Konten dari Pengguna

Double Taxation vs. Double Non-Taxation: Dilema Perpajakan Lintas Negara

Cinta Yuliana
Mahasiswi Program Studi Perpajakan,Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Pamulang
7 Mei 2025 16:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta Yuliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi ekonomi, aktivitas bisnis tidak lagi terbatas pada batas-batas negara. Perusahaan multinasional dengan mudah mengalirkan modal, jasa, dan informasi lintas yurisdiksi. Namun, sistem perpajakan global belum sepenuhnya siap mengakomodasi dinamika tersebut. Dua isu besar pun mencuat dalam diskursus perpajakan internasional: double taxation dan double non-taxation.
https://www.pexels.com/id-id/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, ada fenomena yang tak kalah memprihatinkan: double non-taxation. Ini terjadi ketika suatu penghasilan tidak dikenai pajak di negara mana pun, biasanya akibat celah hukum atau perbedaan perlakuan pajak antarnegara. Praktik seperti treaty shopping, profit shifting, dan transfer pricing manipulation membuat perusahaan besar bisa mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan nol—alias tax haven. Akibatnya, negara-negara dengan ekonomi riil justru kehilangan potensi penerimaan negara yang sah.
Di sinilah letak dilema besar perpajakan internasional: bagaimana menciptakan sistem yang mampu mencegah pajak berganda tanpa membuka ruang untuk tidak dipajaki sama sekali?
Organisasi seperti OECD telah menginisiasi proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk menutup celah tersebut. Sementara itu, PBB mendorong agar kepentingan negara berkembang lebih diperhatikan, mengingat mereka yang paling terdampak oleh praktik penghindaran pajak global.
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan keterlibatan aktif dalam ekonomi internasional, harus memainkan peran strategis dalam forum global ini. Reformasi administrasi pajak, penguatan regulasi domestik, dan keterlibatan dalam perundingan multilateral perlu ditingkatkan. Namun, lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah semangat kolektif antarnegara untuk menjadikan sistem perpajakan internasional lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
Tanpa keadilan pajak global, kesenjangan antarnegara akan terus melebar, dan sistem perpajakan akan terus menjadi alat yang dimanipulasi, bukan dijalankan untuk keadilan sosial. Dilema double taxation vs. double non-taxation bukan sekadar masalah teknis fiskal, melainkan cerminan dari tantangan moral dalam tata kelola ekonomi dunia.