Amarah: Antara Glasgow dan Surabaya

Coach Adjie (Purwaji)
Psikolog lulusan Universitas Indonesia. Sehari-hari sebagai Praktisi SDM, Coach dan pengamat Sosial
Konten dari Pengguna
10 November 2021 14:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Coach Adjie (Purwaji) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Centre for Ageing Better from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Centre for Ageing Better from Pexels
ADVERTISEMENT
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, salah satunya diawali oleh kemarahan. Ya, kemarahan pemuda saat melihat pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato. Momen penting dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Bukan hanya pemuda.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, dalam rangkaian pelaksanaan COP 26 di Glasgow, Skotlandia, mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, mengajak para pemuda untuk terus marah dalam memperjuangkan isu perubahan iklim. COP 26 adalah momen penting dalam sejarah perjuangan umat manusia. Bukan hanya untuk pemuda Indonesia
Tentu ajakan Obama tidak melulu harus dipahami secara dangkal, bahkan emosional. Meski marah itu adalah ekspresi emosi, namun sejatinya kita dapat melihatnya dengan kepala dingin. Lebih jauh lagi, kita tentu perlu membedah, mengapa pilihan kata itu yang dipakai oleh Obama, seorang yang kita pandang terpelajar? Ini saja sudah mengantar kita pada pemahaman awal bahwa ada sesuatu yang lebih esensial di balik ajakan tokoh dunia macam Obama.
Harus diakui bahwa sejumlah perubahan memang dibumbui oleh kemarahan masa. Harus diakui bahwa amarah memang terbukti menjadi energi penggerak, bahkan pendobrak, untuk banyak perubahan. Sebuah common sense yang tentu sangat dipahami oleh Obama – yang kemudian mengantarnya mengambil diksi “stay angry on climate fight”.
ADVERTISEMENT
Pun dalam skala dan konteks berbeda, kemarahan berpotensi untuk terus dimanfaatkan. Sehingga menjadi sangat mudah dipahami kalau kemarahan lalu ditempatkan dalam konteks perjuangan untuk memastikan bahwa bumi menjadi tempat tinggal yang nyaman. Agenda mengontrol kenaikan suhu disandingkan dengan pesona fenomena psikologi, dimunculkan dalam orkestrasi yang dibawakan oleh Obama.
Saat bicara perubahan iklim, subjek sekaligus korbannya adalah seluruh manusia. Sehingga saat Obama mengajak pemuda, bisa jadi ini adalah bentuk empati paling dasar, sekaligus peringatan paling keras bahwa sejatinya yang akan banyak menikmati adalah kaum muda. Sesuatu yang sangat masuk akal.
Ketika pemuda disebut secara khusus, bisa juga berarti ini adalah ekspresi keprihatinan Obama. Kelompok yang akan paling banyak menikmati masa depan bisa jadi dianggap justru menjadi penonton dalam perjuangan besar ini. Wajar jika ada harapan lebih tinggi, bahwa kelompok pemuda mestinya berada pada barisan paling depan. Wajar jika kemudian Obama mengajak pemuda untuk marah.
ADVERTISEMENT
Saya masih percaya bahwa ada pilihan lain yang bisa diupayakan untuk sampai pada sebuah tujuan besar, tujuan mulia menyangkut kehidupan semua makhluk bumi. Sebagai makhluk mulia, manusia punya pilihan untuk memanfaatkan otak neokorteks yang diberikan Sang Maha Kuasa. Dengan otak neokorteks, kita diberi potensi untuk dapat berpikir, menganalisa, dan mempertimbangkan sejumlah opsi.
Otak reptil dan limbik bukan tanpa manfaat. Dia tersedia tentu dengan sejumlah kegunaan. Situasi penuh ancaman, yang kemudian mengantar reaksi melawan atau menghindar (fight or flight) adalah sedikit di antara manfaat dari otak reptil kita. Karena tentu ada sejumlah situasi yang memang butuh reaksi cepat, sehingga berpikir dan melakukan analisa panjang lebar bukanlah pilihan tepat pada konteks tertentu
ADVERTISEMENT
Dalam kaitannya dengan isu perubahan lingkungan maupun perilaku peduli lingkungan (pro environmental behavior), tentu ini berada pada tingkatan di mana telaah mendalam adalah pilihan terbaik. Menariknya, data penelitian dan banyak temuan sejatinya sudah tersebar luas. Fokus menjadikan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius adalah salah satu yang basisnya adalah kajian para ahli.
