Mengenal 'Kawin Cai', Tradisi Warisan Kerajaan Cibulan di Kuningan

Konten Media Partner
1 November 2019 16:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prosesi tradisi kawin cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
zoom-in-whitePerbesar
Prosesi tradisi kawin cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ciremaitoday, Kuningan - Prosesi upacara adat Kawin Cai yang dilakukan warga Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, menjadi tradisi kebudayaan lokal yang dilakukan secara turun temurun.
ADVERTISEMENT
Upacara tradisi Kawin Cai merupakan bagian dari masyarakat, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT serta dijadikan simbol dalam upaya memelihara lingkungan sekitar.
Menurut sesepuh zaman dulu, di lokasi upacara adat Kawin Cai di sumber mata air Tirtayatra merupakan tempat perkawinan Resi Makandria dari Kerajaan Tirtawulan (Cibulan) dengan Pwah Sanghiyang Sri dari Kerajaan Kainderaan.
Prosesi tradisi Kawin Cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
Oleh karena itu, prosesi Kawin Cai dengan mengalirkan air kendi percampuran air Tirtayatra dengan air Cikembulan dilakukan di sumber mata air yang terdapat batu besar bernama Batu Kawin.
Prosesi upacara adat Kawin Cai diawali dengan pengambilan air dari hulu cai atau mata air Tirtayatra Situ Balong Dalem, oleh sesepuh desa atas restu kuncen untuk dimasukkan ke dalam kendi. Usai itu dilanjutkan dengan upacara Mapag Cai, yakni kendi berisi air Tirtayatra tadi dibawa menuju sumber mata air keramat Cikembulan atau yang lebih dikenal dengan Balong Cibulan di Desa Manis Kidul Kecamatan Jalaksana Kuningan.
Prosesi tradisi kawin cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
Jarak yang ditempuh dengan cara berjalan kaki itu sejauh lima kilometer. Setibanya di sumur keramat Cibulan, air Tirtayatra ditumpahkan di salah satu sumber mata air terbesar dari tujuh sumur keramat yakni Sumur Kajayaan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dua orang ponggawa desa bersama sesepuh desa tadi, mengambil air dari sumur keramat yang berjumlah tujuh mata air tersebut ke dalam wadah kendi yang sama. Percampuran air Tirtayatra dan Cikembulan dalam wadah kendi itu, kemudian dibawa dan diarak kembali ke Situ Balong Dalem untuk dialirkan bersama di mata air Tirtayatra.
Prosesi tradisi Kawin Cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
Saat prosesi pengaliran air di hulu Sungai Balong Dalem, mula-mula air dari sumur Keramat Cikembulan tadi diserahkan kepada sesepuh desa yang dilakukan di depan Batu Kawin berdekatan dengan hulu sungai. Diawali dengan dikumandangkan azan dilanjut qomat oleh tokoh agama desa setempat, proses Kawin Cai dilakukan oleh sesepuh adat Desa Babakanmulya disaksikan tokoh masyarakat setempat.
Tidak semua air keramat tersebut dialirkan di sumber mata air Balong Dalem, namun sebagian dipakai siraman kepada beberapa tokoh masyarakat yang bertugas mengatur pengairan menuju enam desa yang teraliri sumber mata air Tirtayatra. Sejumlah desa yang teraliri sumber mata air itu, yakni Desa Babakanmulya, Jalaksana, Sadamantra, Padamenak, Nanggerang, dan Desa Ciniru.
Prosesi tradisi Kawin Cai di Situ Balong Dalem, Desa Babakanmulya, Kabupaten Kuningan. (Andri Yanto)
Camat Jalaksana, Suryamin, dalam keterangan persnya, Jumat (1/11), menyampaikan prosesi Kawin Cai ini hanya sebagai upacara adat dan jangan disalah-artikan yang tidak-tidak. Tradisi Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat sekitar yang telah ada sejak dulu, yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat yang diberikan.
ADVERTISEMENT
“Upacara adat ini dilakukan agar supaya air tetap ada dan air tetap subur untuk masyarakat Babakan dan sekitarnya. Dalam melestarikan upacara adat ini, maka disebutlah tradisi Kawin Cai,” terangnya.
Dia menilai, upacara adat Kawin Cai ini merupakan tradisi leluhur masyarakat Babakanmulya yang sudah berlangsung turun temurun. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada saat musim kemarau, untuk memohon kepada Allah SWT agar diberi limpahan air untuk mengairi lahan pertanian dan sumber kehidupan lainnya.