Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kiai Imam Jazuli Sebut Roasting Gus Miftah Canda dalam Tradisi NU
8 Desember 2024 20:41 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ciremaitoday.com, Cirebon-Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli, memberikan pandangan mendalam mengenai fenomena roasting atau gojlokan yang berkembang di kalangan warga Nahdliyin, termasuk dalam sikap Gus Miftah yang kini viral.
ADVERTISEMENT
Kiai Imam menjelaskan, roasting dalam tradisi NU bukanlah sekadar candaan, melainkan bagian dari cara untuk saling mengenal, memahami, dan menerima perbedaan.
“Itu alasan gojlokan Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menjadi viral, karena tidak setiap orang bisa menerima,” ujar Kiai Imam, Minggu (8/12).
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia) ini, tradisi ini sudah lama ada, bahkan pernah ada pernyataan dari Ketua Umum NU yang menyebut beberapa ulama sebagai sekumpulan pengangguran.
“Jika dipahami secara harfiah, ini akan terlihat sebagai penghinaan, padahal maksudnya tidak seperti itu,” katanya.
Kiai Imam kemudian mengingatkan tentang pernyataan mantan Ketua Umum NU, Kyai Said Aqil Siradj, yang menyebut, “Semakin panjang jenggot seseorang semakin goblok.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini, lanjut Kiai Imam, tidak dimaksudkan untuk merendahkan, melainkan sebagai bagian dari sarkasme internal yang biasa ada dalam lingkungan NU.
Lebih lanjut, Kiai Imam mengutip Gus Baha yang menjelaskan pentingnya sikap tawadhu’ meskipun seseorang mengaku bodoh, karena bagi Allah, keikhlasan jauh lebih penting daripada kepintaran semata.
“Allah tidak membutuhkan orang-orang pintar, melainkan mereka yang memiliki jiwa pengabdian,” ungkap Gus Baha, yang dipahami Kiai Imam sebagai refleksi dari kondisi bangsa yang kekurangan jiwa pengabdian.
Gus Miftah, yang dikenal berasal dari lingkungan yang jauh dari dunia akademis, kini diuji di dunia publik.
“Gus Miftah sudah terbiasa dengan lingkungan marginal, tetapi ia mampu mengajak mereka ke jalan yang lebih baik,” kata Kiai Imam.
ADVERTISEMENT
Namun, peralihan peran Gus Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) dalam waktu singkat memunculkan gesekan, seperti kejadian dengan pedagang es teh, Sonhaji.
“Publik tidak sepenuhnya menerima karakter Gus Miftah,” ujarnya.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015 tersebut, juga menyatakan bahwa karakter Gus Miftah, yang terbiasa dengan candaan atau roasting, harus diterima dalam konteks yang sesuai.
“Kita tidak ingin menempatkan Gus Miftah seperti pejabat publik lain yang hanya pandai bersilat lidah tetapi tidak menunjukkan integritas,” jelasnya.
Pada akhirnya, Kiai Imam menekankan pentingnya pemimpin memahami peran mereka dalam ruang publik yang lebih luas dan bebas dari kata-kata sarkas.
“Ruang publik harus dibersihkan dari roasting dan gojlokan. Sebagai bangsa, kita harus lebih menghargai keragaman tanpa harus menyamakan semuanya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kiai Imam berharap agar Gus Miftah bisa melanjutkan tugasnya dengan bijak, dan Presiden Prabowo Subianto mempertahankannya.
Kiai Imam menutup dengan harapan agar ke depannya, meski kesalahan bisa dimaafkan, namun tindakan yang tidak etis dari pejabat publik dan tokoh agama harus direspons dengan hukuman yang tegas.
“Jika Gus Miftah mengundurkan diri, semoga itu menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih bijak dalam menjalani tugas dan tanggung jawab di tengah masyarakat yang majemuk ini,” pungkasnya.(*)