Konten dari Pengguna

Misi Diplomasi: Kerah Putih

Clemens Triaji Bektikusuma
Everything said in good faith is probably true unless proven otherwise.
11 Maret 2021 23:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Clemens Triaji Bektikusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
---
Tersebar di berbagai penjuru dunia, para diplomat Indonesia mengemban beragam misi diplomasi bagi kepentingan nasional. Mulai dari memberikan pelayanan dokumen, melindungi warga negara Indonesia (WNI), hingga menegosiasikan isu-isu global. Semua memiliki dinamika dan tantangannya tersendiri.
ADVERTISEMENT
“Misi Diplomasi” merupakan trilogi yang akan mengulas peran para diplomat Indonesia di luar negeri. Bagian pertama trilogi ini, “Kerah Putih”, akan mengulas seluk-beluk para diplomat Indonesia yang bergelut dalam perundingan-perundingan internasional.
---
Bagi para diplomat Indonesia yang ditugaskan pada kantor-kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—seperti di New York, Jenewa dan Wina—perundingan menjadi bagian dari keseharian. Isu yang dibahas pun beragam, mulai dari lingkungan hidup, hak asasi manusia, migrasi, kejahatan trans-nasional, perlucutan senjata, hingga perdamaian dan keamanan dunia.
Salah satu kiblat diplomasi-Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Image by Mathias P. R. Reding from Unsplash.
Lantas, bagaimana sebenarnya proses yang dilalui seorang diplomat dalam setiap perundingan? Apa saja dinamika dan tantangan yang dihadapi? Mari kita cermati bersama di dalam tulisan ini.
Menuju Perundingan: Kertas Posisi Multi-Koreksi
Sebelum melakukan perundingan, berbagai persiapan dilakukan oleh para diplomat. Satu hal terpenting dalam persiapan tersebut adalah apa yang disebut sebagai penyusunan “kertas posisi”.
ADVERTISEMENT
Kertas posisi merupakan kompilasi dokumen berisi latar belakang dan perkembangan isu yang hendak dirundingkan. Selain itu, di dalamnya juga terdapat konsep pernyataan-pernyataan (statements) yang hendak disampaikan selama jalannya perundingan.
Menyusun kertas posisi dapat menjadi proses yang “menyiksa”. Ketelitian menganalisa data, kecermatan mengolah informasi, dan kepiawaian merangkai tata bahasa, menjadi modal penting dalam menyusun dokumen ini.
Analisa data, pengolahan informasi serta perangkaian kata menjadi bagian seni meramu kertas posisi-amunisi penting diplomasi. Image by Scott Graham from Unsplash.
Setelah rampung dari tangan para diplomat, konsep kertas posisi disampaikan kepada Duta Besar untuk mendapatkan persetujuan. Jika beruntung, konsep dapat langsung disetujui. Namun seringkali, hal sebaliknyalah yang terjadi. Sejumlah revisi seringkali harus dilakukan; mulai dari revisi pertama, revisi kedua, revisi atas revisi, dan seterusnya hingga para Duta Besar yakin untuk membubuhkan tanda tangan mereka.
Selesai? Nanti dulu.
ADVERTISEMENT
Kertas posisi yang telah disetujui oleh Duta Besar harus terlebih dahulu dikirimkan ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di Jakarta. Unit terkait di Kemlu kemudian akan mengkonsultasikannya dengan seluruh pemangku kepentingan terkait di tingkat nasional.
Seperti komedi putar, proses konsultasi ini bisa berlangsung berulang kali dan memakan waktu yang cukup lama. Terlebih untuk isu-isu yang sensitif, tidak jarang terdapat perbedaan sudut pandang dari instansi-instansi teknis terkait. Biasanya perdebatan kompleks terjadi pada isu-isu sensitif, seperti pertahanan, keamanan, politik, ekonomi dan perdagangan.
Setelah semua pemangku kepentingan di tingkat nasional sepakat, barulah Kemlu akan memberikan “restu” bagi penggunaan kertas posisi sebagai amunisi para diplomat untuk bernegosiasi di meja perundingan.
Perundingan: Atraksi di Ruang Negosiasi
ADVERTISEMENT
Tibalah saat perundingan. Excited? Jangan! Perundingan sarat akan tekanan.
Hal pertama yang terlintas di benak kebanyakan diplomat ketika duduk di meja perundingan adalah aspirasi 270,2 juta jiwa rakyat Indonesia yang harus diperjuangkan. Berhadapan dengan ratusan delegasi lain yang juga mengusung kepentingan rakyatnya, tentunya akan lebih menambah tekanan.
