Konten dari Pengguna

Menjelajahi Zaman Lewat Fiksi: Perahu Kertas dan Suara Generasi Digital

Zhalsa Arna Ventya
Mahasiswa Universitas Airlangga
18 Mei 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Zhalsa Arna Ventya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
Dalam lanskap budaya populer Indonesia, narasi tentang anak muda yang resah, gamang, dan penuh mimpi bukan hal baru. Namun, dalam dua dekade terakhir, narasi semacam ini menemukan bentuk baru: lebih personal, lebih hibrida, dan lebih resonan dengan denyut zaman. Di sinilah Perahu Kertas karya Dee Lestari mengambil posisi unik—bukan sekadar sebagai novel fiksi populer, tetapi sebagai penanda zaman sekaligus ruang ekspresi bagi generasi yang tengah mencari bahasa untuk memahami dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketika media digital merevolusi cara anak muda mengakses dan mengekspresikan pengalaman, sastra pun tak bisa lepas dari transformasi ini. Perahu Kertas hadir tepat di tengah pergeseran paradigma tersebut. Novel ini tidak hanya berkisah tentang cinta atau pencarian jati diri, tetapi juga memetakan geografi emosional generasi yang hidup di antara WhatsApp dan jurnal pribadi, di antara idealisme kampus dan tekanan dunia kerja, di antara panggilan hati dan logika sistem.
Tokoh-tokoh seperti Kugy dan Keenan berbicara kepada pembaca bukan sebagai karakter dari dunia lain, melainkan sebagai representasi mereka sendiri—generasi yang menolak dikotomi usang antara “serius” dan “ringan,” antara “sastra tinggi” dan “pop.” Imajinasi Kugy yang liar atau dilema batin Keenan bukan sekadar fiksi: mereka adalah metafora dari pergulatan eksistensial yang semakin akrab dalam masyarakat urban yang cair, cepat, dan tak menentu.
ADVERTISEMENT
Kekuatan Dee Lestari terletak bukan hanya pada kemampuannya menulis cerita, tetapi membangun dunia yang lintas medium: novel ini hidup kembali dalam bentuk film, lagu, bahkan kutipan-kutipan yang viral di media sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana sastra hari ini tidak lagi hanya hidup di rak buku atau ruang akademik, tetapi menyebar ke berbagai platform, menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, bahkan membentuk cara generasi muda memahami cinta, cita-cita, dan identitas.
Perahu Kertas juga menandai kembalinya apa yang oleh banyak kritikus disebut sebagai new sincerity—gelombang baru dalam budaya pascamodern yang menawarkan ketulusan emosional sebagai respon terhadap kelelahan akan ironi. Dalam dunia yang penuh sinisme, karya ini justru membuka ruang bagi kejujuran, kerentanan, dan refleksi personal. Alih-alih bersikap sinis atau sarkastik, ia memilih untuk menyentuh, memeluk, dan merangkul pengalaman manusia secara apa adanya.
ADVERTISEMENT
Lebih dari produk sastra, Perahu Kertas bisa dibaca sebagai artefak budaya—catatan transisi, manifestasi kerinduan kolektif, dan cermin atas dinamika sosial yang terus bergerak. Ia menegaskan bahwa narasi personal bukan berarti apolitis; justru dari ruang-ruang intim inilah percakapan lebih luas tentang makna hidup, nilai-nilai, dan arah masa depan bisa dimulai.