Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Sweatshop di Bangladesh, Benang Kusut dalam Ketenagakerjaan
30 Desember 2024 16:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ayesa Nazhifah Humaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor produksi yang memegang peranan penting dalam proses produksi adalah manusia atau tenaga kerja. Meski telah menjadi fakta umum bahwa pekerja memiliki andil besar, hak-hak dasar pekerja seperti keamanan dan keselamatan pekerja masih seringkali diabaikan dan didiskriminasi. Sejarah telah mencatat daftar panjang peristiwa yang menunjukkan betapa lemah dan tidak layaknya perlindungan terhadap pekerja di tengah tingginya tekanan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Sweatshop adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi lingkungan kerja yang jauh dari kata layak. Diantaranya, upah pekerja yang tidak sesuai dengan ketentuan upah minimal, waktu kerja yang melampaui standar, ketiadaan prosedur keamanan bagi pekerja yang dapat mengancam keselamatan pekerja, hingga adanya bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja. Sehingga dengan adanya hal-hal di atas, menjadikan fenomena sweatshop dapat dikategorikan sebagai diskriminasi terhadap pekerja.
Fenomena sweatshop berawal dari terbukanya pasar ekonomi global, yang sesungguhnya sistem ekonomi bebas menghasilkan banyak dampak positif, seperti mempermudah proses perdagangan komoditas antarnegara, tersedianya lapangan pekerjaan serta pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun tidak dapat dipungkiri, sistem ekonomi bebas juga memiliki dampak negatif. Misalnya, kemudahan akses bagi perusahaan asing untuk membangun perusahaan offshore, hal ini akan menyediakan lapangan pekerjaan di negara tujuan, tetapi pada kenyataannya, terutama di negara berkembang, pembukaan perusahaan offshore tanpa regulasi pemerintah yang tegas dan konflik di tubuh birokrasi seperti korupsi justru menjadi awal permasalahan. Ditambah lagi, tingkat pengangguran di negara berkembang sangatlah mengkhawatirkan, sehingga pemerintah terus menggencarkan penyediaan lapangan pekerjaan agar pengangguran dapat teratasi dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan progresif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perusahaan melihat pasar tenaga kerja di negara berkembang sebagai lahan potensial karena melimpahnya jumlah tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan dan standar upah pekerja yang lebih murah dibandingkan negara maju. Ditambah dengan permintaan konsumen akan barang dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga perusahaan akan melakukan berbagai cara agar biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin dan memaksimalkan keuntungan melalui proses capaian target produksi.
Terdapat tragedi yang menunjukkan fenomena sweatshop di salah satu negara berkembang, yakni runtuhnya bangunan Rana Plaza yang terjadi di Dhaka, ibukota Bangladesh pada tanggal 24 April 2013. Terdapat sekitar 5.000 bangunan pabrik tersebar di Bangladesh untuk memproduksi barang yang berasal dari brand terkemuka di dunia. Tragedi ini menyebabkan kerusakan berat pada pabrik garmen, bank, dan area pertokoan hingga menimbulkan banyak korban. Besarnya tingkat produksi tekstil di Bangladesh rupanya tidak sejalan dengan ketersediaan hak-hak pekerja dan kualitas tempat kerja. Berdasarkan hasil investigasi, runtuhnya bangunan Rana Plaza disebabkan oleh kondisi fisik bangunan yang sudah tidak layak serta ketidaksesuaian fungsi bangunan.
ADVERTISEMENT
Semua bermula dari konstruksi bangunan Rana Plaza yang dibangun di atas tanah berjenis rawa sehingga landasan bangunan memang sulit untuk menahan beban bangunan, kemudian pembangunan Rana Plaza menggunakan material berkualitas rendah, dan proses pengerjaan yang tidak tepat guna. Buruknya kualitas konstruksi ini diperparah dengan adanya tindak korupsi dan penyuapan yang dilakukan oleh pihak tak bertanggungjawab untuk meraup keuntungan dengan menekan biaya pembangunan tanpa memperhatikan kualitas material yang akan digunakan untuk Rana Plaza. Bangunan ini seharusnya memiliki lima lantai, tetapi pemilik bangunan menambahkan tiga lantai tambahan dengan perizinan dari pihak berwenang tanpa pengkajian lebih lanjut yang secara logika justru menambah beban konstruksi dan memperbesar kemungkinan terjadinya kerusakan pada bangunan.
