Tradisi Pernikahan dan Sistem Keluarga pada Bangsa Mesir Kuno

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
29 September 2020 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peninggalan Mesir Kuno. Foto: photosforyou from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Peninggalan Mesir Kuno. Foto: photosforyou from Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masyarakat konservatif seperti bangsa Mesir kuno, tampaknya menilai pernikahan merupakan keputusan paksa, dimana dibuat oleh keluarga untuk generasi muda. Namun, fakta tersebut mengklaim sebaliknya, yang dibuktikan dengan reruntuhan Deir el-Medina. Deir el-Medina merupakan sebuah desa yang terletak di Lembah Para Raja dan terus mengalami perkembangan.
ADVERTISEMENT
Pria muda memiliki hak untuk memilih wanita pujannya, lalu setelah keduanya menunjukkan keseriusan, mereka akan memberi tahu orang tua dan teman terdekat tentang kabar gembira tersebut. Konsep pernikahan memang ada, tetapi dalam bahasa Afro-Asia yang digunakan saat itu, tidak ada padanan untuk kata kerja 'menikah'. Namun, keputusan itu sangat dihormati, dan bahkan perceraian pun dimungkinkan. Melansir dari The Great Courses Daily, berikut ini ulasan tradisi pernikahan dan sistem keluarga pada bangsa Mesir kuno.

Bagaimana Pria Memilih Calon Istri

Pada umumnya, pria siap menikah ketika menginjak usia 20 tahun. Gadis yang dipilih biasanya lebih muda, mungkin sekitar 12 atau 13 tahun. Pertemuan pertama bisa saja di ladang, pasar, atau jalan. Bagaimanapun, cinta adalah emosi yang dihargai, dan puisi Mesir adalah saksinya. Setelah beberapa kali bertemu, pria itu melamar dan gadis setuju untuk menikah dengannya.
ADVERTISEMENT

Upacara Pernikahan

Bukti menunjukkan tidak ada upacara pernikahan resmi. Ketika pasangan memutuskan untuk memulai hidup bersama dan mengumumkannya kepada orang tua dan teman, maka mereka mulai hidup bersama. Namun, ada kontrak yang melibatkan pengalihan properti, yang membuat keduanya saling memiliki kewajiban secara finansial.
Perceraian juga sangat mungkin terjadi, meski sangat tidak disukai dan dihindari. Istri berhak atas sepertiga dari harta perkawinan. Tetap saja, beberapa pria mengusir istrinya keluar dari rumah tanpa menghormati aturan kontrak. Meskipun demikian, bangsa Mesir kuno memiliki tujuan pernikahan utama, yaitu memiliki keturunan.
Peninggalan Bangsa Mesir Kuno. Foto: LorettaLynn from Pixabay

Memiliki Anak

Bangsa Mesir kuno memiliki keturunan yang bisa dibilang banyak dibandingkan dengan dunia modern. Pasangan biasanya memiliki enam atau tujuh anak, namun 10 anak atau lebih juga merupakan hal yang lazim. Istri biasanya tidak lama akan hamil sesaat setelah menikah. Tidak ada bukti bahwa jenis kelamin tertentu paling diinginkan. Jika istri tidak hamil dalam waktu yang cukup lama, maka pasangan akan membicarakan solusinya.
ADVERTISEMENT

Solusi untuk Masalah Kehamilan

Solusi pertama adalah membeli mantra sihir. Sihir memiliki peran penting di Mesir dan diyakini dapat memecahkan banyak masalah, termasuk kesulitan kehamilan. Selain itu, wanita dapat berdoa di kuil Hathor. Hathor adalah dewi berkepala sapi, terkait erat dengan wanita dan kesuburan. Jika sang dewi tidak mampu mengabulkan keinginannya, pasangan lebih memilih mengadopsi anak.
Cara terakhir, yang biasanya tidak disukai oleh istri, adalah dengan membeli seorang budak perempuan. Dengan kata lain, pembelian budak bertujuan untuk memberikan keturunan untuk pasangan suami istri. Tak heran, selalu ada kecemburuan dari sang istri pada perempuan yang dibelinya.

Kematian Bayi dan Metode Kontrasepsi

Beberapa anak yang dilahirkan tidak semuanya bertahan hidup hingga dewasa. Penyebab tingginya angka kematian bayi bukan hanya penyakit tetapi juga ular dan kalajengking.
ADVERTISEMENT
Ketika pasangan memutuskan bahwa mereka memiliki cukup anak, mereka mencoba metode kontrasepsi. Cara paling umum bagi istri adalah menutupi vaginanya dengan kotoran buaya.

Hak-hak Wanita Mesir

Seorang wanita Mesir memiliki hak untuk mewarisi, memiliki tanah, dan menjalankan bisnisnya sendiri. Wanita juga boleh mengajukan gugatan, menjadi hakim, atau bersaksi di pengadilan. Lebih lanjut, mereka bisa bekerja di ladang, menjual barang di pasar, dan menenun kain secara profesional. Namun, wanita tidak memiliki peran signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Para istri diperlakukan dengan hormat dan diberi gelar nebet per yang berarti 'penguasa atau nyonya rumah'. Namun, rasa hormat tidak sama dengan kesetiaan, dan seorang pria dapat memiliki lebih dari satu istri.
Setelah kematian, pasangan yang sudah menikah akan berbagi liang untuk hidup bersama dalam kekekalan. Oleh karena itu, orang Mesir kuno menganggap fondasi terpenting dalam hidup adalah keluarga.
Peninggalan Bangsa Mesir Kuno. Foto: SphynxRunner from Pixabay