Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Sad Beige Mom, Tren Estetika Minimalis yang Kontroversial dan Beresiko bagi Anak
7 Januari 2025 9:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Clarissa Nasywa Aura Sakiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dunia parenting modern, tren estetika sering kali menjadi sorotan. Salah satu yang ramai diperbincangkan khalayak ramai adalah fenomena “sad beige mom”, gaya pengasuhan yang serba minimalis dengan didominasi warna-warna netral seperti beige, krem, dan abu-abu pada pakaian, mainan, hingga dekorasi kamar anak. Meskipun terlihat elegan dan minimalis, tren ini memicu perdebatan : apakah estetika ini benar-benar cocok untuk anak-anak atau lebih mencerminkan preferensi orang tua? apakah aman untuk perkembangan kesehatan jiwa anak?
ADVERTISEMENT
Media Sosial dan Tekanan Estetika
Gaya “sad beige mom” sering kali dianggap sebagai simbolis modernitas. Warna-warna netral yang diterapkan dalam rumah dipercaya dapat menciptakan suasana yang tenang dan memberikan kenyamanan. Tidak sedikit orang tua yang menganggap pendekatan ini sebagai pola asuh yang mindful, karena dapat memberikan ruang lebih tenang untuk anak.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sosial media memiliki peran besar dalam mempopulerkan tren ini. Platform seperti Tiktok, Instagram, dan Pinterest sering kali memamerkan citra keluarga sempurna dengan rumah serba minimalis. Hal ini menciptakan tekanan bagi orang tua untuk mengikuti standar yang dianggap ideal oleh publik.
Namun, tentunya ada risiko di balik fenomena ini. Fokus yang berlebihan pada estetika bisa mengabaikan prioritas emotional anak. Ketika orang tua terlalu terobsesi dengan estetika, mereka berisiko mengorbankan kebutuhan anak untuk merasa bahagia dan bebas. Alih-alih mencipatkan lingkungan yang mendukung perkembangan anak, ten ini justru dapat menjadi penghalang.
ADVERTISEMENT
Anak Bukan Miniatur Orang Dewasa
Salah satu kritik utama terhadap tren ini adalah pandangan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Sejatinya, dunia anak-anak tidak sama dengan dunia orang dewasa. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang ceria, penuh warna, dan kaya stimulasi. Penelitian menunjukkan bahwa warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan biru memiliki peran penting dalam perkembangan visual, kreativitas, dan emosional mereka.
Ketika dunia anak dirancang dengan warna-warna monoton dan minim simulasi, muncul risiko pembatasan terhadap kebebasan mereka untuk berekspresi dan belajar melalui eksplorasi. Bagi seorang anak, mainan dan lingkungan berwarna-warni bukan hanya sekadar estetika, melainkan juga alat untuk memahami dunia. Bayangkan jika orang dewasa dipaksa hidup di dunia penuh warna mencolok dan kekanak-kanakan. Tentu akan merasa tidak nyaman bukan? Begitupun juga berlaku sebaliknya, anak-anak akan merasa teralienasi dari dunia mereka.
ADVERTISEMENT
Dampak pada Kesehatan Jiwa Anak
Masa kecil adalah fase krusial untuk membangun rasa ingin tahu, kreativitas, dan kebebasan berekspresi. Jika anak-anak terlalu dibatasi dalam lingkungan seperti orang dewasa, mereka akan kehilangan momen-momen berharga untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang alami. Lingkungan yang terlalu minim stimulasi dapat berdampak pada kesehatan mental anak. Anak-anak membutuhkan rasa aman, kebebasan, dan stimulasi untuk berkembang. Mereka belajar banyak hal dari dunia sekitar melalui warna, tekstur, dan bentuk yang bervariasi.
Ketika anak-anak dibatasi pada dunia yang serba “dewasa”, mereka mungkin merasa tertekan atau kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan diri. Dalam jangka panjang, ini bisa memengaruhi rasa percaya diri mereka, kemampuan bersosialisai, dan kreativtias mereka. Bahkan mereka bisa berpenampilan dan bersikap seperti orang dewasa sebelum waktunya.
ADVERTISEMENT
Keseimbangan menjadi kunci penting dalam menghadapi tren ini. Orang tua dapat tetap menciptakan ruang yang tenang dan terorganisir di area tertentu, tetapi juga memberikan kebutuhan anak yang sesuai dengan umurnya. Yang terpenting, anak-anak perlu merasa bahwa mereka dihargai sebagai anak-anak, bukan hanya sebagai sarana keegoisan orang tua. Sebagai orang tua, sudah seharusnya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan mereka, baik secara emosional maupun fisik.
Live Update
PSSI resmi mengumumkan Patrick Kluivert sebagai pelatih baru timnas Indonesia, Rabu (8/1). Pelatih asal Belanda ini akan menjalani kontrak selama dua tahun, mulai 2025 hingga 2027, dengan opsi perpanjangan kontrak. Kluivert hadir menggantikan STY.
Updated 8 Januari 2025, 18:59 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini