Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menolak Jadi Hooligans Elit Politik
2 Oktober 2017 9:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Cublaksuweng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, disadari atau tidak, percakapan keseharian kita mengenai elit politik, sering didorong pada situasi hooliganisme di pertandingan sepakbola. Aku dukung si anu maka aku anti si ini. Runcing dan vis a vis dengan elit sebagai pusat dan kita adalah ia yang berani mati membela.
ADVERTISEMENT
Di Wikipedia dijelaskan, hooliganisme sepak bola merujuk pada apa yang secara luas dianggap sebagai perilaku nakal dan merusak oleh penggemar sepak bola yang terlalu bersemangat. Merusak mungkin tidak (atau belum?.) tapi lihatlah di dinding media sosial, semangat itu kentara dan kalau tidak hati-hati babi buta bisa membawa ke marabahaya.
Maka alarm musti dibunyikan - kriiiinggggg - karena ini sebabnya :Hooliganisme pada gilirannya menciptakan sebuah 'kepanikan moral yang melebihi proporsi’ dengan ‘skala masalah yang sebenarnya’. Seorang teman, mahasiswa ilmu politik yang cemerlang selalu mengingatkan,”dia politisi bung dan ini politik. Serius amat sih dukung mendukung?. Jangan naïf lah.” Eling lan waspada, kepanikan moral dan skala masalah musti sebanding, jangan berat sebelah.
ADVERTISEMENT
Saya sensi, tapi dengan semangat yang sama saat dukung mendukung menguasai seluruh kesadaran, ini saya bagi bel-bel kecil, alarm sederhana, yang dibagikan teman saya itu kepada saya.
1. Politik
Ada banyak pengertian politik, tapi ini salah satu yang bisa jadi alarm.
Harold Laswell mengatakan, “Politic is Who Gets What, When, How” atau Politik adalah Siapa Dapat Apa, Kapan, Bagaimana”.
Dalam politik praktis, persoalan politik selalu menyangkut siapa yang sedang mengejar apa, kapan dan bagaimana mereka meraihnya. Oleh karena itu, setiap tindakan dan pernyataan dari para Politisi ya jangan ditelan mentah-mentah.
Seperti Suweng yang Gelenteran di lagu kanak-kanak Cublaksuweng, di hadapan kata-kata yang bertebaran itu jangan sampai kita jadi Gudel (anak sapi) yang terpesona, tapi jadilah Pak Empong Lera-léré yang senyum-senyum saja karena kita tahu bahwa yang sebenarnya terjadi bukan apa yang disorong-sorongkan untuk kita lihat.
ADVERTISEMENT
Curigasionisme, apa-apa yang dikerjakan politisi layak untuk dicurigai. Bukan untuk menyusun pernyataan sok tahu sehingga terjebak pada teori-teori konspirasi tapi jangan terburu-buru like dan share. Diam dan mengingat, sebab Sir pong dhelé kopong yakni makna sejati hanya akan bisa ditemui dalam refleksi mendalam seperti kekosongan dalam sebuah biji kedelai : sunyi dan sendiri, hanya ada aku dan seluruh pelajaran.
2. Power Tends to Corrupt and Absolute Power Corrupts Abosolutely
Absolute Power Corrupts Abosulutely (Kekuatan absolut benar-benar korup) adalah kutipan paling terkenal dari politisi Inggris abad ke-19, Lord John Emerich Edward Dalberg Acton. Dia meminjam gagasan dari beberapa penulis lain yang sebelumnya mengungkapkan pemikiran yang sama dengan kata-kata yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Lord Acton, dikenal sebagai sejarawan dan moralis, mengemukakan pendapat ini dalam sebuah surat kepada Uskup Mandell Creighton pada tahun 1887:
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”
- Kekuasaan Cenderung Korup dan Kekuasaan yang Mutlak Sudah Pasti Korup. Orang-orang Hebat Hampir Selalu Orang Jahat -
Ibarat baju boleh berganti, dari baju model bangsawan menjadi baju model pejabat pemerintah, atau baju model pemuka agama, atau baju model wakil rakyat, atau baju aktor kualitas Oscar yang peduli rakyat, akan tetapi orang yang memakainya tidak banyak berbeda. Maka selalu ingatlah, yang paling penting adalah mempertahankan keseimbangan kekuasaan sebab “Kekuasaan akan selalu cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan”
ADVERTISEMENT
Miriam Budiarjo dalam buku “Aneka Pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa” mengemukakan adalah benar, siapa saja yang memegang kekuasaan dan bagaimanapun baiknya dijalankan, kekuasaan dijalankan untuk memaksakan kemauan orang lain.
