Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Dewan Pers dan Sertifikasi Wartawan: Perlukah Pendekatan Baru?
18 Januari 2025 17:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Citra R Angelita Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu sertifikasi kompetensi wartawan kembali menjadi perhatian setelah Dewan Pers menegaskan bahwa hanya mereka yang berwenang menyelenggarakan proses tersebut. Namun, perdebatan muncul terkait bagaimana mekanisme ini bisa lebih relevan dengan tantangan profesi jurnalistik di era digital.
ADVERTISEMENT
Dalam suratnya, Dewan Pers menyoroti bahwa Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia tidak memiliki izin sah untuk mengadakan sertifikasi. Hal ini mengacu pada Pasal 15 ayat (2) UU Pers dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021. Dewan Pers juga menolak permohonan LSP Pers Indonesia untuk menjadi lembaga uji kompetensi karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
Meskipun demikian, ada pandangan lain yang berkembang. Beberapa pakar berpendapat bahwa sertifikasi kompetensi wartawan perlu lebih dari sekadar memastikan legalitas. Sertifikasi yang inovatif dan adaptif diperlukan untuk mengikuti perkembangan dunia jurnalistik, terutama dalam menghadapi tantangan era digital.
Isu lainnya yang kerap terabaikan adalah aksesibilitas sertifikasi. Saat ini, sebagian besar sertifikasi difokuskan pada wartawan yang berbasis di kota besar atau terhubung dengan media arus utama. Wartawan di daerah terpencil seringkali terkendala oleh akses ke lembaga uji kompetensi, biaya, dan pemahaman tentang proses sertifikasi. Dewan Pers harus mempertimbangkan cara untuk menjangkau wartawan di pelosok dengan menyediakan:
ADVERTISEMENT
Dari perspektif buku etika bisnis yang diuraikan oleh DR. A. Sonny Keraf, norma hukum dan moral harus berjalan seimbang. Sertifikasi tidak seharusnya menjadi alat monopoli kewenangan, melainkan instrumen untuk mendukung kualitas dan integritas wartawan. Dalam hal ini, Dewan Pers dapat mengambil pendekatan kolaboratif dengan lembaga lain yang inovatif, selama mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Sementara itu, LSP Pers Indonesia hingga saat ini belum memberikan komentar lebih lanjut terkait polemik tersebut. Namun, Dewan Pers tetap menegaskan bahwa semua pihak harus tunduk pada aturan yang ada demi menjamin kredibilitas profesi wartawan.
ADVERTISEMENT
Perdebatan ini menunjukkan bahwa pengaturan sertifikasi wartawan memerlukan pendekatan baru yang tidak hanya menitikberatkan pada regulasi, tetapi juga inovasi. Dewan Pers dapat memanfaatkan momentum ini untuk mendorong sistem sertifikasi yang inklusif, inovatif, dan berorientasi pada masa depan. Dengan pendekatan yang lebih adaptif, sertifikasi wartawan tidak hanya akan memastikan legalitas dan profesionalisme, tetapi juga mendorong daya saing profesi ini di era globalisasi. Akankah Dewan Pers bersedia membuka pintu untuk dialog dan kolaborasi? Jawabannya akan menentukan arah perkembangan jurnalistik Indonesia di era digital.
Tantangan Baru Wartawan di Era Digital
Profesi wartawan saat ini menghadapi tantangan besar yang berbeda dengan masa lalu. Digitalisasi media, penyebaran berita melalui platform digital, hingga kemunculan fenomena seperti clickbait dan fake news memerlukan kompetensi yang tidak hanya berbasis pada praktik konvensional jurnalistik. Wartawan kini harus:
ADVERTISEMENT
Namun, sertifikasi yang ada saat ini lebih banyak berfokus pada aspek-aspek tradisional, seperti kemampuan peliputan dan penulisan. Hal ini, meskipun penting, tidak lagi cukup dalam menjawab tuntutan profesi yang semakin kompleks.
Citra Rizky Angelita Purba, mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Medan Area.