Toxic Masculinity, Pemicu Ketidaksetaraan Gender?

Cleo Annabelle William
Pelajar SMA Citra Berkat Citra Raya
Konten dari Pengguna
20 Januari 2023 11:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cleo Annabelle William tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini sedang ramai di masyarakat dan media sosial dengan istilah kata "toxic masculinity".
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity merupakan cara laki-laki bersikap menurut standar hidup masyarakat yang memberi tekanan dan dampak negatif tidak hanya pada kaum laki-laki tetapi juga perempuan yang akhirnya berdampak pada munculnya ketidaksetaraan gender dalam kehidupan manusia.
Sementara ketidaksetaraan gender adalah keadaan di mana laki-laki dan perempuan dianggap tidak setara dan terjadi diskriminasi antar kedua gender tersebut.

Dari Mana Asalnya?

Toxic masculinity dapat tumbuh entah dari didikan keluarga, lingkungan sekolah, atau pergaulan seperti yang dinyatakan oleh American Psychological Association (APA) yaitu "Anak laki-laki belajar menjadi pria dari pria di dalam hidup mereka, dari pengalaman mereka sendiri "menavigasi" norma sosial kita dan dari konteks sosial dan kultur yang luas."
Walaupun demikian, para peneliti di Australia tidak menemukan koneksi dalam hubungan laki-laki dengan ayah maupun ibu sebagai hal yang mendorong munculnya paham dari konsep maskulinitas ini, namun mereka menemukan hubungan laki-laki dengan teman-temannya berpotensi menjadi faktor awal dari toxic masculinity.
ADVERTISEMENT

Korelasi dengan Ketidaksetaraan Gender

Pemahaman yang salah mengenai konsep maskulinitas inilah yang menimbulkan pola pikir bahwa laki-laki harus memperlihatkan dominasinya terhadap perempuan, bagaimana mereka lebih superior dan lebih memiliki value dibandingkan perempuan, dan laki-laki juga cenderung dituntut untuk selalu kuat dan tidak memperlihatkan emosi yang berlebih.
Dari konsep maskulinitas yang turun-temurun ini, membuat masyarakat mewajarkan berbagai perilaku buruk laki-laki juga termasuk hasil dari toxic masculinity. Bagaimana perilaku-perilaku tersebut dianggap biasa dan wajar untuk memvalidasi peran laki-laki yang berasal dari standar yang salah seperti ungkapan semacam "Namanya juga cowok."
Toxic masculinity ini juga salah satu penyebab dari banyaknya kasus kekerasan seksual dan perlakuan kepada perempuan seperti objek seksual yang merupakan akibat dari ketidaksetaraan gender yang berawal dari keinginan laki-laki untuk menunjukkan dominasinya.
ADVERTISEMENT

Tidak Hanya pada Perempuan

Ilustrasi pria patah hati. Foto: Shutter Stock
Apakah ketidaksetaraan gender juga terjadi pada pria? Tentu saja, pola pikir ini menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan gender dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki dalam banyak bidang di kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti sering mendengar ucapan seperti "Cowok kok nangis?," atau semacamnya. Toxic masculinity ini yang membangun anggapan bahwa laki-laki harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan atau sisi rapuh dari diri mereka, sehingga masyarakat sering kali mengabaikan, atau bahkan tidak mau mengakui fakta bahwa banyak dari kaum laki-laki sebenarnya merupakan korban ketidaksetaraan atau diskriminasi gender.
Bentuk ketidaksetaraan gender terhadap laki-laki bisa terlihat pada saat mereka menjadi korban dari pelecehan seksual, bagaimana sebagian besar korban memilih bungkam karena rasa rendah diri yang muncul dari cara pandang toxic masculinity yang membuat korban merasa lemah dan merasa dirinya bukan merupakan laki-laki sejati.
ADVERTISEMENT
Hal ini akan menjadi lebih buruk apabila pelaku dari pelecehan seksual atau kekerasan seksual tersebut adalah seorang laki-laki dan juga karena akan muncul ketakutan-ketakutan apakah dirinya menyimpang secara seksual.
Perlu ditanamkan dalam masyarakat bahwa kekerasan seksual dalam bentuk apa pun dapat terjadi kepada siapa pun terlepas dari status, usia, dan gender, juga bahwa percaya pada korban sebagai langkah pertama sangatlah penting agar tidak semakin banyak korban yang memilih untuk bungkam.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
Di Indonesia, walaupun korban laki-laki tidak sebanyak perempuan, kasus ini tetap terjadi setiap tahunnya dan sebagian besar korban cenderung merupakan anak-anak atau remaja, bahkan pada tahun 2018 anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual yang lebih banyak sebesar 60% daripada korban anak perempuan yaitu sebesar 40%.
ADVERTISEMENT
Budaya mengenai maskulinitas yang turun-temurun ini harus segera diubah, sehingga generasi muda tidak hancur mental dan pola pikirnya dikarenakan oleh konsep yang keliru ini.
Seharusnya hal mengenai ini dapat menjadi edukasi di sekolah atau di rumah untuk anak-anak sejak dini. Sehingga, setiap orang memiliki pemahaman yang benar mengenai bagaimana kedua gender adalah setara, bagaimana kesetaraan gender yang seharusnya berjalan walau dengan bagian dan keahlian yang berbeda, serta bagaimana setiap laki-laki dapat hidup bebas dengan haknya sebagai manusia untuk mengekspresikan emosi yang menunjukkan kerapuhan sekalipun.