Konten dari Pengguna

Ancaman Monopoli Digital Melalui Negosiasi I-EU CEPA

Muhamad Aryang Isal
Program Officer and Researcher for Global Justice/ Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum (Magister Ilmu Hukum Masyarakat dan Pembangunan) Universitas Indonesia
30 Oktober 2024 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Aryang Isal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga mengamati aplikasi-aplikasi "start-up yang dapat diunduh melalui telepon pintar. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengamati aplikasi-aplikasi "start-up yang dapat diunduh melalui telepon pintar. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Perundingan Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), kini telah memasuki putaran ke-19 yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 Juli 2024. Dalam beberapa bab proposal negosiasi IEU CEPA, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan secara matang proposal yang dalam IEU CEPA tersebut, khususnya dalam Bab Perdagangan Digital (Digital Trade).
ADVERTISEMENT
Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai bahwa proposal terkait isu Perdagangan dalam IEU CEPA dapat mengancam kedaulatan data nasional, memperlemah pengawasan data dan menimbulkan ekstraktivisme data digital melalui eksploitasi data yang dilakukan oleh Big Tech. Proses perundingan negosiasi yang tertutup ini mengakibatkan koalisi masyarakat sipil untuk mengingatkan pemerintah untuk mengkaji kembali dampak dari proposal IEU CEPA terutama dalam muatan isu lintas batas aliran data/Cross-Border Data Flow (CBDF) dan Source Code (Kode Sumber).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mengakibatkan perubahan yang besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Pesatnya perkembangan teknologi mendorong aktivitas baru dalam kegiatan ekonomi masyarakat, terutama dalam aktivitas ekonomi yang berbasis digital. Negosiasi IEU CEPA juga akan mengatur tentang teknologi digital ini melalui Bab Perdagangan Digital.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, dalam Bab Perdagangan Digital Negosiasi IEU CEPA sedang membahas definisi, ruang lingkup, tujuan dari CBDF, No Prior Authorization (tidak ada otorisasi sebelumnya), Bea Masuk pada Transmisi Elektronik (Moratorium E-Commerce), Layanan Kepercayaan dan Otentikasi Elektronik, serta transfer atau akses ke Source Code. Terkait dengan Layanan Kepercayaan dan Otentikasi Elektronik kedua negara telah mencapai kesepakatan.
Liberalisasi digital yang dilakukan oleh pemerintah global telah memberikan kebebasan dan keleluasaan untuk Big Tech melakukan transfer data yang melintasi batas negara dapat memberikan dampak buruk yang merugikan masyarakat. Sebagai contoh skandal Facebook Cambridge Analytica yang terjadi di Amerika Serikat (AS), dimana data sebanyak 50 juta profil Facebook diambil tanpa izin pengguna untuk kepentingan mempengaruhi politik Pemilu di AS.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan dengan matang perundingan IEU CEPA khususnya dalam pembahasan CBDF dan Source Code, hal ini menjadi krusial karena berdampak langsung pada masyarakat sipil. Sebelum disahkan Bab Perdagangan Digital dalam Negosiasi IEU CEPA seharusnya Pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelola arus data dengan memperjelas terlebih dahulu regulasi CBDF, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) berkomitmen untuk mendorong dan meningkatkan tata kelola data, namun hingga sekarang upaya dalam regulasi tersebut masih belum jelas hingga sekarang.
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan 2022 silam, walaupun telah mengidentifikasikan beberapa kategori data seperti: data pribadi yang bersifat umum dan data pribadi spesifik; namun UU tersebut masih harus membutuhkan mekanisme yang lebih jelas seperti peraturan turunan dan klasifikasi pada jenis data yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki regulasi perlindungan data yang kondusif, sehingga rentan dimanipulasi oleh kapitalisme global sekaliber Big Tech. Bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir Big Tech telah memonopoli E-Commerce (perdagangan elektronik) melalui upaya lobi secara besar-besaran untuk menderegulasi kebijakan global melalui aturan “perdagangan digital”, faktanya dari setiap usulan perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh AS, EU, Kanada atau Jepang selalu berusaha memasukan Bab Perdagangan Digital yang berasal dari usulan Big Tech AS beberapa tahun yang lalu.
Perjanjian Perdagangan faktanya merupakan agenda Big Tech untuk menghadapi tekanan regulasi dari Negara-Negara Kawasan Utara. Perusahaan teknologi memanfaatkan pembicaraan dalam negosiasi perdagangan digital sebagai senjata untuk mengabaikan peraturan dalam negeri sehingga menimbulkan resiko serius terhadap Privasi, Hak Asasi Manusia, Persaingan, Keadilan Sosial dan Ekonomi, serta pembangunan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Big Tech pada dasarnya selalu mencari cara untuk meliberalisasi perdagangan digital dengan menyalurkan agenda kampanye dengan mendanai Akademisi, Lembaga Sosial dan Organisasi Masyarakat Sipil yang tidak hanya di Washington melainkan juga di Brussels.
Maka dari itu penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mewaspadai adanya ancaman monopoli yang dilakukan Big Tech melalui negosiasi perjanjian perdagangan yang dapat mengancam hak privasi masyarakat sipil dan meningkatkan kesenjangan ekonomi melalui manipulasi dan eksploitasi data secara tidak bertanggung jawab.
Pemerintah Indonesia seharusnya secara serius melindungi data pribadi nasional dengan mengatur regulasi CBDF yang rentan dimanipulasi oleh kepentingan Big Tech. Ancaman aliran arus data lintas batas yang bebas dan tidak terbatas tidak hanya dapat memperkuat monopoli Big Tech atas data dunia, melainkan juga dapat memperlebar kesenjangan ekonomi, ancaman terhadap privasi pengguna dan menempatkan negara-negara berkembang hanya menjadi konsumen dan penonton belaka, bukan sebagai subjek yang berperan aktif dalam ekonomi digital.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia perlu segera berbenah untuk memperkuat perlindungan data pribadi melalui perbaikan tata kelola sistem hukum nasional terlebih dahulu, Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan proteksi data publik yang kerap kali “bocor” karena tata kelola data dan regulasi nasional yang masih belum mumpuni.
Maka dari itu sebelum menandatangani pengesahan Perdagangan Digital dalam negosiasi IEU CEPA, Pemerintah seharusnya memperkuat sistem proteksi data warga negaranya terlebih dahulu, ketimbang tergesa-gesa untuk mengesahkan perjanjian perdagangan yang belum tentu mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.
Penulis;
Anang Isal
Koordinator Program Bisnis Dan HAM Indonesia for Global Justice (IGJ)