Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Krisis Selat Taiwan 2025: Risiko Ganda bagi Stabilitas Perusahaan di Indonesia
10 Mei 2025 16:05 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Clarensia Sharlyn Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada pertengahan 2025, ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan kembali meningkat drastis, dipicu oleh kunjungan diplomatik pejabat tinggi AS ke Taipei serta latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan. Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung, krisis ini memunculkan risiko geopolitik yang signifikan bagi perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia, terutama yang memiliki ketergantungan pada rantai pasok Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Selat Taiwan merupakan jalur laut vital bagi perdagangan global. Lebih dari 50% kapal kontainer dunia melewati kawasan ini, termasuk pengiriman komponen semikonduktor dan elektronik penting dari Taiwan, Korea Selatan, dan Tiongkok menuju Asia Tenggara. Gangguan pada jalur ini secara langsung dapat menunda kedatangan chip, modul elektronik, dan peralatan industri yang sangat dibutuhkan sektor manufaktur dan otomotif di Indonesia.
Perusahaan teknologi di Indonesia, termasuk startup dan perusahaan fintech, juga terkena imbas. Sebagian besar perangkat keras, komponen server, dan infrastruktur data center yang mereka gunakan bergantung pada produk-produk Taiwan dan Tiongkok. Ketegangan ini mendorong banyak perusahaan untuk segera mencari pemasok alternatif dan memperkuat rantai distribusi lokal—sebuah langkah yang menimbulkan biaya tambahan dalam jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Investor pun menjadi lebih waspada. Beberapa lembaga keuangan dan dana investasi menunda ekspansi modal ke kawasan Asia karena melihat konflik Selat Taiwan sebagai "pemicu risiko regional". Hal ini menyebabkan penurunan arus investasi ke Indonesia, meski negara ini tidak terkait langsung secara militer. Dalam iklim bisnis yang saling terhubung, persepsi risiko regional sering kali menyebar lintas batas.
Krisis ini juga memperkuat ancaman di bidang cybersecurity dan informasi. Jika konflik bereskalasi menjadi perang siber, banyak sistem bisnis global—termasuk yang beroperasi di Indonesia—berisiko menjadi collateral damage. Bank, marketplace, dan perusahaan logistik kini mulai memperbarui firewall dan sistem backup data sebagai langkah antisipatif.
Secara keseluruhan, krisis Selat Taiwan 2025 menunjukkan bahwa konflik di Asia Timur dapat berdampak jauh ke Asia Tenggara. Perusahaan global yang beroperasi di Indonesia harus mulai mempertimbangkan risiko geopolitik dalam strategi bisnis, termasuk rencana darurat rantai suplai, audit digital, dan koordinasi regional.
ADVERTISEMENT