Konten dari Pengguna

Gemuknya Kabinet Prabowo: Memuluskan Transaksi Politik di "Pasar Gelap"?

Cusdiawan
Wisudawan terbaik di Pascasarjana FISIP Unpad dengan IPK sempurna. Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP). Menulis di PMB BRIN, Mizan.com. Geotimes, Nuralwala, Masjid Jendral Sudirman dll.
24 Februari 2025 11:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Prabowo dan Jokowi (sumber gambar Presidenri.go.id, dalam https://www.presidenri.go.id/foto/prabowo-subianto-dan-gibran-rakabuming-raka-resmi-dilantik-sebagai-presiden-dan-wakil-presiden-ri/#gallery-8 )
zoom-in-whitePerbesar
Foto Prabowo dan Jokowi (sumber gambar Presidenri.go.id, dalam https://www.presidenri.go.id/foto/prabowo-subianto-dan-gibran-rakabuming-raka-resmi-dilantik-sebagai-presiden-dan-wakil-presiden-ri/#gallery-8 )
ADVERTISEMENT
Politics is the art of the possible adalah adagium yang sangat terkenal yang pernah diucapkan oleh Bismarck, Kanselir Kekaisaran Jerman abad 19. Adagium tersebut relevan untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia hari-hari ini, termasuk menyoal gemuknya kabinet Prabowo-Gibran. Hal utama yang paling disorot dari kabinet tersebut adalah jumlah kementerian yang dinilai terlalu banyak, yang setidaknya berimplikasi pada dua kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Pertama, yakni anggaran negara yang akan semakin boros. Namun pada sisi lain, adanya kementerian dan atau badan baru membuat kerja-kerja kementerian baru tersebut tidak bisa langsung efektif karena adanya proses administratif dan atau birokratisasi terkait penyesuaian.
Keduanya, dengan semakin banyaknya kementerian, maka yang diidealkan adalah kerja masing-masing kementerian atau badan lebih terfokus dan hal tersebut diandaikan bisa mengefektifkan kinerja pemerintahan, tapi dengan catatan jika ada koordinasi yang baik di antara masing-masing kementerian/ badan tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan serta pos-pos kementerian atau badan tersebut memang benar-benar diisi oleh orang-orang yang kompeten.
Namun, isu gemuknya postur kabinet Prabowo pun mengundang pertanyaan kritis dari benak sebagian publik, bukan hanya terkait ramuan komposisinya, tetapi juga kepentingan yang melandasinya. Hal inilah yang dielaborasi lebih lanjut.
ADVERTISEMENT

