Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Pulang Dinas, Suamiku Membawa Istri Muda dan Anaknya
1 Mei 2020 11:23 WIB
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Aku Kartika, saat ini aku sedang menghadapi sidang perceraian dengan suamiku. Ia terlihat sangat setia dan bisa dipercaya, namun ternyata diam-diam ia memiliki istri dan anak jauh di seberang pulau saat menjalankan dinas.
Saat itu aku mengenalnya dari pesta perkawinan temanku, salah seorang teman mengenalkanku padanya. Ia terlihat gagah saat mengenakan jas, saat berkenalan aku menanyakan profesinya dan dia menjawab kalau ia adalah seorang aparat negara.
“Wow” pikirku, aku memang tidak pernah membayangkan akan berkenalan dengan seorang aparat negara. Di mataku mereka hebat karena mengabdi pada negara, pada pertemuan itu kami tidak saling bertukar kontak karena kupikir ia pasti sudah memiliki istri.
Aku pulang dari pesta tersebut dengan beberapa teman, tanpa berpamitan dengannya karena kami sudah pisah tempat dari beberapa waktu lalu. Di jalan teman-temanku bertanya, apa pendapatku tentangnya? Aku hanya menjawab seadanya karena memang tidak terbersit pikiran yang menarik tentang dia.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan berlalu, saat aku berada di salah satu kota dan datang ke restoran untuk makan malam, tiba-tiba ada seorang lelaki berseragam mendatangiku. Saat itu aku sedang bersama empat teman lelakiku, ya aku menjadi satu-satunya wanita.
Ia menghampiri mejaku dan langsung menyapaku “selamat malam Kartika” sapanya, aku terkejut dan memandang pria itu berusaha mengingat namanya. “Hmm yaa? Ada apa ya?” Jawabku, dia mendadak bingung dan balik bertanya “masih ingat dengan aku yang waktu di pesta perkawinan itu?”
Aku diam sejenak memikirkan dengan siapa aku berkenalan saat di pesta perkawinan, seperti yang ia katakan. Jujur saja, selama beberapa bulan ini aku menghadiri tiga pesta perkawinan, agak sulit untuk mengingat siapa yang aku temui.
ADVERTISEMENT
Ahh..akhirnya aku ingat dengan pria berjas waktu itu, aku meminta maaf dan menyambutnya dengan ramah. Ia bertanya, mengapa aku ada di kota ini dan aku hanya menjawab untuk menghadiri pesta perkawinan teman. Dari sana mungkin dia sadar kalau aku sudah menghadiri banyak pesta sehingga sulit untuk mengingat namanya.
Malam itu kami hanya mengobrol sebentar dan dia kembali ke meja bersama teman-temannya. Semua teman lelakiku tidak setuju kalau aku dekat dengan dia “kayaknya dia genit deh Ka” celetuk salah satu teman lelakiku “mungkin” jawabku. Aku tidak berniat untuk benar-benar mendekatinya, saat itu aku hanya menghargai temanku, tidak mungkin aku menolak di depannya itu sangat tidak sopan.
Setelah pesta perkawinan temanku, aku memutuskan untuk pergi ke supermarket seorang diri. Entah dia mengikutiku atau memang alam mempertemukan kami berdua, kami bertemu lagi di supermarket yang sama saat aku hendak keluar dan dia akan masuk ke dalam.
ADVERTISEMENT
Dari sana ia mencuri waktu untuk mengobrol sebentar di warung tenda dan mengatakan kalau dia tidak berkeluarga, kemudian ia meminta nomor kontakku. Awalnya aku ragu karena memang tidak berminat untuk dekat dengannya, namun kupikir pesan dia bisa kuabaikan nanti. Jadi, aku memberikan nomor kontakku dan kembali ke hotel.
