Re-Kalkulasi Poros Pilpres 2024

Herry Mendrofa
Pengamat Sosial-Politik sekaligus Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2021 12:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Herry Mendrofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Rekapitulasi Jumlah Suara Pemilu (sumber: www.unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rekapitulasi Jumlah Suara Pemilu (sumber: www.unsplash.com)
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dalam praktik penyelenggaraan negara. Konsekuensinya bagi kita warga negara adalah ketika euforia terhadap konstelasi politik di tanah air pun tak dapat dihindari. Sekalipun saat ini kita berada di tengah-tengah kondisi bangsa yang sedang berjuang melawan pandemi COVID-19, peristiwa politik pun sering terjadi. Momentum demi momentum merupakan entitas yang penting bagi perkembangan politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini muncul salah satu hal yang menarik terkait konstelasi politik tanah air. Hal ini bisa kita lihat bersama bahwa baliho dari beberapa elite politik begitu maraknya menghiasi ruang-ruang publik.
Mencuatnya beragam survei nasional yang memotret elektabilitas baik Partai Politik (Parpol) maupun kandidat yang berpotensi ikut serta berkompetisi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 juga kian menjamur.
Dinamisnya kondisi politik di Indonesia ini pun kemungkinan menciptakan tendensi politik dalam bentuk format koalisi. Situasi ini akan diprediksi terwujud pada saat menjelang pelaksanaan Pilpres tahun 2024. Namun ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden menurut konstitusi. Syarat tersebut adalah Partai Politik dan atau gabungan Partai Politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 20 persen suara nasional atau 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di parlemen hanya sembilan parpol yang memenuhi Parliamentary Threshold yakni Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jika merujuk pada prasyarat di atas maka pemahaman kita hanyalah PDI-Perjuangan yang dipastikan bisa mengusung Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2024 karena memenuhi ambang batas dari 25 persen kursi di DPR-RI atau jika dikonversi ke jumlah kursi yakni minimal memperoleh 115 kursi di DPR-RI. Pada Pemilihan Legislatif tahun 2019, PDI-Perjuangan berhasil memperoleh 128 kursi. Sehingga kondisi ini diprediksi mendorong polarisasi politik antar partai politik terhadap poros koalisi menjelang Pilpres di tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Adapun prediksi untuk format poros koalisi parpol yang menguat untuk mengusung Capres/Cawapres pada Pilpres tahun 2024 menjadi 3 poros yaitu Poros Batu Tulis, Poros Kemanggisan dan Poros Cikeas.
Poros Batu Tulis
Pertama, koalisi Batu Tulis terdiri dari 225 kursi. Gabungan Parpol ini diperkirakan digawangi oleh PDIP, Gerindra dan PPP. Hal ini ditandainya pasca Pilpres 2019 hubungan Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Gerindra kembali harmonis. Bergabungnya Prabowo Subianto serta didapuk sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Jokowi telah membuat peta politik pasca Pilpres 2019 yang lalu berubah secara signifikan.
Prabowo telah resmi masuk di dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Jokowi, kader dari PDIP sehingga dapat dipastikan momentum 2024 merupakan re-koalisinya PDIP dengan Gerindra sekaligus mewujudkan perjanjian batu tulis yang memuat dukungan PDI-Perjuangan kepada Gerindra untuk maju pada Pilpres 2014 yang belum sempat terwujud. Jika kesepakatan politik ini tercapai maka Prabowo Subianto dan Puan Maharani menjadi kandidat terkuat untuk dicalonkan dari kedua partai tersebut.
ADVERTISEMENT
Sedangkan PPP secara etika politik akan memilih mendukung karena kuantitas suara nasional dan parlemen terbilang tidak mencukupi. Di samping itu, friksi politik dalam PPP yang pernah terjadi saat Pilpres 2014 dan 2019 yang sempat terbelah memiliki segmentasi dukungan baik kepada Prabowo dan Jokowi telah melebur melalui Ketua Umumnya, Suharso Monoarfa yang sekarang menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas di koalisi Indonesia Maju.
Poros Kemanggisan
Kedua, terdapat koalisi yang akan diinisiasi oleh Partai Golkar, Partai Nasdem dan PKB yakni Poros Kemanggisan. Gabungan partai politik ini merupakan antitesis atas bergabungnya Gerindra di dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Gaduh politik antar elite koalisi Indonesia maju di awal pembentukan kabinet ditengarai oleh ketiga partai tersebut yang sangat lantang bersuara menolak kehadiran Gerindra dalam koalisi yang telah dibangun sejak 2014 yang lalu. Sekalipun tensi politik yang dimaksud telah menurun, potensi terciptanya bangunan koalisi ini sangat memungkinkan.
ADVERTISEMENT
Apalagi hasil kesepakatan internal di Golkar maupun PKB yang mendukung penuh pencalonan Ketua Umum parpolnya untuk menjadi Calon Presiden (Capres) tahun 2024. Ada nama Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar yang berpotensi menjadi kandidat pada poros Kemanggisan ini sedangkan Partai Nasdem yang hingga hari ini belum memiliki calon dari kader internal dipastikan mendukung atau menyodorkan nama Anies Baswedan, Gubernur DKI-Jakarta periode 2017-2022. Poros kemanggisan memiliki 202 kursi di parlemen.
Selain itu, munculnya sinyal-sinyal friksi politik antara Jokowi yang diduga mendukung Gubernur Jawa Tengah menjadi Capres di 2024 dengan Megawati yang mendorong penuh Ketua DPR-RI, Puan Maharani dapat dielaborasi di koalisi kemanggisan tersebut. Sangat nampak ketika peran besar yang diambil oleh para politisi Golkar seperti Luhut Binsar Panjaitan dan juga Airlangga Hartarto dalam Pemerintahan Jokowi membuat kelekatan politik dengan Jokowi bisa saja bertransformasi menjadi kepentingan politik menuju Pilpres 2024. Di saat itulah, Ganjar Pranowo kemungkinan dapat dicalonkan bersama-sama kandidat lainnya.
ADVERTISEMENT
Poros Cikeas
Ketiga, kemungkinan parpol yang berada di luar pemerintahan Jokowi seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) bersama-sama akan membentuk koalisi yakni Poros Cikeas. Menguatnya relasi politik ketiga parpol tersebut memungkinkannya terwujudnya koalisi yang dimaksud.
Pengalaman bersama-sama selama 10 tahun di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) maupun SBY-Budiono menjadi salah satu faktor perekat ulang di antara ketiga parpol tersebut.
Adapun kandidat yang menjadi figur kuat pada poros ini yakni Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono kemudian ada nama Ketua Umum PAN sekaligus Wakil Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan serta Ketua Dewan Syuro PKS, Salim Segaf Al-Jufri. Jika koalisi ini terbentuk jumlah kursi di parlemen terdiri atas 148 kursi. Poros ini pun sudah memenuhi syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu mendatang.
ADVERTISEMENT
Terakhir, satu hal yang pasti dalam konstelasi politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, hanya kepentinganlah yang abadi. Relevan dengan aksioma politik tersebut maka politik di Indonesia bisa begitu mencair dan dinamis. Tentunya, perubahan-perubahan stabilitas sosial-politik di Indonesia juga mempengaruhi arah dan orientasi bangunan koalisi di antara parpol menjelang pelaksanaan pesta demokrasi setiap lima tahunan tersebut.
Herry Mendrofa, Pengamat Sosial-Politik sekaligus Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)