Konten dari Pengguna

Tipe Kepemimpinan Buya Hamka, Seorang Pemimpin yang Berjiwa Besar

Cesar Sanabil Pasya
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FIA UI Angkatan 2021
20 Desember 2022 10:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cesar Sanabil Pasya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pahlawan Nasional, Buya Hamka. Sumber Gambar: Buku Berjudul Ayah Karya Irfan Hamka
zoom-in-whitePerbesar
Pahlawan Nasional, Buya Hamka. Sumber Gambar: Buku Berjudul Ayah Karya Irfan Hamka
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buya Hamka adalah seorang ulama, filsuf, penulis, dan politikus yang dikenal memiliki prinsip kuat dalam menjalani kehidupannya. Beliau memiliki kecintaan dan semangat yang besar dalam membuat karya tulis. Hal ini dibuktikan dari banyaknya karya tulis hasil pemikiran beliau yang telah beredar di masyarakat sejak jaman Orde Baru. Karya yang ditulis oleh Buya Hamka bukan hanya meliputi satu bidang ilmu saja, belia mampu untuk menulis beberapa bidang keilmuan seperti agama islam, sastra, budaya, politik dan sejarah. Beberapa hasil karya beliau diantaranya adalah Si Sabariyah, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan masih banyak lagi. Pada karir politiknya, beliau pernah menjadi perwakilan partai Masyumi di konstituante pada pemilu 1955, beliau juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah, dan puncaknya beliau menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada tahun 1975.
ADVERTISEMENT
Biodata Buya Hamka
Buya Hamka memiliki nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera Barat dan meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Beliau merupakan putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffifah. Selama hidupnya, Buya Hamka tidak pernah mendapatkan gelar formal dalam pendidikannya. Beliau tidak pernah menamatkan sekolah formalnya dan lebih memilih untuk belajar secara mandiri melalui kitab, buku, atau belajar langsung kepada para tokoh, baik di Sumatra, Jawa, bahkan hingga Mekkah, Arab Saudi.
Meskipun Buya Hamka tidak memiliki gelar formal dalam hidupnya, berkat kontribusi yang sangat besar, beliau berhasil mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari tiga Universitas sekaligus, yaitu Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Prof. Moestopo Indonesia, dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Bahkan saat meninggal dunia, beliau diberi gelar kehormatan Bintang Mahaputera Madya dari Pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, beliau juga mendapatkan penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
ADVERTISEMENT
Selama hidupnya, Buya Hamka pernah mendapatkan amanah untuk menjabat pada beberapa organisasi di Indonesia. Tahun 1995 hingga 1957, Buya Hamka terpilih sebagai anggota konstituante Republik Indonesia mewakili partai Masyumi. Sejak tahun 1960, Buya Hamka dipercaya menjabat sebagai pengurus pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1968, Buya Hamka ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Prof. Moestopo. Puncaknya, Buya Hamka menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia pertama pada tahun 1975 hingga 1979. Terakhir sebelum meninggal dunia, Buya Hamka menjabat sebagai ketua Yayasan Pesantren Islam untuk periode 1976 – 1983.
