Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Oto Iskandar Di Nata: Pahlawan yang Terbunuh karena Hoaks
22 Desember 2021 11:32 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dewasa ini berita atau kabar bohong (hoaks) mungkin jamak dilihat dan disebarkan, tapi untuk memverifikasi apakah kabar tersebut hoaks atau bukan sudah banyak media yang dapat dijadikan rujukan. Namun apa yang terjadi apabila hoaks tersebut tersebar dan tidak ada media sebagai rujukan pencari kebenaran? Maka salah satu yang paling berbahaya dan sangat mungkin terjadi adalah hilangnya sebuah nyawa.
ADVERTISEMENT
20 Desember, sebenarnya adalah tanggal yang cukup menyedihkan untuk masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda. Karena di tanggal tersebut, masyarakat Sunda khususnya, kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seseorang pahlawan yang perannya sampai saat ini belum dapat tergantikan sebagai “pemimpin” orang Sunda. Karena mungkin hanya beliau lah yang dapat mengkonsolidasikan orang Sunda menjadi satu suara di bawah satu kepemimpinan, ditambah beliau lah yang mampu merepresentasikan bagaimana orang Sunda mampu untuk “mentas” di kancah nasional. Kemampuan Pak Oto sebagai pemimpin karismatik dengan kemampuan manajerial nampaknya belum ditemukan pada orang Sunda yang menjabat sebagai pemimpin dewasa ini
ADVERTISEMENT
Beliau adalah Oto Iskandardinata (Pak Oto/Otista) atau orang Sunda mengenalnya dengan julukan Si Jalak Harupat, seorang tokoh nasional, yang mungkin orang hanya kenal namanya karena menjadi nama jalan utama di beberapa kota besar, namun kita tidak pernah tahu peran dan jasanya bagi bangsa ini. Padahal apabila mengkaji lebih mendalam perannya selama masa pergerakan nasional dan persiapan kemerdekaan, kita akan mafhum, kenapa beliau pantas dijadikan Pahlawan Nasional dan sebagai nama jalan protokol di beberapa kota besar.
Namun di sini penulis tidak akan membahas mengenai apa saja jasa dan peran Pak Oto sehingga dianggap pantas dengan penobatan itu, yang akan penulis bahas adalah, bagaimana seorang tokoh sekaliber Pak Oto harus terbunuh oleh sebuah kabar bohong atau HOAKS!
ADVERTISEMENT
20 Desember 1945, adalah hari terakhir bagi kehidupan Pak Oto. Pada hari itu nyawanya direnggut oleh para eksekutor dari sebuah kelompok yang dikenal dengan nama Laskar Hitam. Sebelum di eksekusi, Pak Oto ditahan di penjara polisi daerah Tangerang selama sepuluh hari, setelah sebelumnya diculik dari kediamannya di Jalan Kapas, Jakarta pada 10 Desember 1945. Pada saat penangkapan Pak Oto sedang berbincang dengan Sanusi Hardjadinata (Gubernur Jawa Barat 1951-1957).
Di pantai Ketapang Mauk, jasad Pak Oto yang bersimbah darah setelah sebelumnya dikeroyok dan terkena sabetan belati pada leher bagian belakang, mengapung di atas air laut, sampai akhirnya hilang tak diketemukan. Meskipun Pak Oto berkali-kali menyatakan bahwa ia bukan pengkhianat, dan meminta agar para Laskar tersebut menyampaikan pesannya pada Bung Karno, tetap saja para Laskar itu mengeksekusi Pak Oto. Bersamanya ada satu orang laki-laki lain yang bernama Hasbi bin Nasimun. Itulah keterangan yang di dapat dari terdakwa utama bernama Mujitaba pada pengadilan 16 Agustus 1958, 13 tahun setelah Pak Oto meninggal. Dalam pengakuannya ia bersama Usman, Lampung, Dullah dan Mail, diperintahkan oleh seseorang bernama Sumo pendiri Direktorium Tangerang, untuk membawa Pak Oto bersama Hasbi ke Mauk.
