banyak bicara hingga hari kepergianku tiba dan ia hanya menatapku dengan banjir air mata. Hari itu tidak hanya hari terberat untuknya tetapi juga untuk aku, namun aku harus tetap pergi agar bisa menyenangkannya di hari tua nanti. Tahun demi tahun berganti dan aku memegang janjiku untuk sering datang menjenguknya, nenek pun terlihat semakin bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
ADVERTISEMENT
Di universitas aku bertemu dengan seorang pria, Gilbert, dia secara terang-terangan mengatakan kalau ketertarikannya padaku. Aku yang belum memiliki pengalaman di bidang percintaan pun dengan cepat terpincut pada setiap kata dan perlakuannya. Singkatnya kami mulai berkencan dan dengan bangga dia kukenalkan pada nenekku. Mulanya nenek tidak suka melihat Gil dan menganggap kalau dia akan membuat aku menjadi wanita nakal seperti di luaran sana.
Namun seiring berjalannya waktu, Gil membuktikan kalau dia mampu menjadi pria yang tepat untukku dan perlahan nenek mulai bersikap baik padanya. Lima tahun hubunganku dan Gil berjalan hampir bisa dikatakan sangat mulus, ia berusaha mengerti keadaanku dan begitu juga sebaliknya. Gil beberapa kali menemaniku mengunjungi nenek, ia bahkan bersedia menginap agar aku dan nenek tak perlu kesulitan jika ingin pergi ke suatu tempat. Tentu saja karena Gil memiliki mobil yang mampu membawa kami ke mana pun.
ADVERTISEMENT
Hari-hari yang kami lewati sangat menyenangkan! Aku berpikir cepat atau lambat semua momen itu akan sering kami lewati bersama. Aku dan Gil memang sudah membicarakan tentang pernikahan dari tahun kedua kami bersama tetapi itu belum kusampaikan pada nenek hingga akhirnya pada tahun kelima aku mulai memberikan sebuah tanda. Nenek dengan tanggap menerima tanda yang kuberikan "apa kalian akan segera menikah?" Tanyanya saat kami sedang berpiknik di dekat danau.
Aku dan Gil sontak saling melempar tatap, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya karena takut nenek belum siap melepaskanku. "Iya, kami akan segera menikah" jawabku ragu-ragu, raut wajah nenek langsung berubah sambil melihat ke arah kami secara bergantian. "Tapi kalau kamu belum siap, kami bisa menundanya" tambahku terburu-buru karena takut nenek akan marah, setelah beberapa saat terdiam akhirnya muncul rona merah di kedua pipinya. Ia tersenyum dan menangis terharu "kenapa harus ditunda? Itu pilihan yang bagus! Aku akan sangat senang melihatmu mengenakan gaun indah itu" sahutnya.
ADVERTISEMENT
Senyum di wajahku pun langsung merekah "benarkah? Apa kamu bisa melepaskan aku untuk menikah?" Tanyaku, nenek hanya mengangguk meski kutahu kalau dia hanya berusaha untuk terlihat bahagia di depanku. Mendengar persetujuan itu membuat kami mempercepat semua persiapan, nenek bahkan selalu kuajak untuk melihat bagaimana pernikahan kami akan digelar. Nenek adalah orang pertama yang melihat aku terbalut gaun pernikahan impianku. Ia menangis sambil memelukku saat itu yang membuat semua orang di ruangan pun ikut merasakan keharuan kami.
Setelah semuanya siap dan hari pernikahan sudah ditentukan, tiba-tiba nenek menghilang. "Mungkin dia butuh waktu untuk menyiapkan diri" pikirku dan di saat yang bersamaan Gil pun menghilang. Ia tidak bisa kuhubungi dan semua temannya tidak tahu keberadaannya. Aku mengabaikan kejadian aneh itu dan memilih untuk tidur karena harus menyiapkan diri untuk hari besarku. Keesokan harinya aku bangun dengan kondisi yang sangat baik tapi nenek masih tidak bisa kutemukan.
