Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Di Balik Seremonial: Suara Hati Seorang Guru Sejarah
23 April 2025 13:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Cipta S Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap tahun, kalender nasional Indonesia penuh dengan perayaan hari-hari besar yang katanya bersejarah. Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan lainnya—semuanya diperingati dengan gegap gempita, lengkap dengan upacara, lomba, poster-poster berisi kutipan tokoh, dan tentu saja materi sambutan pejabat yang dibacakan dengan intonasi tegas dalam setiap upacaranya.
Dari tahun ke tahun, saya—sebagai guru sejarah—semakin merasa bahwa perayaan ini lebih mirip ritual kosong ketimbang refleksi bermakna. Kita terlalu sibuk membuat acara, sampai lupa bertanya: kenapa kita merayakan ini? Untuk siapa? Apa yang sebenarnya kita warisi dari para tokoh yang namanya dicetak tebal dalam buku pelajaran?
ADVERTISEMENT
Pada siang, hari Senin, 21 April, saya terduduk di kursi hijau yang berada di koridor sekolah, menghadap ke lapangan. Di hadapan saya, siswa-siswi melenggang satu per satu, dipanggil berdasarkan nama-nama pahlawan yang mereka tirukan secara busana. Di momen itu dalam hati saya bertanya, “Ini kan Hari Kartini, kenapa mereka malah cosplay jadi pahlawan lain?” Pertanyaan itu seperti kelanjutan dari kegamangan yang terus datang setiap tahun: "Sebenarnya, apa yang sedang kita rayakan? Apa esensi dari peringatan ini?"
Hari Kartini selalu diisi dengan lomba fashion, lomba memasak, membuat poster—aktivitas yang berulang tanpa banyak tafsir. Saya mulai bertanya lebih dalam: bukankah Kartini justru mengkritik pengekangan peran perempuan dalam wilayah domestik dan simbolik? Tapi perayaan kita dari tahun ke tahun justru melanggengkan semua itu. Dan dari situ, lahirlah satu kalimat pahit yang bergema dalam benak saya: "kayaknya ini adalah kegagalan saya sebagai guru sejarah".
ADVERTISEMENT
Sebagai guru sejarah, tugas saya seharusnya memang bukan sekadar menyampaikan kronologi dan biografi. Yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai dari masa lalu bisa menjelma jadi kesadaran hari ini. Tapi kalau setiap tahun peringatan Kartini justru mengasingkan semangat Kartini itu sendiri—dan tak ada satu pun siswa yang mempertanyakan itu—maka ada sesuatu yang keliru. Bahkan untuk sekadar muncul pertanyaan kritis dari siswa seperti, “Kenapa sih kita merayakan Kartini dengan lomba masak?” itu pun tak pernah terdengar dalam satu dekade saya mengajar.
Saya menyadari, ini bukan semata-mata soal kurikulum. Ini tentang keberanian berpikir dan menggugat. Tapi justru di situ saya merasa gagal: gagal membuka ruang bagi siswa untuk mempertanyakan ulang warisan sejarah. Kita terlalu sibuk menciptakan suasana yang “menyenangkan” di kelas, hingga lupa bahwa sejarah bukan sekadar kisah yang dituturkan, tapi medan untuk mengasah nalar kritis. Kita didorong untuk modern dalam metode mengajar, tapi tetap pasrah mengikuti bentuk-bentuk kuno yang tidak pernah digugat dalam setiap peringatan hari besar nasional.
ADVERTISEMENT
Tantangan terbesar guru sejarah hari ini bukan hanya tentang era digital atau AI. Itu semua penting, tentu. Tapi tantangan yang lebih sunyi—dan sering kali tak kita sadari—adalah membongkar narasi yang stagnan, simbolik, dan dangkal. Kita gagal membebaskan siswa dari jebakan ritual seremonial yang kosong makna, dan membiarkan mereka percaya bahwa nasionalisme cukup dirayakan, bukan dipahami.
Kalau begitu, buat apa canggih di kelas, kalau di luar kelas kita justru kehilangan arah untuk menerjemahkan makna sejarah?
Padahal, kalau dipikir-pikir, hari-hari besar seperti Hari Kartini bisa jadi pintu masuk yang luar biasa untuk memantik daya kritis siswa. Bisa jadi momen langka untuk mengajak mereka berpikir lebih dalam: siapa sebenarnya tokoh yang kita peringati ini? Apa yang dia perjuangkan? Masih relevan untuk hari ini? Akan tetapi, yang sering terjadi, bukan momen berpikir yang muncul, melainkan daftar lomba, sesi foto-foto, dan hal lainnya yang—kalau kita jujur—sering kali kontradiktif secara esensial dengan nilai yang sedang diperingati.
ADVERTISEMENT
Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, saya juga tidak bisa terus diam. Karena jika kita hanya mewariskan simbol tanpa makna, kita menciptakan generasi yang tahu kapan harus upacara dan pakai batik, tapi tak tahu luka, harapan, atau cita-cita apa yang dulu membuat hari itu dianggap layak dikenang.
Namun, Hari Kartini bukan satu-satunya panggung ironi itu. Masih ada Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan berbagai momen besar lainnya yang terus diperingati dengan cara yang seakan menjauhkan kita dari makna yang seharusnya dihidupi. Semakin sering saya menyaksikan peringatan-peringatan itu, semakin kuat suara dalam hati saya berkata, “Sepertinya saya memang gagal menjadi guru sejarah.”