Tidak hanya itu, bangunan Rana Plaza sebenarnya diperuntukkan sebagai area pertokoan dan perkantoran, bukan pabrik produksi. Bangunan ini tidak memiliki struktur pengaman yang biasanya terdapat di pabrik berlisensi dan konstruksi bangunan tidak mampu menahan berat dan getaran yang dihasilkan mesin produksi.
ADVERTISEMENT
Selain kualitas fisik bangunan, hak-hak pekerja di Rana Plaza juga seringkali diabaikan. Human Right Watch (HRW) melaporkan bahwa perusahaan fashion terkemuka yang menjadikan Bangladesh sebagai pabrik produksi ini menginginkan agar biaya produksi menjadi lebih rendah, sehingga terjadi pemangkasan upah pekerja dan ketiadaan biaya yang seharusnya dipergunakan untuk sarana keselamatan pekerja. Mereka pun menekan agar proses produksi berjalan secepat mungkin dalam kuantitas produk yang besar, menyebabkan para pekerja harus bekerja di bawah tekanan dan waktu kerja yang melampaui batas yang telah ditetapkan.
Tepat satu hari sebelum tragedi ini terjadi, beberapa pekerja melaporkan adanya retakan pada bagian dinding, atap, dan lantai pada pihak pengelola bangunan. Bukan solusi dan perbaikan yang didapatkan, para pekerja ini justru diminta untuk bekerja seperti biasanya di tengah kondisi yang membahayakan keselamatan mereka hingga ancaman yang dilayangkan kepada pekerja bahwa upah mereka tidak akan dibayarkan. Hingga tepat pada tanggal 24 April 2013, listrik di dalam Rana Plaza mulai terputus dan hanya dalam hitungan detik seluruh bangunan Rana Plaza rubuh, menewaskan lebih dari 1.000 pekerja dan menyebabkan banyak pekerja lainnya terjebak di antara reruntuhan bangunan.
ADVERTISEMENT
Setelah tragedi itu, kritik keras muncul dari organisasi nonpemerintah yang menyoroti kelalaian pihak-pihak yang diberikan mandat untuk mengelola Rana Plaza. Aksi protes pun muncul dari pihak keluarga korban jiwa hingga masyarakat umum yang menuntut keadilan bagi pihak yang dirugikan dan mendorong pihak berwajib agar permasalahan ini dapat diusut hingga ke akar-akarnya.
Alhasil, terbentuklah sebuah persetujuan antara serikat perdagangan dan perusahaan untuk melakukan pengawasan ketat serta perbaikan berkala terhadap sarana dan prasarana produksi. Pemilik bangunan Rana Plaza, Sohel Rana dan pemilik pabrik dijerat dengan pasal pembunuhan kemudian dijatuhi hukuman penjara pada tahun 2017. Kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan pun diberikan kepada pihak keluarga yang ditinggalkan.
Tragedi Rana Plaza menjadi bukti nyata diskriminasi pekerja berupa sweatshop masih terjadi hingga saat ini. Di sisi lain, Tragedi Rana Plaza menjadi pemantik perubahan bagi pihak berwenang dalam menerapkan regulasi keselamatan dan keamanan pekerja. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan perbaikan dalam sistem dan kontribusi dari berbagai pihak, seperti masyarakat konsumen, pemerintah, perusahaan, dan advokasi terkait sehingga perkembangan ekonomi dapat tercapai tanpa mengabaikan kesejahteraan pekerja dan aspek kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Goodwin, J. (2021, April 20). The Rana Plaza Collapse: What Happened & What it Means for the Fashion Industry. Retrieved from Grow Ensemble: https://growensemble.com/rana-plaza/
Karim, N. (2019, April 24). Six years after Bangladesh's Rana Plaza disaster, fashion brands urged to pay more. Retrieved from REUTERS: https://www.reuters.com/article/us-bangladesh-labour-fashionidUSKCN1S01BI/
Koenig, P., & Poncet, S. (2022). The effects of the Rana Plaza collapse on the sourcing choices of French importers. Journal of International Economics.
Rahman, K. (2022, April 21). TEN YEARS SINCE THE RANA PLAZA TRAGEDY: HAS FAST FASHION IRONED OUT THEIR DEADLY CORRUPTION PROBLEMS? Retrieved from Transparency International: https://www.transparency.org/en/blog/rana-plaza-tragedy-fast-fashiondeadly-corruption-problems
Rooks, A. W. (2017). The Government’s Influence on Sweatshops in Developing Countries. Siegel Institute Ethics Scholars Vol.1, Article 2, 1-22
ADVERTISEMENT