Tipe Kepemimpinan Kharismatik Buya Hamka
Tipe kepemimpinan menurut Robbin terdiri dari 4 tipe, salah satunya adalah tipe kepemimpinan kharismatik. Tipe kepemimpinan ini berlandaskan pada kemampuan luar biasa seorang pemimpin dalam mengambil keputusan atau dalam melakukan sesuatu yang dapat memberikan inspirasi dan pembelajaran yang nyata bagi orang di sekitarnya. Hal ini dapat terlihat dari cara Buya Hamka menanggapi segala fitnah yang dilontarkan kepadanya. Pada saat Buya Hamka menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia pertama, banyak orang terdekatnya yang memberikan label kepada Buya Hamka sebagai kacung istana. Padahal dalam penentuan ketua Majelis Ulama Indonesia, beliau dipilih melalui musyawarah nasional yang dikenal sebagai Muktamar Ulama Islam diikuti oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia, baik NU, Persis, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan masih banyak lagi. Namun, berkat kemampuan kepemimpinan kharismatiknya beliau tetap tenang dan tidak bereaksi sedikitpun atas segala fitnah yang dilontarkan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Bukti lain yang memperlihatkan bahwa Buya Hamka memiliki tipe kepemimpinan Kharismatik dapat dilihat pada saat MUI mengeluarkan fatwa haram bagi Umat Islam untuk mengucapkan dan ikut merayakan perayaan natal bersama Umat Kristiani. Fatwa ini dianggap kontroversi dan dikecam oleh Pemerintah Indonesia. Sempat terjadi perselisihan antara MUI dan Pemerintah Indonesia, namun dengan tegas dan besar hati, Buya Hamka memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI. Setelah tersebar mengenai berita pengunduran diri Buya Hamka, banyak tokoh Islam yang mengucapkan selamat atas ketegasan beliau dalam menghadapi permasalahan. Bahkan beberapa orang yang dulu sempat memberikan label kacung istana kepada Buya Hamka ikut mengucapkan selamat atas ketegasan beliau. Tentunya keputusan yang dilakukan oleh Buya Hamka merupakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan Kharismatik. Meskipun apa yang dilakukan Buya Hamka tidak salah secara hukum, beliau tetap memutuskan untuk mengundurkan diri guna mencari jalan tengah. Berbeda dengan kebanyakan pemimpin saat ini yang enggan untuk mundur dari jabatan meskipun telah terbukti melakukan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Tipe Kepemimpinan Situasional, Konsultatif, dan Instruktif Buya Hamka
Tipe kepemimpinan situasional merupakan tipe kepemimpinan yang diprakarsai oleh Paul Hersey dan Kenneth H Blanchard. Tipe kepemimpinan situasional merupakan kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam rangka memberikan pengaruh kepada aktivitas orang yang dipimpinnya dalam mencapai tujuan organisasi berlandaskan pada situasi dan kondisi dari organisasi secara menyeluruh. Tipe kepemimpinan situasional sendiri terbagi menjadi empat, yaitu tipe instruktif, tipe konsultatif, tipe partisipatif, dan tipe delegatif. Penerapan tipe kepemimpinan situasional oleh Buya Hamka dapat terlihat ketika beliau menjabat sebagai ketua umum Yayasan Pesantren Islam (YPI). Buya Hamka pernah menjabat sebagai ketua umum Yayasan Pesantren Islam (YPI) mulai tahun 1976. Buya Hamka merupakan ketua umum generasi kedua setelah sebelumnya YPI dipimpin oleh Anwar Tjokroaminoto. Buya Hamka menjabat selama dua periode kepemimpinan mulai dari tahun 1976 hingga seharusnya selesai pada tahun 1983. Namun, sebelum masa kepemimpinannya habis, beliau terlebih dahulu berpulang ke hadapan yang maha kuasa pada tahun 1981. Selama masa kepemimpinan Buya Hamka, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam internal organisasi YPI. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh beberapa pengurus organisasi atas dana hibah yang diberikan oleh beberapa negara timur tengah.
ADVERTISEMENT
Hal itu bermula ketika terdapat bantuan dana hibah yang diberikan oleh beberapa negara timur tengah kepada YPI untuk kepentingan organisasi. Pada saat diberikan, ternyata dana tersebut malah disalahgunakan oleh beberapa pengurus YPI. Mereka tidak menggunakan dana yang ada untuk kepentingan organisasi, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi. Terdapat perselisihan pada internal organisasi dalam penyelesaian kasus yang sedang terjadi. Beberapa pihak ingin membawa kasus ini ke ranah hukum agar pelaku dapat segera dijebloskan kedalam penjara. Buya Hamka dengan kemampuan kepemimpinan situasionalnya menjadi penengah atas kasus yang sedang terjadi. Melalui cara konsultatif dan instruktif, Buya Hamka berkonsultasi kepada semua pihak yang terlibat guna melihat permasalahan secara komprehensif. Setelah mengerti inti permasalahannya, Buya Hamka memberikan instruksi kepada pelaku penyalahgunaan dana untuk mengembalikan dana hibah tersebut seperti sediakala. Setelah dikembalikan akhirnya masalah berhasil diselesaikan dengan baik. Cara ini dilakukan sebagai upaya Buya Hamka untuk menyelesaikan masalah sekaligus menjaga nama baik organisasi di mata publik.