Miriam mengutip Harold Laswell; kekuasaan tidak dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat. Maka dari hal-hal tersebutlah timbul beberapa gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan.
3. Hegemoni
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani kuno; hegemonika symmachia, yang artinya aliansi sejumlah negara kota di bawah satu negara dominan yang disebut hegemon. Istilah ini masuk dalam penggunaan umum dalam bahasa Inggris pada tahun 1840-an sehubungan dengan perebutan kekuasaan di Eropa, misalnya: "Macedonia melakukan hegemoni atas Yunani," dan "Prusia memiliki hegemoni di Eropa".
ADVERTISEMENT
Ahli politik Antonio Gramsci mengembangkan makna awal tersebut untuk merujuk pada dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain dalam masyarakat melalui hegemoni budaya. Gramsci membedakan dominasi yang diperoleh melalui cara-cara kekuasaan seperti senjata, uang, dan lembaga negara sementara Hegemoni beroperasi melalui aspek kesadaran seperti pendidikan, kebudayaan, dan agama.
Untuk tahu lebih banyak, bisa dilihat di karya Valeriano Ramos, Jr, yang berjudul The Concepts of Ideology, Hegemony, and Organic Intellectuals in Gramsci’s Marxism, yang diterbitkan di Jurnal Theoritical Review, No 27, 1982
Hendarto dalam bukunya “Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci: Dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan”, mendefinisikan Hegemoni sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense) dan wajib diikuti karena kalau tidak, pertaruhannya terlalu besar : hancurnya negara Pancasila atau antek komunis akan menghancurkan agama, misalnya.
ADVERTISEMENT
4. Populisme
Sesungguhnya tidak mudah untuk mendefinisikan populisme, namun beberapa ilmuwan sosial memiliki kesepakatan bahwa ciri umum populisme adalah sebagai ideologi politik yang menggunakan penggalangan massa untuk melawan elite, sebuah komunikasi politik yang berdasarkan pada pembedaan secara berlawanan antara rakyat biasa dengan elit yang ingin dijatuhkan.
Taggart, seorang ilmuwan sosial menyebutkan beberapa ciri dari populisme:
• Penggunaan jargon yang akrab dengan kehidupan sehari-hari rakyat
• Permusuhan terhadap politik demokrasi representatif
• Koneksi terhadap ide “tanah air”
• Ketiadaan nilai-nilai konkrit (abstrak semuwa!)
• Reaksi terhadap kondisi krisis
Bacaan lebih lanjut mengenai ciri-ciri Populisme dapat dilihat dari karya Mc Taggart yang berjudul Populism and Representative Politics in Contemporary Europe, yang diterbitkan Journal of Political Ideologies, Vol. 9, No. 3, 2004.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau ada elit menyorong-nyorongkan ‘Demokrasi,’ ‘Pancasila,’ atau ideology politik tertentu seperti Negara Islam atau Kerajaan Allah Tuhan Yesus di Muka Bumi, perhatikan sungguh-sungguh apakah pusatnya hanya di elit sang pembawa pesan atau benar-benar berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan sang penerima pesan. Kalau bingung, ingat lagi pengertian politik di nomor 1, Siapa Dapat Apa?.
5. Oligarki
Pakai Wikipedia sudah cukup jelas, ini defisini Oligarki (Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk "sedikit" (ὀλίγον óligon) dan "memerintah" (ἄρχω arkho).
ADVERTISEMENT
Faisal Basri mengatakan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional. Gampangnya, selalu perhatikan tingkah laku 100 orang terkaya Indonesia versi Forbes. Keluarga, perhatikan keluarga penguasa kehidupan politik tanah air, itu-itu saja bukan?. Dan Militer, bicara Indonesia tanpa melihat perilaku elit militer, tentu akan cenderung ngoyoworo.
Terakhir, perhatikan dinamika hubungan ketiganya. Kalau punya kabar, jangan lupa dibagi di Cublaksuweng. Atau mau nambahin konsep-konsep kunci yang bisa kita jadikan alarm bersama?. Ditunggu di kotak komentar atau inbox!.
Penulis : Irsad Ade Irawan
Editor : Leresing Karebet