Sumpah Pemuda dan Panggung Perayaan Indonesia Emas 2045

Coach Adjie (Purwaji)
Psikolog lulusan Universitas Indonesia. Sehari-hari sebagai Praktisi SDM, Coach dan pengamat Sosial
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2021 16:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Coach Adjie (Purwaji) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by cocoparisienne from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by cocoparisienne from Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
ADVERTISEMENT
Begitulah ikrar pemuda pada tahun 1928 yang terus digaungkan setiap tahun, hingga kini. Ini sebuah komitmen besar yang tentu tidak bisa dilepaskan dari situasi dan dinamika pergerakan pada masa itu. Suasana kejiwaan yang melingkupi kehidupan kala itu diyakini ikut mengakselerasi lahirnya kesadaran berbangsa dan pentingnya persatuan.
Sementara kini pada saat arus deras globalisasi dan kemajuan teknologi menghilangkan batas antar negara, menjadi wajar jika sebagian pihak mulai mempertanyakan relevansi konsep nasionalisme.
Sebagian kita mungkin miris dan tidak siap atas munculnya fenomena ini. Pada sisi lain, gejala yang mengemuka ini sungguh bisa dipahami. Di era kolonial, nasionalisme dibangun atas kesadaran bersama yang dipupuk atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan untuk terbebas dari belenggu penjajahan kolonial.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan hari ini ? Visi besar apa yang bisa dijadikan pendorong terjaganya nasionalisme di kalangan pemuda ? Atau lebih ke akar lagi : apakah masih dibutuhkan konsep nasionalisme itu ?
Jika pada tahun 1928 pemuda Indonesia menyatukan kekuatan atas nama perjuangan lepas dari penjajah, maka musuh bersama hari ini salah satunya adalah persoalan lingkungan , khususnya perubahan iklim. Pada tahun 1928 konsep tanah Indonesia yang dimaksud oleh para pemuda bisa jadi lebih pada tataran kolosal, agung dan abstrak. Sementara hari-hari ini tantangan kita sungguh tentang tanah, air, udara dalam arti konkret.
Kita semua, tidak hanya pemuda sedang dihadapkan pada krisis tanah, krisis kualitas udara yang kita hirup dan kualitas air sumber minum sehari-hari kita. Bisa jadi ini bukan tema yang seksi, karena sebagian kita berpikir taken for granted.
ADVERTISEMENT
Kala berkesempatan melacak sejumlah sumber, maka saya percaya data ilmiah akan membuat mata kita terbelalak. Presentasi ciamik mantan Wakil Presiden AS Al Gore menyajikan banyak data mengerikan. Perubahan iklim tak tertahankan dampak buruknya. Data ilmiah yang tersaji juga memperlihatkan trend perubahan di mana kondisi kota-kota besar akan menjadi jauh lebih panas dan lebih lembab karena perubahan umum bumi sedang menuju kondisi yang lebih subtropis.
Sebuah analisis menyebut bahwa di seluruh Eropa, musim panas dan musim dingin akan menjadi lebih hangat, dengan peningkatan rata-rata antara 3,5 derajat Celsius dan 4,7 derajat Celsius, yang berarti bahwa perubahan tersebut akan setara dengan pergeseran kota sejauh 1.000 km ke wilayah subtropis di selatan.
Ilmuwan telah membuat skenario terburuk dari perubahan iklim, yakni yang mungkin terjadi pada 2050 mendatang. Udara tercemar, membuat kita semua batuk. Kita harus memeriksa kualitas udara terlebih dahulu sebelum membuka jendela. Saat pergi keluar, mata akan berair dan kita harus memakai masker setiap hari.
ADVERTISEMENT
Jika hari sedang buruk, kita harus memakai masker berteknologi tinggi, itu pun jika mampu membelinya. Tergantung di mana kita tempat tinggal, suhu bisa mencapai 60 derajat Celsius selama lebih dari sebulan setiap tahun. Di toilet umum, kita harus membayar mahal hanya untuk mengganti air.