ADVERTISEMENT
Apa informasi yang diberikan kepada Mujitaba dkk (Laskar Hitam) sampai mereka tega menghabisi nyawa Pak Oto, dan sangan menuruti apa yang dikatakan Sumo?
Mereka hanya dibekali sebuah informasi, bahwa Pak Oto atau Otista adalah “Mata-mata musuh yang menjual Kota Bandung satu milliar!”. Dengan secuil informasi yang tak jelas sumbernya tersebut, maka Pak Oto menjadi sasaran mereka. Bahkan mereka pun tak tahu rupa Pak Oto yang mana, hanya diberikan informasi di atas beserta gambaran akan rupa dan pakaian yang dikenakan Pak Oto.
Pertanyaan lain muncul, apakah hanya dengan informasi tersebut dengan mudah dapat menggerakan sekelompok orang untuk menjadi beringas?
Apabila kita menjawab dengan konteks waktu dewasa ini, sepertinya tidak mungkin ada sekelompok orang langsung percaya dan mau mempertaruhkan hidupnya menjadi seorang pembunuh. Karena kita punya media, untuk melakukan cek dan ricek, klarifikasi ke sana-kemari, dan lakukan verifikasi dengan ketat. Sehingga nampaknya emosi dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Namun apabila zaman sekarang masih saja ada sekelompok orang yang terhasut oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya, dan enggan melakukan klarifikasi dan verifikasi informasi tersebut, maka itu lain cerita. Mungkin raganya ada di tahun 2021, tapi jiwa dan kadar intelektualitasnya masih tertinggal jauh di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Berbeda cerita apabila terjadi pada tahun 1945. Pada masa revolusi 1945-1950, simpang siur sebuah kabar adalah suatu yang sangat lumar, tentu saja karena tahun tersebut, jangankan media social, media cetak saja jumlahnya terbatas. Ditambah proses olah berita yang memakan waktu lama, maka suatu kabar atau berita akan cepat menyebar di masyarakat, ditelan, dan dipercaya. Kalaupun itu adalah kabar yang ternyata tidak benar, karena kadung sudah menyebar maka akan sangat sulit diklarifikasi.
Kabar yang hangat menyebar di masyarakat salah satunya adalah bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat orang-orang yang menjadi mata-mata dan bekerja untuk Jepang, NICA dan/atau sekutu. Orang-orang ini dianggap sebagai kelompok kontra revolusi dan anti republic. Maka sekali label mata-mata itu disematkan pada seseorang, meskipun benar atau tidaknya informasi tersebut, maka seorang tersebut nyawanya ada dalam bahaya. Ia akan menjadi sasaran empuk para kaum radikal republiken untuk dihabisi.
ADVERTISEMENT
Nampaknya itu pula lah yang tersemat pada Pak Oto. Semenjak pasca proklamasi sampai sekutu datang pada tanggal 29 September 1945, fitnah mulai mendera Pak Oto. Mulai dari dicap sebagai kolaborator Jepang, sampai dengan mata-mata NICA. Hal ini terlihat dari pengakuan Pak Oto melalui surat pada istrinya yang ternukil dalam buku Oto Iskandar Di Nata: The Untold Stories
Siapa yang dimaksud Pak Oto sebagai orang yang memfitnah dirinya? Hal ini yang tidak terungkap sampai sekarang. Namun yang pasti informasi akan fitnah tersebut kadung menyebar dan dipercayai oleh sekelompok orang yang cukup pendek sumbunya yang tidak dapat dengan tenang memilah mana informasi yang benar atau tidak. Kalau masih ada yang seperti ini zaman sekarang, cukup mengerikan ya!
