Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dirgahayu Nyi Hajar Hajar Dewantara
14 September 2017 19:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Cublaksuweng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sang Ambuko Raras Pangesti Wiji
ADVERTISEMENT
(Di tengah netizen haru biru merayakan presiden perempuan pertama Singapura, hari ini Cublaksuweng main ke Pendopo Tamansiswa di Jalan Tamansiswa No. 8 Yogyakarta untuk ikut merayakan Ulang Tahun Nyi Hajar Dewantara. Tapi seribu tapi sebagian besar pengurus pendopo, museum, dan perpus tak ada yang ingat bahwa hari ini adalah ulang tahun orang terpenting kedua yang membuat mereka semua ada. Murid-murid sekolah Tamansiswa pun tak ada yang tahu. Jadi, terpaksa kami bikin sendiri perayaannya.
Ini kado untukmu, Ibu…)
Nyi Hajar Dewantara dilahirkan pada Selasa, 14 September 1890, bertepatan dengan 1 Sapar Tahun Ehe 1820 di Yogyakarta. Bernama lahir Raden Ajeng Sutartinah, darahnya biru, putri keenam dari Kanjeng Pangerah Haryo (KPH) Sosroningrat putra K.P.A.A Pakualam III. Ibunya bernama R.A.Y. Mutmainah yang setelah bersuami bernama B.R.A.Y. Sosroningrat putri dari K.R.T. Mertonegoro II.
ADVERTISEMENT
Nyi Hajar Dewantara berperan besar dalam mendorong Ki Hajar mengalihkan perjuangannya dari aktivis politik menjadi perintis pendidikan modern tanah air. Sebagai istri Ki Hajar Dewantara, ia penah mengalami pasang surut dan pahit getir perjuangan, baik di dalam bidang politik maupun bidang pendidikan.
Di Negeri Belanda
Sutartinah bukanlah perempuan yang takut marabahaya. Ia menyebut dirinya sebagai anak turun brandal Diponegoro dan melangsungkan pernikahan di akhir Agustus 1913 hanya untuk ikut mendampingi Suwardi Suryaningrat, nama muda Ki Hajar, yang bersama E.F.E. Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo (ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai) dalam pembuangan ke negeri Belanda hingga 1919.
Ikut sertanya Nyi Hajar dalam pengasingan di negeri Belanda, membuat Tiga Serangkai mendapat satu tambahan pejuang di negeri para penjajah itu. Meskipun statusnya hanya mengikuti suami, namun Nyi Hajar Dewantara tak pernah berpangku tangan melepaskan diri dari tanggung jawab ikut memikirkan bagaimana cita-cita perjuangan dapat diwujudkan dan bagaimana hidup harus dipertahakan.
ADVERTISEMENT
Untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga para buangan politik itu, Sutartinah bekerja di sebuah Frobel School (Taman Kanak-kanak) di Weimaar Den Haag. Keadaan ekonomi waktu itu sangat sulit karena Eropa dilanda suasana konflik yang kemudian berpuncak pada Perang Dunia I yang pecah pada 1914.
Lantaran penyakit asmanya yang kronis, Dr. Tjipto Mangunkusumo diizinkan oleh Pemerintah Kolonial untuk kembali ke Hindia-Belanda pada tahun 1914. Tinggallah Suwardi dan Douwes Dekker, yang masih ada di benua biru Eropa.
Suwardi dan Sutartinah mendirikan Indonesische Pers Partiy yang memberikan masukan berita kepada surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di tanah jajahan Hindia-Belanda. Selain itu, Indonesische Pers Partiy juga menerbitkan brosur-brosur dan tulisan mengenai Budi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lainlain.
ADVERTISEMENT
Berkat usaha Sutartinah dan Suwardi, terbukalah cara pandang dan pikiran orang Belanda tentang Hindia-Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu, sekaligus membuat golongan demokrat dan progresif mengecam kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda yang eksploitatif dan menyesengsarakan kaum inlander.
Keberhasilan Sutartinah dan Suwardi dalam memberikan cara pandang dan pikiran baru orang-orang Belanda berujung pada kemenangan golongan progresif dalam pemilu di negeri Belanda. Sebagai akibat kemenangan golongan progresif itu, maka gubernur Graaf van Limburg Stirum mengeluarkan keputusan membebaskan Dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker dari hukuman buangan. Keputusan itu sangat menggembirakan kaum pergerakan terutama Sutartinah sendiri. Sutartinah dan Suwardi kembali ke tanah air dan berlabuh di Jakarta (Batavia) pada akhir 1919.
ADVERTISEMENT
Inisiator Kongres Perempuan I
Sekembalinya di tanah air, kondisi politik dan situasi pada waktu itu ternyata tidak memungkinkan Tiga Serangkai untuk berjuang bersama lagi. Karenanya, mereka membubarkan ‘Indische Partij’. Sutartinah, dengan bantuan KH Ahmad Dahlan mampu membujuk Suwardi Suryaningrat untuk mengalihkan perjuangan di bidang pendidikan sebagaimana dulu mereka lihat reformasi pendidikan mampu mengguncang Eropa.
