Konten Media Partner

Gus Miftah Korban, Netizen Tertipu dan Makna Hermeneutis "Goblok"

9 Desember 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KH. Imam Jazuli. Foto: dok.pribadi
zoom-in-whitePerbesar
KH. Imam Jazuli. Foto: dok.pribadi
ADVERTISEMENT
Kapitalisme modern tidak hanya soal perputaran modal, perdagangan dan pasar bebas, tetapi cuan juga bisa diproduksi dari media sosial (medsos) dengan memobilisasi massa (netizen), pendapat ini jauh hari disampaikan oleh Walter Benjamin, dalam salah satu karyanya Profanations, Zone Books; 2007, ketika fenomena awal media sosial ditemukan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya menurut Walter, kapitalisme jenis baru ini menjadikan manusia terhipnotis oleh suatu kondisi sehingga ia mempengaruhi alam bawa sadarnya. Terlebih jika objek yang diperalat itu soal kesewenangan orang kuat pada yang lemah.
Dalam kondisi seperti itu, kapitalisme model baru ini akan memisahkan hampir segala hal. Memisahkan realitas ke absurditas, memisahkan humanisme ke dehumanisme, memisahkan penghayatan yang kontemplatif ke kekerasan yang menindas, bahkan fenomena ini membuat kebenaran dengan versi baru, dan orang tak bisa lagi membedakan mana realitas sesungguhnya dan kritis. Begitu ada peluang untuk menghujat, ia tak bisa berhenti untuk menghujat, kendati sumber masalahnya sebenarnya sudah terselesaikan.
Mungkin gambaran di atas bisa disematkan pada kasus keselio lidahnya Gus Miftah pada penjual es, Pak Sonhaji. Kendati pelaku sudah minta maaf dan korban sudah memaafkan, tapi haters dari netizen masih dimanfaatkan tangann gelap kapitalisme. Maka dari sudut pandang ini, Gus Miftah hanya korban para konten kreator yang mencari cuan dari keseleo lidah bercandanya yang model tablig jalanan
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga korban orang-orang yang pansos dan kemungkinan besar korban dan orang yang sedang cari simpati dengan berdonasi dan lainnya, semakin viral semakin sexy dan menguntungkan bagi mereka, netizen hanya kebawa suasana atas keberhasilan para konten creator atau pansos mendramatisir keadaan.
Kenapa dari sudut pandang ini penting menjadi catatan? Sebab di luar sana, faktanya banyak orang yang nasibnya lebih memprihatinkan dan susah dari Pak Sonhaji dan itu tidak tersentuh, serta terperhatikan, masalahnya meeka tahu karena tidak akan viral dan menguntungkan. Selain daripada itu, nyatanya dan banyak tokoh agama yang juga menggunakan kata "goblok" bahkan lebih sadis tapi tak menjadi soal.
Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah saat itu Gus Miftah menjadi pejabat publik dan Pilpres baru saja selesai, dan Gus Miftah berada di kubu yang menang. Tapi bagaimanapun masalah harus ditempatkan secara adil. Selain keikutsertaan para kapitalis jenis baru ini, dalam pemaknaan dan diksi kata "goblok." Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai sifat bodoh atau tuli. Dengan begitu, diksi goblok bisa ditarik ke dalam ilmu psikologi, sebagai tekanan verbal (Nevid, 2021).
ADVERTISEMENT
Masalahnya, apa benar kata goblok selalu berkonotasi negatif? Jawabannya bisa inklusif dan relatif. Misalnya, kebodohan dalam tradisi Timur dianggap wacana yang telah berumur ribuan tahun. Kebodohan alias Avidya dianggap sebagai sarana bagi Brahman untuk menciptakan penampakan dunia.
Madhusudana dan Advaita sepakat bahwa kebodohan itu tidak bermula, bersifat positif, dan pengetahuan yang tak dapat dihapus. Kebodohan apapun, termasuk kebodohan terhadap tali yang jelas-jelas memiliki permulaan dalam waktu, tidaklah memiliki permulaan. Sebaliknya, kebodohan merupakan asal-usul material dunia fana ini (McGreal, 2024).
