Konten dari Pengguna

Perselingkuhan Terlarang Antara Guru dan Murid

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
27 April 2020 10:33 WIB
clock
Diperbarui 4 Mei 2020 16:27 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi selingkuh. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi selingkuh. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Aku adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan Jepang. Aku sudah berkeluarga dan dikaruniai dua anak laki-laki, rupaku cukup manis, tubuhku pun proporsional. Suatu ketika aku menerima pekerjaan sambilan menjadi guru bahasa Jepang dari salah seorang teman.
Calon muridku bukanlah pelajar ataupun mahasiswa, melainkan seorang dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Wajahnya sangat menawan, ia dan istrinya memiliki profesi yang sama. Mereka pun dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita.
Dokter ini mendapatkan beasiswa ke Jepang dan akan berangkat enam bulan kemudian, ia ingin bisa berbahasa Jepang setidaknya untuk komunikasi sehari-hari. Jadi, ia menginginkan jadwal belajar yang intens setiap hari kerja dan aku menyanggupi.
Pada tiga bulan pertama semua berjalan dengan sangat normal, kami selalu bertemu sepulang kerja di salah satu coffee shop di mal kawasan Jakarta Selatan. Dokter ini pernah mengenalkan istrinya kepadaku ketika mereka pergi berkencan usai pembelajaran, begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, dokter ini sering bercerita tentang banyak hal karena sesungguhnya ia sangat ingin istrinya bisa ikut bersamanya. Namun, istrinya memiliki tanggung jawab profesi dan diharuskan berkarier karena permintaan kedua orang tuanya.
Dari sanalah isi percakapan kami di Whatsapp berubah, tidak hanya membahas bahasa Jepang tetapi juga hobi, cerita kejadian hari ini, hingga hal-hal lucu saat bekerja.
Tiga bulan selanjutnya, dokter ini mulai menggodaku “Bu Guru, kalau bahasa Jepang-nya saya suka kamu apa?” tanyanya. Aku menjawab dengan serius karena pertanyaan semacam ini sudah sering ditanyakan oleh mereka yang pernah aku ajarkan.
Aku menganggap pertanyaan itu normal, aku menjawab “kalau dari posisi laki-laki bisa mengucapkan Boku wa kimi ga suki desu, itu formalnya menggunakan subjek dan objek. Namun kalau sebaliknya, Watashiwa anata ga suki desu atau bisa juga Boku wa kimi no koto ga suki desu. Kata kimi bisa diganti dengan nama cewek, misalkan”.
ADVERTISEMENT
Lalu dokter ini berkata sambil menatapku, Boku wa Bu Guru no koto ga suki desu. Aku menatapnya terpana dan kehilangan kata-kata, kemudian ada seorang pelayan yang menegur karena ingin mengambil piring kotor bekas croissant.
Ketika itu aku bingung harus bereaksi bagaimana, raut wajahnya tampak serius sekali. Sungguh waktu berjalan sangat lamban saat itu, tak lama ponselnya bergetar tanda ia harus kembali ke rumah sakit “Bu Guru, aku harus kembali jam istirahat sudah selesai” ucapnya. Aku bernafas lega sambil melirik jam tangan “silahkan Dok” balaskudoumo arigatou Bu Guru” balasnya.
Jadwal kerjaku dari jam 09.00-17.00, setelahnya aku mengajar dokter hingga 18.30 sehingga aku sampai di rumah sekitar 19.30 bahkan 20.00 (kalau macet) setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Aku sangat kelelahan hingga harus dibawa ke rumah sakit yang kebetulan tempat dokter itu bekerja. Sebisa mungkin aku menghindarinya, aku memilih untuk datang ke dokter spesialis penyakit dalam dan melalukan pemeriksaan, hasil tes darah menyebutkan bahwa fungsi liverku terlalu tinggi hingga diwajibkan untuk dirawat di rumah sakit.