ADVERTISEMENT
Aku meminta beberapa orang untuk mencari nenek karena khawatir ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sementara aku tetap berada di kamar untuk berias dan mengenakan gaun spesial itu. Dari tiga orang yang mencari, salah satu di antaranya mengatakan kalau nenek sudah berada di tempat pernikahan dan ia terlihat sangat gelisah. "Mungkin ia sedang menungguku keluar" pikirku dan setidaknya aku tahu kalau nenek baik-baik saja.
Acara berlangsung khidmat dan aku keluar dari balik pintu besar dengan gaun serba putih. Aku berjalan pelan tapi pasti menuju ke altar dan di sana Gil sudah terlihat mengenakan jas hitam dengan senyum menawan. Ia siap menantiku. Ketika sampai di altar dan pendeta mulai berbicara "apa di sini ada yang keberatan dengan pernikahan ini?" Tanya pendeta. Aku menoleh ke belakang cukup lama dan tidak ada yang mengangkat tangan mereka tetapi ketika kepalaku sudah memutar membelakangi tamu lalu bersiap untuk berdoa tiba-tiba pendeta mengatakan sesuatu.
ADVERTISEMENT
"Silahkan" ucap pendeta, perkataan itu sontak membuat aku kembali memutar kepalaku dan melihat nenek sudah berdiri di antara para tamu. "Aku keberatan" sahutnya, wajahku mulai terlihat bingung "bukankah nenek sudah menyetujui pernikahan ini?" Pikirku. "Nenek apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu sudah menyetujuinya?" Tanyaku, "aku keberatan karena selama ini Gil dan aku memiliki hubungan khusus" jawabnya. "Kami sudah sering tidur bersama dan melakukannya saat ia menginap di rumahku" tambahnya, seketika jantungku berhenti berdetak.
Aku masih tak menyangka dengan apa yang kudengar dari mulut nenek lalu menoleh ke arah Gil yang sudah terdiam di sebelahku. "Aku mencintai nenekmu Sarah, aku mencintainya bukan kamu" ucapnya. Duaaarrrrr!!! Semua kenangan yang berputar layaknya sebuah film di kepalaku pun mulai terbakar. Aku melihat sekeliling yang mulai menatapku dengan tatapan kasihan dan sebagian lagi berbisik tentang bagaimana pernikahanku harus berakhir dengan tragis.
ADVERTISEMENT
Pandanganku mulai gelap, dadaku terasa sangat sesak. Rasanya gaun yang kukenakan terlalu ketat dan tidak nyaman. Aku berjalan terhuyung hingga akhirnya jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Aku terbangun menatap langit-langit rumah sakit dan masih mengenakan gaun pernikahanku. Beberapa teman menunggu di sebelahku dengan tatapan iba, aku menangis sekeras yang kubisa dan mereka hanya bisa memelukku tanpa bicara.
Salah satu dari mereka adalah Tom, sahabatku sejak kami masuk universitas. Ia berinisiatif mengambil semua pakaianku dari rumah nenek dan membawaku pergi sejauh yang ia bisa. Ia membawaku jauh dan berusaha memulihkan keadaanku. Tiga tahun aku hanya bisa duduk terdiam memandangi ombak yang menyapu daratan, diam dengan tatapan kosong berusaha menghilangkan kenyataan. Tom ada di sana selama itu meski ia harus membagi waktu untuk bekerja dan membereskan bungalow kami.
ADVERTISEMENT
Selama itu ia berusaha memulihkan keadaanku, mengajakku berjalan-jalan, bercerita, apa pun agar aku bisa kembali seperti dulu. Di tahun keempat aku mulai berbicara meski tidak banyak yang kukatakan, tetapi itu cukup membuat Tom merasa sangat bahagia. Ia bahkan memelukku sambil menangis. Sejak hari itu aku tidak lagi bertemu apalagi menghubungi nenek, ia kuanggap sudah lama mati dalam kehidupanku. Meski sudah merangkak pulih, tetapi aku tidak bisa melupakan kejadian itu begitu saja. Itu akan tetap berbekas meski kini aku sudah memiliki cinta yang lain.