ADVERTISEMENT
Tipe Kepemimpinan Visioner Buya Hamka
Tipe kepemimpinan menurut Robbin terdiri dari 4 tipe, salah satunya adalah tipe kepemimpinan visioner. Tipe kepemimpinan ini merupakan suatu cara pemimpin dalam menciptakan dan melaksanakan suatu visi dan misi suatu organisasi secara realistis, kredibel, dan konstruktif bagi perkembangan masa depan organisasi baik secara menyeluruh maupun hanya bagian tertentunya saja. Tipe kepemimpinan visioner dapat terlihat dari cara Buya Hamka mengembangkan Yayasan Pesantren Indonesia dengan visi menjadikan Masjid Agung Kebayoran sebagai pusat dakwah di Jakarta pada tahun 1953. Buya Hamka membuat beberapa program pengajaran agama Islam sebagai langkah dalam menjadikan Masjid Agung Kebayoran sebagai pusat dakwah. Beberapa program diantaranya adalah Kuliah Subuh, Pengajian Malam Selasa, Kajian Tasawuf, Pengajian Ibu-Ibu, dan lain sebagainya. Selain itu, Buya Hamka juga membangun sarana pendidikan berupa Sekolah Diniyah untuk menunjang pendidikan warga yang tidak mampu.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1953 sebenarnya Buya Hamka belum secara resmi menjadi anggota YPI. Namun, dengan berbagai visi dan misi yang diterapkan melalui kontribusinya mengembangkan Masjid Agung Kebayoran sebagai pusat dakwah di Jakarta, memperlihatkan bahwa Buya Hamka memiliki kemampuan kepemimpinan visioner. Hal ini memperjelas bahwa kemampuan kepemimpinan dapat dimiliki oleh siapapun bahkan bagi seseorang yang belum pernah menjadi pemimpin formal sekalipun. Maka dari itu, berkaca dari kemampuan Buya Hamka, kita harus bisa terus meningkatkan kemampuan kepemimpinan kita tanpa harus menjabat sebagai pemimpin formal terlebih dahulu di suatu organisasi. Karena pada dasarnya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri.
Tipe Kepemimpinan Democratic – Integrative Buya Hamka
Tipe kepemimpinan menurut R. K. Burns terdiri dari empat tipe kepemimpinan, salah satunya adalah tipe kepemimpinan Democratic-Integrative. Tipe kepemimpinan ini menekankan pada bentuk kerjasama yang terintegrasi antara atasan dan bawahan. Kepemimpinan tipe ini juga berusaha menciptakan motivasi setiap anggota organisasi untuk mendapatkan tujuannya baik tujuan individu maupun tujuan organisasi. Bentuk kepemimpinan ini juga berusaha menjaga hubungan baik antara atasan dan bawahan dengan cara give and take. Tipe kepemimpinan Democratic-Integrative terlihat jelas dimiliki oleh Buya Hamka. Hal ini dapat dilihat dari bentuk hubungan yang dimiliki oleh Buya Hamka dengan bawahan di berbagai organisasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyatanya adalah cara Buya Hamka memperlakukan marbot di Masjid Al-Azhar Jakarta. Pada tahun 1970 Buya Hamka mewakili YPI pernah memberikan hadiah berupa perjalanan haji kepada beberapa orang marbot. Hal ini dilakukan guna menerapkan cara give and take, karena marbot tersebut telah setia bekerja di masjid tersebut sejak tahun 1953. Bukti lainnya adalah cara Buya Hamka memperlakukan dua orang seniman yang menggambar kaligrafi di Masjid Al-Azhar. Dua orang seniman bernama Azhari dan Kausar asal medan dipekerjakan oleh Buya Hamka dengan tugas melukis kaligrafi pada dinding Masjid Al-Azhar lantai dua. Selama fase pengerjaan, mereka tidak meminta upah sedikitpun dan memilih untuk tinggal di masjid sampai pekerjaannya selesai. Melihat keikhlasan dua orang seniman tersebut. Buya Hamka mewakili YPI memberikan hadiah berupa perjalanan haji kepada dua orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Referensi
Hamka, I., Wisal, C., Santosa, M. I., & Andriyati. (2013). Ayah Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika.
Erlangga, F., Frinaldi, A., & Magriasti, L. (2014). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Paternalistik terhadap motivasi Kerja Pegawai Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kota Padang. Humanus, 12(2), 174. https://doi.org/10.24036/jh.v12i2.4037