Struktur Oligarkis dan Politik Kartel: Masalah Utama dalam Politik Indonesia

Terlepas dari dua kemungkinan di atas, hal lain yang perlu menjadi sorotan tajam adalah kepentingan yang melandasi terkait postur dan komposisi dari kabinet tersebut. Sangat wajar bila kita menduga bahwa apa yang dilakukan oleh Prabowo, mengikuti pendahulunya, yakni Joko Widodo, yakni mengembangkan gaya akomodatif politik dan bahkan bisa disebut sebagai pola patronase yang pada tujuannya berupaya untuk melestarikan (dan atau mengefektifkan) kekuasaannya.
Singkat kata, gemuknya kabinet Prabowo bertujuan untuk membagi kue kekuasaan, dan ini bukan hanya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip good governance, tapi juga bisa semakin mengikis oposisi pemerintahan, yang padahal keberadaan oposisi harusnya menjadi keniscayaan dalam suatu rezim demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kita perlu ingat, bahwa gaya akomodatif politik, menurut sejumlah analisis, misalnya saja Aspinall dan kawan-kawan dalam The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation (2015) dapat menyebabkan demokrasi tidak berkembang, karena untuk mewujudkan stabilnya (dan atau efektivitas) roda pemerintahan, seorang aktor politik harus bersekutu dengan beragam elite lain, termasuk mereka yang agendanya tidak sejalan dengan demokrasi (illiberal).
Lalu, bagaimana kaitannya dengan adagium yang diucapkan oleh Bismarck di atas untuk menganalisis postur dan komposisi kabinet Prabowo? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mengutip lagi suatu adagium terkenal lainnya, bahwa dalam politik “tidak ada lawan dan kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Maka, tidak mengherankan bahwa meskipun aktor-aktor yang saat ini menempati posisi penting dalam kabinet dan mengharuskan mereka untuk saling bekerja sama, tapi di masa lalu memiliki catatan persaingan dan bahkan perselisihan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjelaskan fenomena tersebut yang memang sudah mengakar dalam politik Indonesia, ada dua tesis yang menarik untuk diperbincangkan. Pertama, yakni tesis dari perspektif struktural, yang melihat dari sifat relasi kekuasaan yang bekerja (oligarkis dan atau predatoris), sebagaimana yang dirumuskan oleh Vedi Hadiz dan Richard Robison dalam Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (2004). Keduanya, tesis kartel sebagaimana yang dirumuskan oleh Kuskridho Ambardi dalam Mengungkap Politik Kartel (2009).
Kedua tesis di atas memiliki kekuatan tersendiri untuk menjelaskan mengapa tata kelola pemerintahan yang baik sulit terwujud. Kedua tesis di atas, meskipun memiliki perbedaan, tapi bila saya parafrasekan, titik temu keduanya adalah bagaimana praktik perburuan rente, mengakses sumber daya materil, yang bila perlu menggunakan instrumen negara begitu mengakar dan menyejarah dalam politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, instrumen politik justru bekerja untuk kepentingan private yang dalam hal ini adalah akumulasi kapital. Maka besar kemungkinannya bahwa meskipun elite-elite politik yang hari ini menjadi menteri tapi di masa lalu memiliki rekam jejak berseteru, kecil kemungkinan konfliknya akan terus berlanjut dengan catatan jika transaksi di antara mereka untuk mengamankan sumber-sumber materil dan mengakses lembaga negara untuk menjamin hal tersebut terjalin secara lancar. Artinya ada “kepentingan” (untuk “menjarah”, memburu rente sumber daya negara ataupun kekuasaan) yang sama di antara mereka).
Namun, bila yang terjadi adalah hal sebaliknya (tidak terjadi titik temu di antara kepentingan mereka), maka faksionalisme (menguatnya konflik antar faksi politik) dalam kabinet, besar kemungkinan akan terjadi. Memang menjadi ironis, struktur yang oligarkis dan kartelisasi politik menjadikan politik yang harusnya “yang publik” (kebaikan bersama) menjadi sarana untuk memuluskan kepentingan “yang private”. Ironisnya lagi, politik yang harusnya didasarkan pada diskursus (kekuatan argumentasi) menjadi “transaksi di pasar gelap”.
ADVERTISEMENT

Pertarungan Antar Faksi Politik, Mungkinkah?

Dua masalah umum (struktur oligarkis dan politik kartel) yang diuraikan di atas, memang sudah lama menjadi penyakit dalam politik Indonesia. Lalu yang jadi pertanyaan menarik selanjutnya, adakah kemungkinan yang bersifat khusus yang dalam hal ini melibatkan aktor-aktor politik dalam pemerintahan Prabowo yang kemungkinan akan memperlihatkan faksi yang saling bertentangan? Jika iya, siapa faksi yang dimaksud?
Penulis melihat bahwa segala kemungkinan dalam politik bisa terjadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bismarck di atas, termasuk menguatnya faksionalisasi dalam kabinet. Kita perlu ingat, sebagian menteri yang saat ini menjabat (dan pejabat tinggi di lembaga lainnya, seperti di kepolisian) adalah orang-orang kepercayaannya Joko Widodo, yang jika Jokowi dan orang-orang kepercayaannya ini memiliki agenda politik yang berbeda dengan Prabowo, termasuk salah satunya dalam menghadapi pilpres yang akan datang, maka besar kemungkinan faksionalisasi (kubu yang menjadi loyalis Jokowi di satu sisi dan kubu yang menjadi loyalis atau lebih pro kepada gerbongnya Prabowo pada sisi lain) akan menguat.
ADVERTISEMENT
Dan bila faksionalisasi menguat, maka jelas akan merugikan kinerja pemerintahan Prabowo itu sendiri yang sebenarnya memiliki target-target yang luar biasa.