Malam itu ia tidak langsung menghubungiku, beberapa minggu kemudian baru ada pesan darinya. Aku sengaja tidak membuka dan mendiamkan pesan itu beberapa hari, tetapi ia terus-menerus menerorku. Aku ingin marah tetapi ia orang baru dan aku takut menyinggung hatinya.
Akhirnya, aku balas dan mengatakan kalau aku sedang sibuk. Harapannya pesan itu tidak dibalas karena aku sudah mengatakan kata “sibuk” yang berarti tidak ingin diganggu. Rupanya pesan itu malah dijadikan sebagai bahan untuk dia mencurahkan perhatian.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali ia mengirimkan pesan dan aku tidak membalasnya. Tiba-tiba ada seorang kurir yang datang membawa banyak makanan “dari siapa Mas?” Tanyaku dan dia menjawab kalau lelaki itu yang mengirimkannya ke rumahku. “Tahu dari mana dia alamat rumahku?” Tanyaku dalam hati, aku segera membalas pesannya dan mengonfirmasi tentang makanan yang datang.
Ia mengatakan kalau itu benar darinya dan dia mendapatkan alamatku dari teman yang waktu itu mengenalkanku padanya. “Sialan, awas aja dia” ancamku dalam hati, aku tidak suka memberitahu alamat rumah ke sembarang orang. Jaga-jaga akan ada hal buruk yang datang, aku tinggal bersama ibu dan beberapa saudaraku.
Aku tidak ingin ada lelaki atau masalah yang datang dan mereka semua tahu. Aku bisa menyelesaikan itu semua sendiri dengan caraku. Dengan berat hati aku ladeni pesan-pesannya dengan jawaban sangat biasa, sebenarnya aku sudah menunjukkan ketidaktertarikanku dengannya tetapi ia sangat bebal.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu tidak sekali atau dua kali, bisa dikatakan ia sering mengirimi keluargaku makanan. Lama-lama keluargaku curiga, “siapa sih yang sering mengirimkan makanan?” Aku hanya menjawab “klien” karena pekerjaanku sebagai manajer marketing sudah pasti aku sering bertemu dengan klien.
Semudah itu mereka percaya, tetapi tidak dengan laki-laki yang tiba-tiba ada di depan rumahku. Aku mulai kesal dan jengkel karena sikapnya yang semena-mena, terpaksa aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Keluargaku geger karena ini pertama kalinya ada lelaki yang datang ke rumah menemuiku.
Singkat cerita, ia berhasil membuatku luluh dengan beragam aksi dan kata-kata manisnya. Saat tahu aku sedang jatuh cinta dengan pria itu, ibu berkata kalau ia tidak setuju dengan lelaki itu. Seketika bahagiaku luntur karena tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hubungan itu.
ADVERTISEMENT
Aku bilang kepadanya soal restu dari ibu yang tidak aku dapatkan, tetapi ia malah nekat untuk datang dan memperjuangkanku. Hatiku luluh dan buta, saat itu aku menganggap semuanya sempurna karena dia berani memperjuangkanku di depan ibu.
Setelah ia datang menemui ibu, ibu membicarakan hal ini empat mata denganku. Ibu merasa kalau lelaki itu tidak cocok denganku dan sedikit genit, terlebih dia adalah seorang aparat negara. Ibu tidak menyukai aparat negara mana pun karena menurutnya mereka akan kasar terhadap istrinya.
Aku mencoba meyakinkan ibu, meski dalam hati aku juga mengingat perkataan teman lelakiku. Ibu memintaku untuk memikirkannya kembali, “kenapa tidak dengan teman yang sering menjemputmu? Ibu lebih senang kalau kamu sama dia” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Lelaki itu yang mengatakan kalau pacarku ini genit, tetapi tidak mungkin aku bersama dia karena aku tahu seleranya jauh lebih tinggi. Aku merasa tidak pantas dengannya dan memang saat itu aku buta, aku tetap pada pendirianku. Melihat keras kepalanya diriku mempertahankan hubungan itu, akhirnya ibu merestui.