Pengertian kebodohan mengalami pergeseran seiring perkembangan zaman. Zaman klasik telah digantikan zaman modern yang konon lebih kritis. Ketika cara pandang dunia didominasi oleh rasionalisme, kebodohan pun diartikan sebagai non-rasional. Setiap orang yang tidak rasional, tidak memiliki wawasan dan pengetahuan, maka ia menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Pergeseran psikologis semacam ini telah dikaji secara kritis ole Michel Foucault (1961) dalam bukunya Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. Foucault menemukan bahwa evolusi makna kegilaan telah berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut Foucault, pada masa klasik, orang gila adalah mereka yang antisosial, seperti pelacur, gelandangan, penghujat, dan lain-lain. Di abad pertengahan, orang gila bukan lagi antisosial melainkan para penderita penyakit kusta.
Pada era Pencerahan, orang gila bukan lagi yang antisosial dan penderita kusta melainkan mereka yang memiliki kebijaksanaan untuk mengungkapkan perbedaan. Dan pada zaman modern, orang gila adalah orang yang terkena penyakit mental.
Perkembangan makna bodoh sama halnya dengan perkembangan makna gila. Pada mulanya, menyebut orang lain tidak memiliki kapasitas intelektual yang cukup diartikan dengan tujuan positif. Misalnya, Al-Qadhi Ibnu Abi Ya'la dalam kitabnya Thabaqat Al-Hanabilah menceritakan profil Abu Turab Al-Nakhsyabi Al-Shufi Askar bin Al-Hushain. Al-Qadhi Ibnu Abi Ya’la mengutip cerita dari Abdullah bin Ahmad, yang mengisahkan bahwa pada suatu hari Abu Turab datang kepada ayahnya.
ADVERTISEMENT
Lalu ayah Abdullah bin Ahmad itu mengatakan: "Fulan Dha'if, Fulan Tsiqah". Abu Turat protes: "Syaikh, tolong jangan menghina para ulama." Ayah Abdullah bin Ahmad itu menoleh ke arah Abu Turab dan berkata: "Celakalah kamu. Ini nasihat, bukan gibah!" (Hadusyi, 2011).
Dalam konteks kajian ilmu hadits, Jarhu wa Ta’dil, tersebut menyebut orang lain sebagai Dha’if alias lemah akal, bahkan antisosial, adalah penilaian yang lazim terjadi. Ada toleransi, karena tujuannya yang positif.
Menyikapi Konteks dengan Bijaksana
Dalam konteks ceramah GM, menyebut Bapak Sonhaji, si penjual es teh, sebagai goblok, perlu disikapi dengan lebih bijaksana. Jika gila adalah label sosial yang terus berkembang menurut Foucault, maka kata goblok juga demikian. Setiap zaman memiliki caranya sendiri untuk memaknai.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, mari kita lihat bagaimana GM dengan terbuka meminta maaf, bukan saja pada pak Sonhaji si penjual es teh, tetapi kepada publik. Ini menandakan GM menyadari bahwa kata goblok bukan semata urusan personal melainkan juga publik dan politis, terkait dengan identitasnya sebagai tokoh agama dan pejabat negara.
Kedua, dari sudut pandang Bapak Sonhaji, terdapat konteks lain yang berupa silaturahmi. Bukan hanya Pak Sonhaji yang tidak saja menerima kunjungan GM ke rumahnya, melainkan ia sendiri juga berkunjung ke rumah GM di Yogyakarta. Hal ini membutuhkan penafsiran baru yang lebih bijaksana.
Peristiwa GM dan Sonhaji sebenarnya telah berkembang dari urusan sosial-politis menjadi teks sosial-politis. Artinya, bukan hanya publik yang berhak menafsirkannya. Sebaliknya, GM dan Sonhaji dengan cara yang sama juga memiliki hak menafsirkan peristiwa yang mereka berdua jalani.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut, posisi GM dan Sonhaji lebih otoritatif dalam menafsirkan pengalaman mereka sendiri. Untuk itulah, netizen selayaknya memberikan panggung kesempatan bagi GM maupun Sonhaji untuk memaknai pengalaman mereka sendiri. Dengan begitu, kontroversi ini lebih sejuk dan kehidupan kembali harmonis. Tetapi tangan gelap kapitalisme terus gerilya, karena itu kita harus waspada. Wallahu'alam bishawab.[*]
Penulis opini: KH. Imam Jazuli Lc., MA.
ADVERTISEMENT