Berdirilah Taman Siswa pada 1922 dan Sutartinah melahirkan gerakan wanita Indonesia lewat ‘Wanita Taman Siswa’. Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasehat pemimpin umum. Selain membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina Taman Indria (Taman kanak-Kanak) dan Taman Muda Sekolah Dasar dalam perguruan Taman Siswa.
Ketika Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun pada tahun 1928, secara resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Kegiatan dalam organisasi wanita Taman Siswa semakin ditingkatkan. Dalam kedudukannya sebagai ketua, Nyi Hajar aktif menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan kaum wanita Nyi Hajar menemukan pasangan yang berfikiran sama yang ingin menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Nyi Hajar Dewantara terhimpunlah 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta.
Walaupun Nyi Hajar adalah pendiri dan pengambil inisiatif utama Kongres Perempuan Indonesia I, Ia hanya berkedudukan sebagai anggota biasa. Di dalam kongres Nyi Hajar mendapat kesepatan berpidato pada 23 Desember dalam penyampaian pokok-pokok pikiran kongres dengan judul ‘Adab Perempuan’.
ADVERTISEMENT
Sang Penguak Jaman
Pekerjaan sebagai guru Taman Siswa terus dijalani, digeluti, oleh Nyi Hajar Dewantara sampai Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonanasi “sekolah liar” dan menuntup kegiatan sekolah Taman Siswa. Oleh Pemerintah Kolonial, Taman Siswa dianggap Sekolah Liar.
Di mana ada penindasan, di situ ada perlawanan! Nyi Hajar dan Ki Hajar mengadakan perlawanan yang gigih atas kebijakan Penjajah itu. Jika Ki Hajar Dewantara dan Ki Suwardi mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan Bogor, Nyi Hajar dan para pemimpin Taman Siswa lainnya di Yogyakarta melancarkan ‘Gerilya Pendidikan’.
Di bawah arahan Nyi Hajar, guru Taman Siswa mendatangi setiap rumah rakyat untuk mengajar siswa-siswa di rumah masing-masing. Dalam hal seorang guru ditangkap karena tindakan mengajar itu, sukarelawan akan datang menggantikan tugas guru yang tertangkap. Dengan demikian, siswa dapat terus melanjutkan pendidikannya.
ADVERTISEMENT
Dengan aksi perlawana heroik itu, Taman Siswa mendapat simpati dari berbagai organisasi pergerakan. Berpuluh-puluh orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap menggantikan guru yang tertangkap dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap.
Gerilya Pendidikan Nyi Ahmad Dahlan ini mempunyai slogan “Patah tubuh hilang berganti. Patah satu tumbuh seribu”.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Nyi Hajar dikatakan sebagai pendamping setia dan teman seperjuangan Ki Hajar Dewantara. Hal ini kiranya benar juga apa yang pernah dikatakan Ki Hajar dalam peresmian Pendopo Agung Taman Siswa bahwa,
“Betapapun juga Nyi Hajar Dewantara ikut ‘ambuko raras pangesti wiji’ yang berarti ikut menguak zaman dan menebar benih kebajikan.”
Bahkan sebenarnya, di tangan Nyi Hajar lah Ki Hajar Dewantara menemukan takdir terbaiknya. Di depan Presiden Soekarno yang menghadiri pemberian gelar doktor bidang kebudayaan di UGM pada tahun 1957, Ki Hajar berkata,
ADVERTISEMENT
“Tanpa Nyi Hajar saya hanya akan jadi orang biasa yang tak punya peran apa-apa bagi bangsa ini.”
Setelah meninggalnya Ki Hajar pada tahun 1958, Nyi Hajar memimpin Taman Siswa sampai tahun 1970. Pada tahun 1960-an ikut mendirikan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa dan menjabat sebagai rektor pada tahun 1965. Pada 16 April 1971 Nyi Hajar meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih setelah menderita sakit beberapa hari. Ia meninggalkan 6 orang anak dan sejumlah cucu.
Atas jasa-jasa perjuangannya bagi bangsa dan negara Indoensia, Nyi Hajar ditetapkan sebagai pahlawan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Republik Indonesia dengan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.Pal. 52/61/PK/ tertanggal 16 April 1971. Atas jasanya membina Taman Siswa Nyi Hajar Dewantara mendapat penghargaan berupa anugerah tanda kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 017/Tk/1968 tertanggal 13 April 1968.
ADVERTISEMENT
Dirgahayu Nyi Hajar Dewantara. Cita-cita Bangsa Indonesia Terdidik, Adil, dan Makmur akan terus kami perjuangkan. Dalam kisahmu kita temukan makna sesungguhnya dari perempuan : mulia dan berilmu tinggi.
Oleh : Irsad Ade Irawan