Konten dari Pengguna

Buku: Penyelamat dari Kebencian

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
13 April 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi, bermakna kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan buku.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi, bermakna kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan buku.
ADVERTISEMENT
"Siapa yang bisa menemukan buku yang tepat, akan berada di tengah –tengah teman terbaik. Di sana kita akan berbaur dengan teman yang paling pintar, paling intelek, dan paling luhur; di sana kebanggaan serta keseluruhannya manusia bersemayam" (Joestin Gaarder, "The Magic Libary").
ADVERTISEMENT
Buku-buku menarik hati saya karena merekalah teman satu-satunya. Saya tidak tahu apakah saya bahagia atau tidak waktu itu; tapi setidaknya saya tahu setiap saya membalik halamannya yang menawan, saya pun lupa akan rasa lapar dan derita, dan itu menyelamatkan saya dari kebencian dan ketakutan" (Fernando Baez, "Penghancuran Buku-buku").

Kegetiran dalam Memperjuangkan Cita

Selepas lulus SMA, saya mempunyai tekad yang kuat untuk bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun, tekad saya tersebut terganjal oleh restu orang tua, lebih tepatnya ibu saya yang berulang kali mengatakan “Kenapa saya tidak seperti anak desa lainnya yang bahkan sejak selepas SMP sudah bisa bekerja dan mencari uang?”
Akan tetapi, saya memaklumi perkataan ibu saya tersebut, karena memang saat itu kondisi ekonomi keluarga yang sangat tidak baik, ibu saya hanya pedagang keliling kecil, dan bapak saya seorang buruh tani, di tambah lagi: kedua orang tua saya ini tidak berpendidikan sama sekali, ibu saya bahkan buta huruf.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi yang demikian, tidak lantas membuat saya menyerah. Saya belajar dengan sangat keras untuk dapat lolos tes tulis SBMPTN. Kira-kira sejak H-10 SBM sampai hari H-nya, saya bahkan menghabiskan waktu belajar kurang lebih 15 jam/hari. Tanpa sepengetahuan kedua orang tua saya, saya tetap mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi. Hingga akhirnya, berita bahagia itu datang: saya lolos di jurusan sejarah Universitas Padjadjaran dengan mendapatkan bidikmisi.
Saya langsung memberitahu kedua orang tua saya, bahwa saya bisa kuliah tanpa bayar sama sekali, bahkan saya mendapat uang saku dan uang buku. Ayah saya yang lebih moderat, teramat bangga kepada saya, terlebih lagi, sebenarnya ayah saya pun mempunyai cita-cita agar saya bisa berpendidikan tinggi, kalaupun sebelumnya (sebelum saya lolos ke Unpad dan mendapat bidikmisi) ayah saya nampak ragu untuk menanggapi keinganan saya berkuliah; semua itu karena terganjal biaya.
ADVERTISEMENT
Namun rasa haru dan kebahagiaan itu sempat diwarnai oleh rasa kesal dan amarah yang timbul dalam diri saya. Bagaimana tidak? keputusan saya untuk kuliah; mendapatkan banyak cemoohan, dari mulai teman-teman saya, tetangga bahkan keluarga dekat.
Pernah seseorang menyindir saya dengan berucap “Anak orang tidak punya, kuliah pun tidak akan jadi apa-apa”, bahkan pernah ada yang mengatakan, yang entah dia dalam keadaan sadar atau tidak, berucap “Kalau kau bisa kuliah sampai lulus, poges telinga saya”.
Rasa amarah saya semakin memuncak, ketika banyak orang-orang yang mempengaruhi ibu saya, agar saya tidak perlu kuliah, karena hanya akan menghabiskan uang, sementara katanya, ibu saya tidak punya modal apa-apa, tidak punya sawah dan sebagainya. Ibu saya pun sempat terpengaruh dan bersikeras melarang saya kuliah. Ibu bilang "Kita tidak punya apa-apa. Apa yang bisa kita jual untuk membiayaimu kuliah?" Saat itu, ibu saya sempat tidak percaya bahwa dengan bidikmisi, kita tidak membayar biaya semester dan malahan mendapat uang saku.
ADVERTISEMENT
Saya kira, pertama kali dalam hidup saya, semenjak saya dewasa, saya meneteskan air mata di depan kedua orang tua saya, pertama kali saya berani membantah orang tua, saya mengatakan
ADVERTISEMENT
Melihat keseriusan saya, akhirnya ibu saya memberikan restu, ditambah lagi, bagaimanapun perasaan seorang ibu kepada anak, pasti penuh rasa kasih dan mengharapkan yang terbaik. Tapi, biarpun begitu, saya berangkat ke Jatinangor tetap dengan rasa amarah yang luar biasa, berkali-kali dalam hati saya memaki-maki orang yang telah menghina saya dan impian saya, berkali-kali saya menghardik sebagian orang-orang di kampung saya, yang bahkan termasuk keluarga terdekat saya sendiri, yang berusaha menggagalkan impian saya dengan mempengaruhi ibu saya agar tidak mengizinkan saya kuliah.
Singkat cerita, Ibu saya akhirnya merestui saya dan mendukung saya sepenuh-penuhnya bahkan penuh dengan kasih ketika melihat ketulusan dan kesungguhan saya. Saya pun berangkat ke Jatinangor dengan rasa bangga sekaligus rasa amarah yang membara, terlebih ketika mengingat orang-orang kampung yang merendahkan cita-cita saya, melecehkan keinginan saya untuk kuliah, dan berusaha memengaruhi ibu saya agar saya tidak perlu kuliah.
ADVERTISEMENT

