Konten dari Pengguna

Berdamai dengan HOTS: Menumbuhkan Pemikir Kritis Generasi Merdeka Belajar

Siska Indriani
Seorang Guru Bahasa Inggris dan Cambridge Exam Officer di Sekolah Pribadi Bandung. Memiliki pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun
5 Februari 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siska Indriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai pendidik, kita telah menyaksikan berbagai perubahan dalam dunia pendidikan, termasuk evolusi pendekatan evaluasi pembelajaran. Dulu, penekanan ujian nasional (UN) pada hafalan dan regurgitasi informasi seringkali membelenggu kreativitas dan berpikir kritis siswa. Namun, di era Merdeka Belajar ini, angin segar berhembus dengan bergesernya fokus ke Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi. Meski ujian nasional sudah tiada, pentingnya HOTS sebagai alat pembelajaran dan evaluasi tidak berkurang. Justru, ia semakin relevan untuk mempersiapkan generasi muda menjadi pemikir kritis dan inovator masa depan.
ADVERTISEMENT
Awalnya, istilah HOTS mungkin mengundang sedikit keraguan, bahkan ketakutan. Ada kekhawatiran siswa akan kewalahan menghadapi soal-soal yang "menjebak" atau "tidak biasa". Namun, pemahaman ini perlu diluruskan. HOTS bukanlah monster di ruang ujian, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam dan pengembangan kemampuan intelektual yang bermakna.
Ingatkah dulu saat belajar sejarah, kita tidak hanya menghafal tanggal dan nama, tetapi juga menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya peristiwa tertentu? Itulah contoh sederhana penerapan HOTS. Melalui soal-soal yang mendorong analisis, evaluasi, dan kreativitas, siswa tidak hanya sekadar mengingat, tetapi juga memahami, menerapkan, dan menciptakan pengetahuan baru.
Memang, hasil survei internasional seperti PISA menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan. Namun, alih-alih mengeluhkan tantangan, mari kita jadikan ini sebagai motivasi untuk memperkaya pendekatan pengajaran. HOTS bukanlah beban tambahan, melainkan kesempatan untuk merancang pembelajaran yang lebih bermakna dan menantang.
ADVERTISEMENT
Sebagai guru, kita perlu membekali diri dengan wawasan dan keterampilan, seperti mempelajari berbagai metode pengajaran HOTS, memahami taksonomi Bloom, dan terus meng-upgrade kemampuan diri menjadi fasilitator pembelajaran yang efektif. Kita juga perlu menyesuaikan kurikulum dan materi pembelajaran, mendorong diskusi dan kolaborasi di kelas, dan memberikan penilaian yang komprehensif.
Penerapan HOTS bukan hanya tanggung jawab guru. Orang tua dan siswa juga memiliki peran penting. Orang tua dapat menanamkan pentingnya berpikir kritis dan kreatif sejak dini, mendukung dan memotivasi anak saat menghadapi tantangan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Siswa perlu berubah mindset, melihat HOTS sebagai kesempatan untuk mengasah kemampuan, bukan sebagai beban. Mereka perlu aktif dalam proses pembelajaran, bertanya, berdiskusi, mencari solusi kreatif, dan tidak takut untuk mencoba dan salah.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat, transisi menuju pembelajaran yang berbasis HOTS bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat menciptakan generasi muda yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga mampu berpikir kritis, berinovasi, dan memecahkan masalah dengan kreatif. Inilah generasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21 dan terus memajukan bangsa.
Mari kita jadikan Merdeka Belajar bukan hanya slogan, tetapi sebuah manifesto untuk mewujudkan pendidikan yang melahirkan pemikir kritis, pembelajar mandiri, dan pembawa perubahan bagi masa depan. Mari berdamai dengan HOTS, bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai jembatan menuju pendidikan yang lebih bermakna dan mencerahkan.