ADVERTISEMENT
Sepotong informasi mengenai Pak Oto telah menjual Kota Bandung satu milliun, telah cukup membuat Pak Oto dicap sebagai mata-mata. Namun mata-mata siapa? Jepang? NICA?. Tidak ada kejelasan dari informasi tersebut. Dan dua pihak yang disangkakan tempat Pak Oto “bekerja” sebagai mata-mata pun tidak memiliki cukup bukti keterkaitannya dengan Pak Oto.
Pak Oto tidak mungkin menjadi mata-mata Jepang, meskipun selama pendudukan Jepang Pak Oto memilih perjuangan kooperatif atau apabila menggunakan bahasa sekutu sebagai kolaborator, sama halnya dengan Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dll. Kenapa tidak mungkin, karena posisi Jepang pada saat itu sudah tidak berkepentingan lagi pada Republik, justru di beberapa daerah pihak Jepang yang tersisa mendukung upaya rakyat untuk melawan sekutu, dengan memberikan sisa persenjataan Jepang pada rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Begitupun dengan NICA. Pak Oto tidak mungkin menjadi mata-mata NICA, karena ia dianggap sebagai kolaborator Jepang. Pihak NICA sangat anti untuk bekerja sama dengan tokoh Indonesia yang sempat “berkolaborasi” dengan Jepang ada tahun 1942-1945, justru pihak yang dianggap sebagai kolaborator menjadi target utama NICA untuk bisa dimusnahkan.
Lalu Pak Oto mata-mata pihak mana? Ya jelas, ia bukanlah mata-mata pihak mana pun. Itu jelas, karena bukti nasionalisme Pak Oto tidak perlu ditanyakan lagi.
Oto Iskandar Di Nata adalah pemimpin organisasi pergerakan nasional Paguyuban Pasundan (PP) sejak tahun 1929-1942. Dibawah kepemimpinan Pak Oto Paguyuban Pasundan menjadi sebuah organisasi besar dengan pergerakan yang meliputi berbagai aspek, politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Paguyuban Pasundan mampu menjadi organisasi terdepan untuk berusaha memajukan masyarakat Indonesia pada masa Kolonial Belanda dengan mendirikan Bank dan sekolah untuk kaum pribumi. ia bahkan bertekad untuk memajukan pendidikan anak-anak pribumi untuk dapat bersaing dengan orang-orang Belanda. Itu semua maju pesat di bawah kepemimpinan Pak Oto. Selain itu Pak Oto juga sangat memperhatikan kemajuan kaum perempuan, dengan inisiatifnya ia menjadikan Pasundan Istri (PASI) menjadi organisasi perempuan yang mampu untuk mengangkat harkat martabat perempuan. Di Volksraad ia vocal untuk kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Masuk masa Jepang, ia tergabung bersama tokoh-tokoh lain dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan ikut dalam merumuskan dasar negara dan konstitusi Indonesia. Pasca Proklamasi, pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, Pak Oto lah yang memiliki gagasan agar Soekarno dan Hatta untuk dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Usul itu akhirnya diterima secara aklamasi oleh peserta yang lain.
Dengan penjelasan singkat peran Pak Oto tersebut, kiranya jelas, tuduhan Pak Oto sebagai mata-mata hanyalah berita bohong atau HOAX belaka. Namun sayangnya, Hoaks tersebut menyebar kepada orang yang salah. Maka kita tidak bisa melihat lebih lanjut kiprah pemikiran Pak Oto bagi bangsa ini.
Hari ini kita hanya bisa mengenang Pak Oto sambil sesekali mengunjungi Monumen Pasir Nasional (MPN) Oto Iskandar Di Nata, yang berada di Lembang. Pasir yang ada di sana diambil dari Pantai Mauk, tempat terakhir Pak Oto berada di Bumi ini.
ADVERTISEMENT
Jadi kesimpulannya, hati-hati dengan informasi yang tidak jelas. Lakukan klarifikasi, verifikasi dengan ketat. Ingat kita pernah kehilangan salah satu putra terbaik bangsa, hanya karena berita bohong atau Hoaks!