Sayangnya, temuan dan teriakan para ahli dipandang belum menggerakkan banyak pihak. Ancaman bencana katastropik nyatanya dipandang belum membuat upaya penanganan lingkungan berada pada titik yang diharapkan. Paling sedikit itu yang saya tangkap dari perspektif aktivis lingkungan.
Isu deforestrasi terus berhadapan dengan gagasan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pembatasan pemanfaatan batu baru berhadapan dengan krisis energi. Sejumlah negara dipandang tidak serius menepati komitmen mereka yang tertuang dalam Paris agreement. Usaha mengembangkan energi terbarukan berhadapan dengan biaya yang masih mahal.
ADVERTISEMENT
Di balik marah sebagai sebuah ekspresi emosi, tentu ada rangkaian pemikiran dan makna atas sesuatu. Emosi–termasuk juga marah-dipercaya sebagai salah satu penanda. Dengan begitu kita perlu mencari tahu, ada apa di balik marah itu. Kita perlu mendalami, pesan apa yang hendak disampaikan melalui ekspresi marah.
Marah yang diperlihatkan salah satunya berakar dari adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Karena yang saya inginkan tidak tercapai, maka bisa jadi saya marah karenanya. Awalnya sangat mungkin hanya kecewa. Lalu kecewa yang menumpuk kemudian bertemu dengan realita tentang seberapa besar upaya yang sudah dan tengah dilakukan. Saat sadar bahwa usaha sudah sedemikian besar namun tetap belum terwujud apa yang menjadi harapan, maka rasa kecewa bisa bertransformasi menjadi marah.
ADVERTISEMENT
Jika hipotesis ini benar, maka kita perlu dalami seperti apa dan di mana kesenjangan itu? Tentang harapan sebagai kriteria keberhasilan, saya percaya sudah ada kriteria keberhasilan dimaksud. Ini yang kemudian menjadi dasar lahirnya Paris Agreement.
Setelah target/harapan tertulis jelas, maka isunya berpindah kepada soal action plan, soal rencana tindakan. Pada titik ini pun saya percaya sudah jelas rencana tindakan yang perlu diambil. Hanya saja ada variable lain yang terkait dengan persoalan komitmen. Pada konteks mikro dalam pandangan psikologi aliran behaviourisme, komitmen dan motivasi juga berhubungan dengan konsep hadiah dan hukuman (reward and punishment). Dianalogikan sebagai entitas hidup, maka pertimbangan untung rugi juga menjadi dasar lahirnya komitmen di tingkat negara dimaksud.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas persoalan muncul ketika tujuan besar dalam narasi ini berada dalam konteks hubungan antar negara. Tidak sederhana mengelola ini. Anda bisa sibuk menjaga kebersihan halaman rumah Anda. Sementara pada saat yang sama Anda hanya bisa dongkol ketika tetangga Anda membakar sampah sembarangan. Begitu kira-kira analogi sederhananya.
Paling jauh, Anda hanya bisa lapor Pak/Bu RT. Anda beruntung kalau Pak/Bu RT Anda tegas dan mau menegur tetangga yang serampangan membakar sampah. Kalau pembakar sampah tahu diri, itu rezeki Anda. Bagaimana kalau pembakar sampah tidak peduli? Anda hanya bisa marah, marah pada diri sendiri
Lalu dalam konteks pengelolaan perubahan iklim ini, siapa yang menjadi RT? Apakah Pak/Bu RT nya punya wewenang untuk menegur? Bagaimana jika yang ditegur juga tidak peduli? Ada wewenang menghukum? Kalau tidak, maka jangan mengeluh jika tidak ada komitmen, jika tidak ada perubahan. Anda hanya bisa marah, sekali lagi.
ADVERTISEMENT
Wajar jika gambaran di atas membuat banyak pihak gemas. Bahkan negara sekuat Amerika Serikat seakan tidak berdaya, tidak bisa menekan negara yang dipandang tidak tepat janji. Peer pressure terbukti tidak efektif dalam konteks ini.
Orang pantas bertanya-tanya melihat hal ini. Mengapa pada kasus lain ada negara yang mampu melakukan tekanan hebat? Sementara pada konteks ini, seakan negara kuat hanya mampu mengimbau. Atau ini belum menjadi agenda penting?
*) ADJIE - Psikolog, Praktisi Human Capital, Pengamat Sosial - tinggal di Depok