Selama aku dirawat, dokter itu menjadikannya kesempatan untuk menggodaku lagi. Bisa dikatakan dokter ini cukup tampan dan aku sering kali memujinya walau hanya di dalam hati. Suatu malam aku mengirimkan pesan untuk memberitahukan bahwa aku tidak bisa mengajar karena sedang dirawat, ia pun bertanya aku dirawat di mana dan berapa nomor kamarku, kemudian aku beritahunya.
Ketika aku tertidur, sayup-sayup aku mendengar suaranya memanggilku. “Bu Guru, sudah enakan?” tanyanya “belum Dok, kepalaku masih pusing” jawabku. “Kok makanan rumah sakitnya masih utuh? Bu Guru belum makan?” tanyanya lagi “belum Dok, mengangkat tangan saja berat rasanya, tadi saya sudah mencet bel mau minta tolong disuapi suster” balasku. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia berpikir dan mempertimbangkan sesuatu “suamimu kerja Bu Guru?” tanyanya kemudian “ah iya, dia sedang ada deadline jadi tidak bisa ke sini” jawabku.
ADVERTISEMENT
Senyumnya pun berkembang “aku suapi saja ya? Suster lagi pada sibuk wara-wiri” ucapnya sambil mengambil mangkuk bubur yang berada di samping tempat tidur. Belum sempat aku menjawab, ia sudah mulai menyuapi.
Aku disuapi dokter itu yang katanya sedang istirahat shift IGD, separuh mangkuk bubur sudah kosong “aku sudah kenyang Dok, terima kasih aku jadi tidak enak” ucapku “tidak apa-apa kan sudah tugas dokter merawat orang yang lagi sakit” jawabnya sambil melontarkan senyum manis. Aku merasa tindakan itu adalah caranya menggodaku, tetapi kembali lagi saat aku sakit wajahku benar-benar tanpa make up dan pucat “masa iya dia menikmati momen nyuapi aku yang lagi dekil begini?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Setelah selesai, ada suster yang datang memastikan kondisiku. Ia mengukur suhu tubuh dan tes darah untuk memantau fungsi liverku. “Sus, saya titip ya, ini Bu Guru saya kalau ada apa-apa langsung hubungi saya di IGD” ucapnya “baik dok” jawab suster jaga. Padahal dokter itu bukan dokter yang seharusnya mengecek keadaanku. Aahh..saat itu aku mabuk dibuatnya, selama di dalam kamar aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Selagi memikirkannya, ia mengirimiku pesan “cepat sembuh ya Bu Guruku yang cantik” makin mabuk saya dibuatnya. Pesan itu langsung aku hapus, jaga-jaga kalau suamiku membaca saat ia sedang memegang ponselku.
ADVERTISEMENT
Pesannya membuatku bersemangat untuk cepat sembuh. Alhamdulillah hanya butuh waktu dua hari untuk saya dirawat karena hasil pemeriksaan tes darahnya sudah bagus. Sebisa mungkin aku menghindari dokter itu walau masih sering mengirim pesan, baru saja dua hari berada di rumah kepalaku sakit hebat. Aku meminum obat dan mengirim pesan ke dokter internis-ku, Dr. Dias, ia menyuruhku untuk segera ke IGD karena sedang tidak praktik saat itu. Saya naik taksi online sendiri dan langsung bergegas ke IGD, dalam hati “celaka! Saya akan ketemu dokter itu nih”.
15 menit berlalu, dokter itu tidak terlihat ada di mana pun sepertinya memang bukan jadwal praktiknya “THANKS GOD!” ucapku dalam hati. Kemudian ada suster yang menghampiriku dan berkata bahwa IGD saat itu sedang penuh dan disarankan untuk pergi ke Poli Umum. Aku bertanya untuk memastikan kalau dokter yang bertugas bukanlah dia dan untungnya suster itu menyebutkan nama dokter lain. Aku setuju untuk pindah ke Poli Umum, tapi sialnya dokter itulah yang sedang bertugas karena dokter yang disebutkan tadi sedang berhalangan. Untuk membatalkannya pun sudah terlambat karena namaku terlanjur dipanggil.
ADVERTISEMENT
Saat memasuki pintu, terlihat sekali wajahnya berseri. Aku berusaha menjernihkan pikiranku, “di dalam ada suster dia tidak mungkin macam-macam”. Sesampainya di dalam, dokter itu berkata pada suster pendamping yang sudah separuh baya “ditinggal saja Sus, ini Bu Guru saya yang selama ini ngajarin saya bahasa Jepang” sontak saja wajahku berubah menjadi tegang “oohh..ini toh Bu Guru yang kemarin Pak Dokter ceritakan sedang dirawat di sini, ya sudah Dok saya tinggal ya” balas suster itu.
Jantungku semakin berdebar, panik tidak karuan “kenapa dia harus keluar? satu-satunya penyelamatkuceracauku dalam hati. Aku disuruh untuk terlentang di atas kasur pasien, ia menginjak pegas agar tempat tidur bisa lebih tinggi kemudian mendaratkan stetoskopnya.
ADVERTISEMENT
“Bu Guru bangun dulu yuk, pelan-pelan aku bantu untuk cek mata kamu takutnya kalau berhubungan dengan liver bola mata bisa menguning” ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk menggapai tanganku. Baru kali itu aku berpegangan tangan dengannya, ada perasaan aneh “jangan lebay!” kutuk diriku dalam hati. Dengan posisi duduk di pinggir, dokter itu kembali mengatur tinggi-rendahnya tempat tidur hingga mataku bertemu dengan matanya. Dokter itu menyibakkan rambutku agar tidak menutupi mata, menaruh jemarinya di leher untuk memeriksa kelenjar. Setelah memastikan semua aman, ia mengatakan bahwa mataku indah kemudian menciumku.
Tentu saja ucapan hanya sekadar ucapan, keesokan harinya kami melakukannya lagi, lagi, dan lagi hingga menjelang ia akan pergi ke Jepang. Kami berdua berjanji untuk mengakhiri hubungan terlarang itu, aku memutus semua kontak dengannya baik Whatsapp maupun Email.
ADVERTISEMENT
Sebulan setelahnya ia meneleponku dan menanyakan alasan kenapa nomornya aku blokir, aku hanya ingin semua berakhir dan itu tidak akan terjadi jika salah satu dari kami tidak memulainya. Ia pun berjanji untuk tidak menggangguku lagi.
Seminggu kemudian, atasanku menawarkan mutasi kerja ke Tokyo selama enam bulan. Awalnya aku ragu untuk mengambil pekerjaan itu karena harus meninggalkan suami dan anak-anakku, tetapi ternyata suamiku menyetujui itu.
Jika selama enam bulan pekerjaanku bagus maka akan diperpanjang selama dua tahun, di situlah aku baru bisa membawa keluargaku. Akhirnya, aku tiba di Haneda dan menuju apato yang sudah disewakan untukku, Odaiba, tepat dua stasiun monorail dari sana adalah No Kagakukan Station, tempat tinggal dokter itu. Setengah mati aku berusaha untuk tidak mengiriminya pesan, memberi kabar kalau aku ada di Tokyo dan ingin bertemu.
ADVERTISEMENT
Seminggu di Odaiba, aku mengalihkan pikiranku dari dokter itu dengan berkeliling mencari supermarket murah atau ke Daiso untuk mengisi apato, selama itu aku tidak berhenti berdoa agar tidak dipertemukan dengannya.
Ternyata doaku tidak didengar oleh Tuhan, saat sedang makan siang di salah satu restoran Halal ia menyapaku dan menawarkan diri untuk bergabung. Bodohnya, aku tidak menolak! Kami bercerita banyak hal hingga ia mengajakku mampir ke apato miliknya untuk memberikan Indomie, barang langka di luar negeri.
Ironisnya, kami selingkuh hingga ke luar negeri yang bisa bebas tanpa takut terpergok pasangan masing-masing. Kami berganti-ganti tempat, kadang di apato milikku kadang di apato miliknya hingga ia menawarkan untuk tinggal bersama sehingga tidak perlu berpindah-pindah tempat. Aku menyetujui asal ketika sedang berkomunikasi tatap muka dia tidak boleh terlihat di kamera.