Aku bilang kepadanya dan dia segera menyiapkan beberapa hal untuk melangsungkan lamaran. Beberapa bulan setelah lamaran, kami menikah. Pernikahan kami sangat sederhana dan hanya diadakan di aula dekat rumahku. Undangannya pun hanya teman-teman terdekat saja.
Setelah menikah kami tinggal di rumah orang tuaku, aku memiliki empat saudara dan salah satunya sudah menikah dan memiliki satu anak. Pernikahan saudaraku itu gagal dan anaknya berada di rumah bersama kami.
ADVERTISEMENT
Pada awal pernikahan semua manis dan baik-baik saja, tetapi seiring berjalannya waktu kegiatanku dibatasi. Aku mulai tidak boleh kerja dan bertemu dengan teman-teman lelakiku. Ke mana pun ia pergi aku harus ikut dengannya, kupikir itu bentuk cintanya kepadaku. Ia tidak mau aku lelah dan menemui semua teman-temannya agar aku percaya kalau ia tidak selingkuh.
Lima tahun pernikahan, kami tak kunjung diberi keturunan. Kami periksa ke dokter dan ternyata ada yang salah dengan rahimku, kami memilih untuk terapi karena takut rahimku akan diangkat. Beberapa bulan aku terapi, mengusahakan agar kami punya anak, tetapi belum mendapatkan hasil.
Keponakanku saja yang sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri. Dengan mengasuhnya, aku semakin menginginkan keturunan kami sendiri. Berkali-kali aku mengatakan itu pada suamiku, ia hanya menyuruhku untuk bersabar.
ADVERTISEMENT
Ia akhirnya dikirim ke luar pulau untuk tugas di sana selama beberapa tahun, tetapi ia mendapatkan jatah pulang satu minggu per dua bulan. Dengan berat hati aku merelakannya untuk berangkat sambil aku tetap terapi sebulan sekali.
Saat terapi perutku terasa sakit sekali dan selalu lemas. Sehabis terapi, ia selalu video call dan melihat kondisiku. Ia pun sering pulang dan menetap cukup lama di rumah, tidak main bersama teman-temannya. Meski terlihat romantis dan peduli, sebenarnya ia juga senang memaki.
Kesalahan sedikit yang aku lakukan, ia akan membentakku meski di depan ibuku. Hati ibuku sakit tapi ia berusaha untuk menjauh karena takut mencampuri urusan rumah tanggaku. Ketika ia sedang membentakku, keluargaku hanya bersembunyi dan memerhatikan kalau-kalau ia ‘main tangan’ kepadaku.
ADVERTISEMENT
Itu sudah cukup sering terjadi, aku selalu memaafkan dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Beberapa bulan belakangan, ia jarang sekali menghubungiku bahkan sekadar mengirim pesan rasanya sulit sekali. Aku sempat merajuk untuk dia sering-sering mengabariku, namun katanya di sana sedang ada konflik jadi tidak mungkin ia mengabariku setiap saat.
“Kalau memang di sana ada konflik, kenapa di televisi tidak disebarkan beritanya?” Pikirku, hatiku sudah mulai timbul kecurigaan. Semakin hari kecurigaan itu semakin kuat, namun lagi-lagi aku tepis dan berusaha untuk menaruh kepercayaan penuh padanya. Aku menanamkan kalau memang sudah tugasnya mengabdi pada negara, aku sudah menyetujui itu dan sekarang harus menerima konsekuensinya.
Aku mencoba fokus pada terapiku dan mengalihkan pemikiran-pemikiran buruk tentangnya. Aku hanya ingin ketika ia kembali, rahimku sudah normal dan kami bisa memiliki anak. Aku sudah mendambakannya sejak lama.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan kemudian, ia semakin sulit dihubungi dan jarang sekali pulang. Masih dengan alasan yang sama, ia berusaha menenangkanku. Suatu ketika aku bertemu dengan salah satu teman yang dikirim bersamanya ke pulau itu di sebuah toko.
