Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Hukum Menghina dan Apakah Presiden Sebagai Simbol Negara? Begini Kata PWNU Jabar
25 Agustus 2023 20:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Ciremaitoday.com, Cirebon-LBM PWNU Jabar menyatakan presiden dan wakil presiden bukan termasuk simbol negara. Hal ini berdasarkan hasil kajian bahtsul masail kubro yang digelar di Ponpes KHAS Kempek Cirebon, pada Kamis (24/8/2023).
ADVERTISEMENT
Namun, hukum menghina presiden maupun wakilnya dalam sudut pandang ilmu fikih adalah haram.
Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon, KH Musthofa Aqiel menjelaskan, presiden atau wakil presiden sebagai simbol negara tidak ditemukan dalam literatur fikih. Adapun menjadikan presiden wakil presiden, baik sosok atau institusinya sebagai simbol negara juga tidak dapat dibenarkan.
Karena, kata dia, setiap orang atau institusi memiliki hak yang sama di depan hukum, baik di dalam hal hak perlindungan kehormatan, diri, dan menjalankan kewajiban.
"Menjadikan presiden sebagai simbol negara berpotensi dijadikan alat tirani penguasa dan mencederai kebebasan berpendapat yang dilindungi baik oleh undang-undang dan syariat Islam," terang Kiai Mustofa saat memaparkan hasil kajian bahtsul masail kubro.
Adapun soal bagaimana hukum menghina presiden atau wakil presiden dan hukuman apa yang pantas untuk mereka? Hasil kajiannya, menurut dia, tidak diperbolehkan. Bahkan diberi hukuman haram untuk melakukan penghinaan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Mengucapkan perkataan yang secara uruf dianggap menghina (istihza') dan umpatan (syatmu) kepada sosok presiden atau wakil presiden, hukumnya haram karena berpotensi besar menyakiti (idza') sesama dan dapat menurunkan marwah (kharqul muru’ah wa isqatil hasyamah) presiden dan wakil presiden," ucapnya.
Kiai Musthofa melanjutkan, jika terdapat kasus demikian, maka bagi pihak berwenang berhak untuk menghukum (ta’zir) sesuai undang-undang yang berlaku.
Hanya saja, menurut dia, hal tersebut tidak menutup celah kritik dan saran bagi masyarakat atas kinerja presiden dan wakil presiden sebagai pejabat publik yang juga memiliki potensi salah dalam mengemban tugas.
"Tentunya hal tersebut harus disampaikan dengan cara yang tidak bertentangan dengan kode etik amar ma'ruf nahi munkar, tidak bermuatan fitnah, cacian, dan makar," katanya.(*)
ADVERTISEMENT