Tentu ada langkah kecil yang bisa dilakukan pada tingkat pribadi. Namun masalah yang sangat besar ini tentu tidak dapat dijawab dengan pendekatan simplistis, Perlu grand design dan komitmen langkah masif yang menyediakan jawaban-jawaban kolosal atas kompleksitas masalah ini.
Kita mafhum bahwa Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris di New York pada tanggal 22 April 2016. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergerak aktif mencegah terjadinya perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Paris juga memposisikan hutan sebagai kunci dari upaya penurunan gas rumah kaca. Hal ini mengingat kemampuan hutan menyerap gas rumah kaca. Paris Agreement juga mendorong negara-negara untuk melakukan pengurangan emisi. Lebih serius terhadap isu-isu deforestation dan degradasi hutan (forest degradation) serta melakukan konservasi pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip keberlanjutan.
Saya percaya bahwa tentu ada langkah yang sudah dan tengah dijalankan oleh pemerintah. Tinggal kemudian bagaimana mengkomunikasikan key performance indicator serta capaian kinerja yang sudah diraih sejauh ini. Saya juga percaya penetapan key performance indicator sudah meliputi semua pemangku kepentingan yang ada. Ini masalah besar, sehingga semua pihak harus terlibat.
Saat bicara komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, rakyat perlu tahu apa yang dimaksud. Pemerintah perlu terus menjelaskan, mengkampanyekan visi bersama ini. Pun dalam konteks memposisikan hutan sebagai kunci, rakyat perlu disadarkan apa yang sudah terjadi dan apa yang akan dilakukan. Ini menjadi penting di tengah kritik atas maraknya deforestrasi industri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rakyat khususnya pemuda perlu diberdayakan, sehingga paham apa yang tengah terjadi dan ancaman yang ada. Berbasis pengetahuan dan pemahaman kita bisa berharap akan muncul kesadaran, muncul ikrar untuk mengambil langkah konkret menjaga kualitas tanah, air dan udara Indonesia
Dalam konteks ini maka energi Sumpah Pemuda 1928 tetap dapat ditarik relevansinya. Meski ini adalah persoalan semua pihak, namun sejatinya pusat dari narasi ini adalah pemuda. Pemuda masa kinilah yang akan jadi saksi pencapaian Indonesia emas 2045. Pemudalah yang akan menikmati semua kejayaan itu
Kalau dulu sumpah diikrarkan untuk bertanah air satu, tanah air Indonesia, maka sekarang komitmen itu perlu dipertajam. Tak saja bertanah air Indonesia, namun Indonesia yang masih menjadi tempat layak untuk hidup, yang paling sedikit selaras dengan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) yang ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Indonesia meningkat sebesar 3,72 poin dari angka 66,55 pada tahun 2019 menjadi 70,27 pada tahun 2020. Meski demikian ada indikator yang belum memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Dengan peta sedemikian, terlihat bahwa tantangan sangat nyata di depan mata. Pekerjaan rumah juga teramat mendesak. Dalam konteks ini maka pergerakan pemuda sebagai agen perubahan sudah tidak memerlukan perekat lain lagi. Menjawab tantangan perubahan iklim adalah soal hidup mati dan ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi sumber energi pergerakan
Saat bicara hidup mati macam ini, maka konsep agung nasionalisme perlu segera diturunkan ke tataran praktis. Nasionalisme perlu ditransformasi, segera dibumikan untuk menyatukan gerak dan langkah.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama juga diperlukan internasionalisme, komitmen untuk menjadi watch dog atas komitmen yang sudah dijanjikan oleh para pemimpin negara. Pemuda dunia perlu bersatu karena pemuda sedang bicara satu bumi yang sama, satu bumi yang kita pijak untuk hidup, yang butuh diselamatkan.
Khusus untuk pemuda Indonesia, jika tantangan perubahan iklim ini tidak segera dijawab, maka saya khawatir kita tidak berani keluar rumah untuk ikut upacara bendera ulang tahun ke 100 Indonesia. Saya khawatir tidak ada lagi bumi untuk panggung perayaan pencapaian visi Indonesia emas 2045
*)Adjie - Psikolog, Praktisi Sumber Daya Manusia dan Pengamat Sosial