Konten dari Pengguna

Saat Sumpah Dokter Dikhianati: Menggugat Nilai Moral di Balik Jas Putih

Clarissa Andrina
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
20 April 2025 10:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Clarissa Andrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://pixabay.com/photos/medical-appointment-doctor-563427/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/photos/medical-appointment-doctor-563427/
ADVERTISEMENT
Jas putih yang selama ini melambangkan profesionalisme, kepercayaan, dan dedikasi dalam dunia medis kini sudah ternodai akibat perilaku yang dilakukan oleh segelintir oknum yang melanggar nilai kemanusiaan. Simbol kehormatan yang selama ini dijunjung tinggi dari jas putih telah berbalik menjadi simbol kejahatan yang berlindung dalam sumpah hippokrates. Dibalik senyuman ramah dan sapaan profesional dari seorang dokter, terdapat luka serta trauma mendalam yang ditinggalkan bagi pasien korban pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Dunia berita Indonesia akhir-akhir ini telah digemparkan dengan maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi. Betapa kejamnya setelah diketahui bahwa kasus pelecehan yang terjadi dilakukan oleh oknum dokter kepada pasiennya. Sumpah hanya sebagai formalitas semata telah mengakibatkan yang tersisa hanyalah oknum yang memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Tangan yang seharusnya mengobati dan menyembuhkan, justru telah menjadi tangan yang melukai begitu dalam. Lantas nilai moral apa yang masih tersisa di balik jas putih yang kini tak suci lagi?

Fakta kasus yang sedang terjadi

Kasus pertama melibatkan Dr. Priguna Anugerah Pratama yang diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung pada pertengahan Maret 2025. Pelaku melakukan pemerkosaan dengan modus meminta korban untuk melakukan transfusi darah, lalu setelahnya pelaku melakukan tindakan tidak terpuji pada saat korban tidak sadarkan diri. Setelah peristiwa ini ditindaklanjuti, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) telah mengambil tindakan tegas untuk meminta kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) milik tersangka. Pencabutan STR juga secara otomatis akan membuat Surat Izin Praktik milik Dr. Priguna Anugerah Pratama dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Kasus selanjutnya merupakan kasus pelecehan yang dilakukan oleh dokter obgyn (kandungan) berinisial MSF kepada ibu hamil di Klinik Karya Harsa, Garut. Pelecehan dilakukan pada saat korban sedang melakukan check-up rutin untuk memeriksa kandungannya. Video pelecehan yang dilakukan telah tersebar secara luas ke media sosial dan menuai banyak komentar negatif dari kalangan masyarakat. Dalam penggalan video tersebut dapat dilihat bahwa pelaku berinisial MSF memegang dan meremas payudara korban pada saat sedang melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pihak berwenang telah menjerat pelaku pelecehan seksual dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dampak psikologis pada korban

Korban pelecehan seksual memiliki potensi tinggi untuk terkena dampak trauma secara fisik maupun psikologis. Secara psikologis, korban pelecehan seksual berpotensi untuk terkena Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yakni gangguan mental yang terjadi pada seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis. Hal ini membuat korban memiliki rasa takut untuk datang ke rumah sakit, bertemu dengan tenaga medis, melakukan pemeriksaan, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, rasa trauma ini dapat membuat korban merasa cemas berlebihan sehingga mengakibatkan jantung berdebar-debar, badan gemetar, serta otak yang kembali mengingat memori pada saat terjadinya tindakan pelecehan tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah mengalami kejadian traumatis, korban cenderung menghindari pertemuan atau pengobatan dengan dokter serta tenaga medis laki-laki. Hal ini tentu saja dapat memberikan kesulitan bagi korban apabila hanya terdapat dokter dengan jenis kelamin laki-laki. Korban dipaksa untuk melawan rasa traumanya untuk mendapatkan kesembuhan dan melakukan pengobatan secara medis.

Memandang secara aksiologis

Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter kepada pasien tidak hanya melanggar kode etik profesi, melainkan telah terjadi pengkhianatan terhadap nilai aksiologis yang menjadi dasar dari moral profesi kedokteran. Nilai kebaikan dan kebenaran moral yang seharusnya menjadi hal krusial, sekarang ini hanya dianggap menjadi pelengkap dari ilmu kedokteran. Nilai yang seharusnya direalisasikan dalam sumpah hippokrates, namun pada kenyataannya hanya sekedar rangkaian kata-kata yang diucapkan sebagai bentuk formalitas semata.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus yang terjadi mengakibatkan sejumlah masyarakat menjadi kehilangan rasa percaya terhadap tenaga medis maupun rumah sakit untuk melakukan pengobatan. Telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada korban pelecehan seksual yang juga meninggalkan rasa trauma mendalam pada korban. Profesi dokter bukan hanya sekedar pekerjaan teknis, melainkan bentuk pengabdian yang sangat tinggi terhadap rasa kemanusiaan. Memandang kasus pelecehan seksual yang terjadi dengan menggunakan kacamata aksiologis, membuat kita sadar bahwa telah terjadi pelanggaran moral dan etika dari profesi seorang dokter sebagai tenaga medis di Indonesia.
Nilai aksiologis seharusnya diinternalisasi bukan hanya dideklarasi. Dalam konteks profesi kedokteran nilai kemanusiaan, kejujuran, empati, integritas, dan tanggung jawab moral seharusnya menjadi prinsip yang teraktualisasi dalam praktik nyata. Dari perspektif aksiologis, suatu nilai hanya dapat bermakna apabila teraktualisasi dalam tindakan nyata yang harus dihidupi, dicontohkan, dan dibentuk melalui pengalaman. Maka dari itu, dibutuhkan suatu tindakan nyata oleh tenaga medis untuk merealisasikan nilai-nilai aksiologis yang terkandung dalam sumpah hippokrates pada praktik kedokteran di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Apa yang dapat dilakukan sekarang?

Terdapat tindakan preventif maupun represif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan kasus pelecehan seksual yang terjadi. Secara preventif, pemerintah dapat melakukan pengawasan dan pengecekan secara rutin kepada tenaga medis yang ada di rumah sakit serta lebih meningkatkan keketatan seleksi untuk menjadi tenaga medis terutama dokter di Indonesia. Secara represif, pemerintah dapat memberikan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual agar memberikan rasa jera atas perbuatannya. Lebih dari itu, surat-surat praktik yang dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual seharusnya dicabut agar pelaku tidak dapat kembali melakukan praktik sebagai dokter seumur hidupnya.
Kasus pelecehan seksual oleh oknum dokter kepada pasien menandakan telah terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang menjadi dasar dari profesi kedokteran. Jas putih tidak dapat menjadi simbol kehormatan apabila tidak dibarengi dengan integritas dan empati sejati dari seorang dokter. Pasien yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban dari kekerasan seksual sebagai pemuas hasrat oknum yang tidak bertanggung jawab. Dilihat dari sudut pandang aksiologis dalam filsafat, dapat disimpulkan bahwa ketiadaan nilai dapat memutar balikan fungsi profesi dari penyembuh menjadi peluka dan dari pelindung menjadi pemangsa. Kini sudah saatnya profesi medis tidak hanya menegakkan kompetensi secara akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai aksiologis secara nyata dalam setiap tindakan.
ADVERTISEMENT