(Review Novel) Tan: Gerilya Bawah Tanah, Kiri Tidak Mesti PKI

Konten dari Pengguna
2 Januari 2018 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cristina Balqis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bab 3 Novel TAN (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Bab 3 Novel TAN (Foto: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Sepanjang 2017, Indonesia hiruk-pikuk terkait orang-orang kiri. Ribut sekali aksi tolak-menolak ini sampai semua orang yang dinyatakan kiri dikait-kaitkan dengan PKI 1965-1966.Padahal, kiri ini pun ada banyak. Kiri tidak harus PKI, tidak harus komunis internasional. Kiri juga punya percabangan-cabangan, bahkan kiri bukan cuma cekcok dengan nonkiri, tapi juga antar sesama mereka.
ADVERTISEMENT
Gambaran ini yang saya tangkap seusai membaca novel Tan: Gerilya Bawah Tanah. Sebelum masuk ke isi novel ada baiknya kita baca baik-baik pandangan Soekarno tentang kiri ini:
Membaca novel Tan: Gerilya Bawah Tanah—sekuel Tan: Sebuah Novel—karangan Hendri Teja menjadi pembuktian apa yang dinyatakan Sukarno di atas. Dalam narasi novel ini, cekcok itu dinyatakan dengan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI).
ADVERTISEMENT
Kegagalan Perlawanan Rakyat 1926-1927 adalah malapetaka bagi gerakan kemerdekaan Indonesia. Banyak aktivis pergerakan, kaum ulama, sampai orang-orang yang sebatas simpati atas gerakan menentang kolonialisme, diringkus dan dibuang ke Boven Digul. Organisasi perjuangan, baik parpol maupun serikat pekerja dibubarkan paksa. Gerakan kemerdekaan mencapai titik nadir, sampai berdirilah PARI di negeri Siam, dan sebulan kemudian PNI di Bandung.
PARI dirikan oleh tiga eksil Hindia Belanda pasca Perlawanan Rakyat yang gagal itu. Mereka adalah Tan Malaka, Subakat dan Djamaluddin Tamin—dua nama terakhir saya pikir kurang akrab di telinga kids zaman now. Sebelumnya, mereka adalah penentang gigih Perlawanan Rakyat yang diinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) itu. Dan PARI adalah satu bentuk perlawanan mereka terhadap hegemoni Komunis Internasional (Komintren), perhimpunan parpol komunis di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
PARI menilai semua organisasi penentang imperialisme dan kolonialisme harus tegak sejajar. Metode perjuangan tidak boleh disetir dari Moskow, melainkan harus berdasarkan corak budaya masing-masing negara.
Pendirian PARI ini kelak menerbitkan percekcokan baru antara Tan Malaka dengan antek-antek Komintern. Tapi, di lain sisi, perubahan metode perjuangan PARI juga membuat pemerintah di negara-negara kolonial kalang kabut. Jika rumusan PARI sampai diadopsi oleh gerakan-gerakan antikolonialisme, alamat tak ada lagi metode tunggal. Artinya, butuh energi lebih untuk memberangus musuh-musuh para Tuan Besar kulit putih itu.
ADVERTISEMENT
Semangat PARI ini menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui buletin Obor. Risalah-risalah ini pada akhirnya turut membakar semangat perjuangan Sukarno dan para aktivis PNI. Sampai akhirnya segenap gerakan itu hancur-lebur oleh tipu muslihat Senna van Delli, seorang agen intelejen kolonial yang membayang-bayangi para aktivis PARI dan PNI.
Duet antara PARI dan PNI inilah yang dipotret oleh Hendri Teja dalam novel sekuel dari Tan: Sebuah Novel ini. Tapi, sebagaimana novel sebelumnya, Tan: Gerilya Bawah Tanah tidak sebatas berkutat pada narasi sejarah. Pengarang cukup piawai mengupas suasana kebatinan para tokohnya.
Perbedaan mendasar dari novel sebelumnya adalah: Tan: Gerilya Bawah Tanah lebih keras dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan. Penokohannya disajikan secara proporsional. Bukan cuma riwayat Tan Malaka yang dikupas. Para aktivis kiri lainnya juga mendapat tempat terhormat dalam novel bersetting: Hindia Belanda, Semenanjung Malaya, Thailand, Filipina sampai negeri Cina pada kurun waktu 1927-1935 ini.
ADVERTISEMENT
Sukarno mendapat tempat khusus dalam novel ini, utamanya proses transformasi putera sang fajar. Mulai dari mahasiswa sekolah teknik, sampai menjadi pemimpin rakyat yang utama. Hubungan Sukarno dan Tan Malaka dipotret mesra secara intelektual, kendati mereka tidak pernah bertatap-muka.
Tentu saja, sebagaimana fiksi lainnya, terselip juga romansa. Kali ini mengambil bentuk Carmen, puteri Rektor Universitas Manila; serta Inggit Garnasih, isteri Sukarno.
Saya menolak membandingkan novel ini dengan novel-novel postkolonialism lainnya. Tetapi, saya pikir sebagai fiksi bergenre sejarah, Tan: Gerilya Bawah Tanah bisa jadi tabung oksigen yang lumayan buat menyelami semangat Indonesia era kolonialisme dengan cara yang mengasyikan.