Jalannya perundingan seringkali sulit diprediksi. Situasi dapat berubah secara instan, jauh dari antisipasi terdahulu. Kertas posisi yang telah disusun secara cermat pun acapkali menjadi pajangan di meja. Konsekuensinya, para diplomat dituntut cepat beradaptasi dan mencari solusi.
Dalam menghadapi situasi yang kompleks dan di luar rencana, pada umumnya para diplomat akan meminta pertimbangan atau keputusan dari desk terkait di Kemlu. Namun demikian, tidak selamanya permintaan pertimbangan atau keputusan ini berjalan lancar.
ADVERTISEMENT
Perbedaan zona waktu seringkali menjadi penghambat. Terdapat perbedaan waktu kurang lebih dua belas jam antara Jakarta dengan New York, dan enam jam antara Jakarta dengan Jenewa dan Wina. Perbedaan waktu ini terkadang mengakibatkan tertundanya rantai komunikasi.
Suasana negosiasi di salah satu perundingan multilateral di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Image by Matthew Tenbruggencate from Unsplash.
Serba-serbi negosiasi dalam perundingan tidak berhenti di sini. Dalam perundingan-perundingan terkait isu yang sensitif, para diplomat Indonesia dituntut untuk mendengarkan dengan saksama statements dari diplomat negara-negara lain. Apabila terdapat suatu statement yang mendiskreditkan Indonesia, maka para diplomat Indonesia harus sigap meng-counter melalui right of reply.
Bayangkan rasanya harus mendengarkan dengan saksama pidato dari ratusan delegasi. Rasa bosan dan kantuk pastinya mendera. Kesengsaraan ini masih ditambah dengan berbagai varian aksen dan dialek dari para delegasi yang tentunya memaksa para diplomat berpikir ekstra untuk memahami maksud yang diutarakan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang juga perlu diketahui, karena keterbatasan sumber daya, tidak jarang delegasi RI yang berpartisipasi dalam perundingan hanya terdiri dari seorang diplomat. Lebih daripada itu, seorang diplomat Indonesia juga tidak jarang harus menangani lebih dari satu perundingan pada saat yang bersamaan.
Jika harus menghadapi situasi demikian, tiada pilihan lain bagi para diplomat selain harus “juggling”, berlari dari satu ruang perundingan ke ruang perundingan yang lain. Mereka pun dituntut dengan cepat dapat mengubah angle berpikir dari satu isu ke isu lainnya.
Pasca Perundingan: Laporan dan Evaluasi
Perundingan selesai. Bahagia? Jangan dulu.
Seusai perundingan, para diplomat masih harus menyusun laporan secara komprehensif untuk disampaikan ke Kemlu. Laporan tersebut harus segera disusun, sehingga para pemangku kepentingan di dalam negeri dapat mengetahui perkembangan dan hasil perundingan.
ADVERTISEMENT
Apabila perundingan berjalan lancar dan sesuai harapan, penyusunan laporan dapat dilakukan dengan hati yang mapan. Namun sebaliknya, penyusunan laporan akan terasa berat apabila hasil perundingan tidak sesuai ekspektasi.
Tidak jarang penyusunan laporan dilakukan secara overnight sehingga dapat diterima oleh para pemangku kepentingan di dalam negeri dengan cepat. Di saat seperti ini, sudah tidak terbayangkan betapa lelahnya jiwa dan raga.
Para diplomat beserta anggota delegasi lainnya juga terbiasa untuk melakukan evaluasi di akhir perundingan. Capaian positif tentunya akan menjadi best practice. Sementara kekurangan yang ada akan menjadi pembelajaran sehingga tidak terulang di kemudian hari.
Epilog
Menjadi diplomat “kerah putih” yang berkutat pada berbagai forum perundingan bukanlah hal yang mudah. Di balik setelan jas atau blazer yang menawan, terdapat tanggung jawab, dedikasi dan loyalitas terhadap kepentingan nasional yang harus selalu dipanggul di setiap pundak para diplomat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seakan belum cukup dengan segala tugas dan tanggung jawab yang dipikul, para diplomat Indonesia pun tidak boleh gegabah. Pasal 121 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas mengatur, “Barang siapa ditugaskan pemerintah untuk berunding dengan suatu negara asing, dengan sengaja merugikan negara, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Kesuksesan mengemban misi diplomasi negara menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi para diplomat Indonesia. Image by Krakenimages by Unsplash.
Terlepas dari tuntutan profesi yang demikian besar, terdapat kebanggaan hakiki yang dimiliki oleh seluruh diplomat Indonesia yang bertugas di berbagai forum perundingan. Memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, serta berkontribusi dalam membentuk tatanan global, menjadi pengalaman yang tiada tertandingi.[]