Ia mengatakan kalau di sana baik-baik saja dan tidak ada konflik apa pun. Kecurigaanku menguat, temannya itu menambahkan kalau sebenarnya mereka sudah dikirim kembali sejak dua bulan lalu. Hatiku semakin tidak karuan “sedang apa dia di sana selama ini? Mungkinkah hanya dia yang ditahan di sana?” Pikiranku tetap mencoba positif, namun hatiku tidak lagi bisa dibohongi.
Aku ambil ponselku saat berada di rumah dan meminta dia mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak mengatakan kalau bertemu dengan temannya tadi, tetapi aku bilang kalau aku bertanya langsung pada komandannya. Semua penjelasan temannya tadi aku sampaikan.
ADVERTISEMENT
Di seberang sana, ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku rasa ia sedang berpikir keras bagaimana cara menjelaskan semua ini kepadaku. “Aku akan pulang dua hari lagi” katanya kemudian memutus telepon.
Firasatku mengatakan kalau ini bukanlah hal bagus. Aku menangis diam-diam agar tidak membangunkan keluargaku, tetapi firasat seorang ibu sepertinya lebih kuat. Tiba-tiba ibuku mengetuk pintu dan membukanya karena memang pintu kamarku, saat tidak ada suami, tidak pernah aku kunci.
Ibu menemukan aku sedang menangis, melihat wajahnya pecahlah tangisanku di pangkuannya. Aku menceritakan semuanya dan ia pun ikut menangis. Semua saudaraku keluar dari kamarnya masing-masing dan mencari tahu apa yang terjadi.
Ibu menjelaskan semuanya, saudara lelakiku sudah geram. Esok hari, tanteku kebetulan datang dan diceritakanlah semua yang aku alami. Ibu menangis sejadi-jadinya, ia terus mengatakan kalau firasatnya sudah benar, lelaki itu tidak baik untukku.
ADVERTISEMENT
Saat itu aku tetap memaksa dan yang ibu pikirkan hanyalah kebahagiaanku. Ia terpaksa merestui karena sepertinya dia adalah pria idamanku. Aku ikut menangis, menyesal karena tidak menuruti ucapan ibu.
Hari yang ditunggu tiba, ia datang ke rumah membawa seorang wanita yang saat itu tengah menggendong anak laki-laki. Ia tidak perlu berbicara, kehadirannya sudah cukup menjelaskan semuanya. Aku tidak memperbolehkannya masuk, aku pergi ke dalam dan memasukkan semua bajunya ke dalam tasnya.
Aku keluar membawa tiga tas besar yang dibantu oleh saudaraku. Aku lempar tas itu kehadapannya dan mengusirnya. “Aku tidak mau melihatmu lagi, pergi dan aku tidak sudi di ‘madu’ olehmu” kataku sambil menutup pintu sekencang-kencangnya.
Berulang kali ia mengetuk pintu ingin menjelaskan semuanya, tetapi tetap aku tidak membukakannya pintu. Ibu menghampiriku perlahan, aku terisak di dalam pelukkannya.
ADVERTISEMENT
Semua saudara-saudaraku sudah geram dan hendak menghampirinya ke luar. Aku menahan dan membiarkan dia pergi. Aku tidak ingin dia ‘dihabisi’ di depan anaknya.
Hatiku saat itu benar-benar sakit, aku tahu kalau aku belum bisa memberikannya keturunan. Di saat ia pergi, aku berusaha untuk menyembuhkan rahimku agar kami bisa memiliki keturunan. Meski terlambat setidaknya aku masih berusaha untuk bisa membahagiakannya.
Seminggu kemudian, aku menggugatnya. Di sinilah aku sekarang, di pengadilan menunggu kehadirannya. Ia tidak kunjung hadir hingga persidangan terakhir dan ketika keluar dari sini aku sudah menyandang status baru.