Amarah, Kebencian, dan Buku

Masalah keinginan saya untuk kuliah yang dilecehkan oleh banyak orang memang hanya menjadi puncak amarah saya (sebelumnya, tentu saya terbiasa diremehkan karena status sosial saya), kadang saya tidak habis pikir mengapa ada orang-orang yang tega yang berusaha memangkas cita-cita seorang anak muda? Saat itu, perasaan amarah dan bahkan "dendam" benar-benar menyelimuti batin saya.
Hingga beberapa saat kemudian, saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Richard Bach dengan judul Jonathan Livingstone Seagull, buku yang begitu menginspirasi saya, dan bahkan dapat menyelematkan saya dari kebencian. Jonathan Livingstone Seagull tersebut, dibahas juga dalam buku Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat yang ditulis oleh Stephen Palmquis, serta dibahas juga dalam buku Paideia yang ditulis oleh Setyo Wibowo. Buku ini sungguh menginspirasi saya dan dapat memberi pembelajaran yang sangat berharga.
ADVERTISEMENT
Dalam buku fiksi tersebut, dikisahkan ada seeokor burung Camar yang bernama Jonathan. Jonathan ini teramat berbeda dengan kawanan burung Camar pada umumnya. Jika burung Camar pada umumnya berpandangan bahwa terbang hanya untuk memenuhi kebutuhan perut semata, Jonathan berkeyakinan lain; bahwa keterampilan terbang harus diupayakan semaksimal mungkin untuk ilmu terbang sendiri dan tidak terbatas hanya sekadar untuk keperluan perut semata.
Akhirnya Jonathan pun giat untuk berlatih. Namun sayangnya, Jonathan mendapatkan hambatan dari lingkungan dekatnya, yakni ayah dan ibu Jonathan yang mengingatkan bahwa Jonathan hanyalah burung Camar biasa, Jonathan bukanlah elang, untuk itu tidak perlu berlatih terbang sedemikian rupa. Selain itu, komunitas Camar pun memandang aneh apa-apa yang dilakukan oleh Jonathan tersebut.
ADVERTISEMENT
Jonathan pun sempat menuruti ayah dan ibunya, namun di sisi lain, Jonathan tidak bisa menahan dorongan hatinya untuk kembali belajar terbang dengan giat “The subject was speed, and in a week’s practice he learned more about speed than the fastest gull alive”.
Jelas saja, kelakuan Jonathan mengundang cemoohan, karena Jonathan dianggap berbeda dengan camar lainnya dan sudah keluar dari tradisi. Hingga akhirnya, Jonathan dadili oleh para sepuh komunitas Camar tersebut, dan Jonathan pun harus menjalani hukuman dengan terusir dari komunitas Camar, karena apa yang dilakukannya dianggap dapat membahayakan kehidupan burung Camar.
Jonathan pun menerima keterbuangannya, tetapi ia masih sibuk berlatih. Singkat cerita, Jonathan didatangi oleh dua burung Camar, dan Jonathan heran, mengapa kedua burung Camar ini bisa meniru gerakan Jonathan dengan mudah bahkan mereka lebih hebat?
ADVERTISEMENT
Kedua burung Camar ini akhirnya membawa Jonathan ke sebuah tempat, di tempat itu, Jonathan pun menemukan banyak kawanan Camar lain yang ternyata mempunyai keinginan dan tekad yang sama seperti Jonathan. Di tempat itu, Jonathan pun menjalani pendidikan dan dibimbing oleh Guru Chiang.
