Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Demokrasi Restoratif dan Upaya Menyelamatkan Demokrasi Indonesia
26 Agustus 2021 21:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Herry Mendrofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Kepastian hukum terhadap hak-hak demokrasi setiap warga negara di dalam konstitusi, adanya sistem Pemilihan Umum yang terjadwal hingga dibukanya ruang-ruang aktualisasi publik menjadi salah satu aspek yang memungkinkan terawatnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun belakangan ini fenomena demokrasi dan praktiknya tidak berbanding lurus dengan realitas yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam hal Indeks Demokrasi yang hanya meraup skor 6.3. Kondisi ini adalah terburuk sejak 14 tahun terakhir serta menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 di kawasan Asia Tenggara.
Padahal sejak reformasi memenangkan momentum historis perlawanan terhadap rezim otoriter yakni Orde Baru kala itu, semangat untuk menerapkan demokrasi di Indonesia tak pernah berhenti. Mulai dari proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945 hingga 4 kali, penghapusan dwifungsi ABRI (TNI-Polri) hingga diadakannya pertama kali Pemilihan Presiden yang langsung dipilih oleh rakyat belum juga mampu menjawab tantangan reformasi yang sesungguhnya seperti masih maraknya problematika Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penegakkan supremasi hukum.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, reformasi di Indonesia telah berusia 23 tahun. Banyak kalangan yang berharap melalui peristiwa fenomenal tersebut dapat mengakselerasi penyelenggaraan demokrasi yang masif serta semakin mendukung mengakarnya nilai-nilai partisipatif dan keadilan di Indonesia.
Dewasa ini, kehidupan demokrasi di Indonesia diwarnai dengan adanya politik identitas, politik dinasti, korupsi politik, ancaman kebebasan berpendapat dan berserikat, politik uang dalam Pemilu, kriminalisasi kelompok kritis, produksi informasi bohong (hoaks) serta persoalan demokrasi lainnya.
Masih hangat di benak publik serta cukup menyita perhatian bersama ketika peristiwa politik yang terjadi kepada salah satu partai politik (parpol) yang berada diluar Pemerintah yakni yang menimpa Partai Demokrat. Keterlibatan pejabat negara yaitu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dalam rangka upaya pengambilalihan kepengurusan partai yang sah telah menambah deretan indikasi tergerusnya praktik-praktik demokrasi di Indonesia. Peristiwa ini pun dinilai sarat akan muatan politis dan intervensi kekuasaan terhadap kelompok oposisi pemerintahan yang terlalu offside.
ADVERTISEMENT
Terlepas apa pun motifnya, seyogyanya pemerintah menjadi pelopor dari preseden dan model terbaik dalam praktik demokrasi yang benar di negara ini. Bila meminjam istilah Restorative Justice maka dalam konteks demokrasi juga penting diterapkannya Restorative Democracy (Demokrasi Restoratif) yang selalu mengedepankan dialog dan partisipasi secara inklusif seluruh komponen bangsa.
Sekalipun demikian, di Indonesia sendiri pada umumnya telah memiliki Restorative Democracy secara implisit yakni Musyarawah Mufakat. Pendekatan model demokrasi seperti ini memiliki tradisi yang cukup kuat untuk merekonstruksi stabilitas demokrasi di Indonesia. Model ini pun mampu mengintegrasikan preferensi dan friksi politik tanpa harus memantik turbulensi politik yang lazim terjadi dalam dinamika berdemokrasi. Oleh karenanya, demokrasi yang begitu moderat idealnya mampu beradaptasi dan membasis pada prinsip-prinsip demokrasi secara umum tanpa harus mendegradasikan nilai-nilai tradisional demokrasi yang telah hidup di masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu munculnya wacana periodesasi masa jabatan Presiden menjadi 3 periode dan/atau memperpanjang waktu kepemimpinannya sampai tahun 2027 kurang etis. Ironisnya, alasan yang digunakan melegitimasi narasi tersebut adalah menghindari polarisasi politik hingga kesuksesan Jokowi yang harus diberikan ruang lebih lama membenahi Indonesia.
Faktanya memang narasi ini dibangun di antara elite pendukung pemerintah yang diduga berupaya memelihara kekuasaannya. Jika isu ini benar adanya dan kemudian direalisasikan akan cenderung merusak tatanan demokrasi dan cita-cita reformasi yang telah dirintis. Bukan tidak mungkin dikemudian hari nanti justru praktik dinasti politik dan KKN kembali masif karena ekosistem yang dibangun berlatarbelakang praktik-praktik bernuansa oligarki dan feodalisme politik serta mereduksi proses-proses regenerasi kepemimpinan nasional sangatlah koheren dengan situasi yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Maka, dibutuhkan entitas politik yang konsisten dan berusaha menjaga stabilitas demokrasi di Indonesia. Rakyat dan Partai Politik yang senantiasa berkoalisi untuk kepentingan bersama bukan berdiri di atas kepentingan pribadi dan kelompok apalagi usaha melanggengkan kekuasaan menjadi Master Key-nya demokrasi yang efektif dan efisien. Kelekatan dan kolaborasi yang tercipta di antara entitas ini niscaya akan mengkonsolidasikan keseluruhan energi kolektif kebangsaan secara berkelanjutan dalam rangka merawat Indonesia di masa yang akan datang serta meningkatkan kembali indeks demokrasi Indonesia.
Herry Mendrofa, Pengamat Sosial-Politik sekaligus Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)