ADVERTISEMENT
Kami memiliki satu ruangan khusus untuk berkomunikasi yang dinamakan gudang karena memang itu tempat kami bersembunyi saat berkomunikasi tatap muka dengan pasangan kami. Selama empat bulan kami tinggal layaknya suami-istri, saling mengenal lebih jauh, berusaha memahami satu sama lain hingga di jam 06.00 suara bel berbunyi beberapa kali.
Aku yang mendengarnya pertama kali karena hari ini Sabtu dan tidak ada kuliah, ia sulit sekali untuk bangun.
Akhirnya setelah berbunyi beberapa kali, dokter itu bangun dan memakai baju lalu mengintip di lubang pintu untuk melihat siapa yang bertamu sepagi ini. Mukanya pucat, ia mundur perlahan sambil berjinjit agar tidak menimbulkan bunyi derit, maklum lantai di Jepang terbuat dari kayu sehingga kalau berjalan pasti terdengar hingga keluar.
ADVERTISEMENT
Aku langsung bertindak cepat, kusuruh dia untuk mandi sementara aku membereskan semuanya dalam waktu setengah jam. Menyingkirkan semua pengaman dari tempat sampah, mengemas pakaian, peralatan mandi, hingga make up-ku.
Lalu aku bersembunyi di dalam gudang, aku bilang padanya untuk menyuruh istrinya mandi agar aku bisa menyelinap ke luar sambil membawa koperku.
Setelah pintu dibuka, istrinya memarahi karena lama sekali membuka pintu. Dokter itu hanya menjawab suara belnya tidak terdengar karena sedang mandi dan kemudian balik bertanya “kok kamu bisa ada di sini?” dan dijawab “yaaa..aku mau kasih surprise sama kamu, anak kita aku titip sama mama”.
Saat itu membuat aku berpikir, betapa jahatnya aku main dengan suaminya saat ia sedang jauh. Aku menangis, air mataku mengalir deras tapi tetap berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Istrinya meminta untuk bercinta dan dokter itu menyuruhnya mandi terlebih dahulu tetapi ia menolak, alhasil aku dengar semua rintihan istrinya.
ADVERTISEMENT
Air mataku semakin berurai, aku menunggu hingga mereka selesai kemudian istrinya pergi ke kamar mandi. Di saat itulah dokter masuk ke gudang dan menenangkanku, tanpa berpikir panjang aku menyelinap keluar sambil membawa koperku. Betapa lelahnya aku bermain kucing-kucingan seperti ini, sekali lagi aku putuskan untuk memutus semua kontak dengannya.
Tetapi perjuangan dokter itu sangat gigih, ia rela menunggu berjam-jam di depan apatoku bahkan saat musim dingin. Odiba terletak di dekat laut, dinginnya berkali-kali lipat dari kota sana, aku membuka pintu dan melihat wajahnya sudah pucat kedinginan. Aku membolehkannya masuk dan memberikan selimut kemudian kusuruh dia duduk di kotatsu (meja dengan heater di bawahnya). Aku berikan teh manis panas lalu ia merebahkan dirinya, terpejam dan tidur.
ADVERTISEMENT
Aku pun tertidur, tetapi tidak bersamanya. Aku tidur di dalam kamar. Esok pagi aku melihat ke kotatsu ia sudah tidak ada ternyata sedang berada di kamar mandi, mengambil wudhu untuk salat subuh. Ia mengajakku untuk salat berjamaah, selesai salat ia minta untuk tetap bersamaku.
Aku berusaha untuk menyentuhnya dari sisi logika, hubungan ini tidak berujung dan rasanya tidak adil untuk kedua pasangan kami. Lantas, ia memelukku dengan sangat hangat. Inilah yang membuatku selalu meleleh, kehangatannya luar biasa.
Sampai saat ini aku masih berada dipelukannya, kontrak kerjaku di Tokyo diperpanjang bertepatan dengan selesainya kuliah dokter itu. Entah ini akan berlanjut sampai kapan? Aku juga tidak tahu.
Simak cuitan berikut.
ADVERTISEMENT