Jonathan dikisahkan sebagai murid yang paling cerdas. Saat Jonathan sudah mencapai keterampilan terbang yang sempurna. Namun menurut Guru Chiang, ilmu Jonathan belum sempurna. Jonathan pun keheranan, mengapa gurunya bisa berkata demikian?
Akhirnya, Guru Chiang memberi penjelasan bahwa ilmu terbang yang paling tinggi, paling sempurna, dan paling susah tapi sekaligus membahagiakan adalah “kelembutan dan cinta”. Hingga suatu ketika, Guru Chiang menghilang dari kawanan dan Jonathan lah yang menjadi pendidik. Jonathan pun selalu merenungi ungkapan gurunya tersebut.
ADVERTISEMENT
Semakin Jonathan merenungi ungkapan gurunya, semakin ia merenungi makna cinta, justru membawa ingatan Jonathan kepada komunitas burung Camar yang dulu mengusir dan banyak di antara mereka yang mencemoohnya.
Akhirnya, Jonathan pun mengunjungi tempat lamanya tersebut. Ternyata, ada tujuh Camar muda yang bernasib sama seperti Jonathan dulu, terbuang, terusir dan menjadi bahan olok-olok karena tekad kuatnya untuk belajar terbang.
Jonathan pun mengajari mereka untuk berbesar hati menerima keterbuangan mereka. Di samping mengajari terbang, Jonathan pun menjelaskan bahwa mereka ditolak, dicemooh, dan dibuang karena kawanan Camar tidak mengerti. Jonathan mendidik 7 burung camar ini agar tidak membenci kawanan burung Camar yang telah mengusir mereka.
Jonathan mengatakan “Forgive them, and help them to understand”, “maafkanlah mereka, dan bantulah mereka untuk mengerti”.
ADVERTISEMENT
Mereka pun giat berlatih dan menunjukkan kepada kawanan camar bahwa sebenarnya burung camar bisa terbang lebih jauh dan lebih sempurna, hingga akhirnya, satu per satu burung camar dalam kawanan camar tersebut tertarik buat belajar terbang kepada Jonathan. Puncaknya, keajaiban itu datang, ribuan camar menyadari kalau mereka sebenarnya bisa melakukan hal lebih dan mereka pun tergugah untuk belajar dan menerobos apa yang sebelumnya mereka pikir sebagai “batas”.
Bagi saya, novel fiksi tersebut memberikan sebuah kesan yang teramat mendalam. Bahwa tidak selayaknya saya membenci mereka yang pernah mencemooh tekad saya yang ingin berpendidikan tinggi, tidak sepantasnya saya memusuhi mereka yang menghina karena saya mempunyai impian ingin bermanfaat bagi pembangunan bangsa atau bahkan kemanusiaan yang menurut keyakinan saya salah satu modal utamanya adalah pendidikan.
ADVERTISEMENT
Yang perlu saya lakukan adalah memaafkan mereka, karena semua itu terjadi karena ketidaktahuan mereka. Justru menjadi tugas saya untuk menyadarkan mereka; bahwa kita anak kampung yang terlahir dari keluarga sederhana pun bisa melakukan hal-hal lebih, tentunya dengan sikap, karakter yang kita tunjukkan dan kesuksesan-kesuksesan.
Bagi saya, buku bukan hanya dapat mempertajam kemampuan analisis teoretis dan sebagainya. Lebih dari itu, nilai-nilai keluhuran yang terdapat dalam buku, dapat mengajari saya bagaimana menjadi seorang anak manusia; yang tidak pembenci dan selalu mau untuk berbesar hati. Oleh sebab itu, buku sudah menjadi lebih dari sekedar sahabat. Sekali lagi, buku adalah penyelamat bagi saya dari rasa kebencian yang mungkin diam-diam mencoba merasuki batin saya.