Konten dari Pengguna

Hannah Arendt dan Upaya dalam Melawan Pembusukan Term Politik

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
20 Oktober 2024 4:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The Human Conditition adalah karya Hannah Arendt yang bisa kita rujuk untuk memahami pemikiran Arendt terutama mengenai apa itu politik yang autentik (Dok. Pribadi penulis).
zoom-in-whitePerbesar
The Human Conditition adalah karya Hannah Arendt yang bisa kita rujuk untuk memahami pemikiran Arendt terutama mengenai apa itu politik yang autentik (Dok. Pribadi penulis).
ADVERTISEMENT
Hannah Arendt adalah salah satu pemikir politik terpenting di era modern. Pemikir kelahiran Jerman 1906 yang kemudian menempuh studi di Marburg, Freiburg, dan Heidelberg ini dikenal begitu produktif. Karya-karyanya, antara lain: Men in Dark Times, Crises of the Republic, The Origin of Totalitarianism, The Human Condition dan sebagainya. Salah satu hal yang menarik dari pemikiran Arendt untuk diperbincangkan adalah pemaknaannya mengenai “Apa itu politik?” yang menurut hemat penulis sangat penting diletakkan dalam konteks kepolitikan di Indonesia yang mana makna dan praktik politik tersebut sudah mengalami banyak distorsi dan pembusukan.
ADVERTISEMENT
Politik yang Autentik
Politik sering dipahami dengan pemaknaan kekuasaan, pihak yang satu bisa mendominasi pihak yang lain, pengejaran-pengejaran kepentingan pribadi. Secara umumnya, dalam arti peyoratif, politik bahkan diidentikan dengan praktik-praktik yang kotor. Hannah Arendt kemudian men-coba menggalih otentisitas dari apa itu politik dengan perenungan filosofisnya, dan mengab-straksikan pengertian politik dalam tataran idealnya. Dengan kata lain, Arendt berusaha untuk menemukan makna “politik yang autentik”.
Pertama-tama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Sudibyo dalam Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt (2012), dengan melakukan pembacaan atas teks-teks klasik Yunani kuno, Arendt melakukan pembedaan antara oikos (ruang privat) dan polis (ruang publik).
Di dalam oikos, terdapat eksploitasi, pengejaran kepentingan privat (ekonomi) dan sebagainya. Sementara itu, di dalam polis, merupakan medium penampakan diri dan interaksi antar warga, di mana tindakan dan ucapan dimaksudkan untuk kepentingan hidup bersama. Apa yang diandaikan dalam kehidupan polis adalah kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Kata polis inilah, atau dengan kata lain, kehidupan di dalam polis inilah yang kemudian disebut sebagai hubungan yang bersifat politis, sementara hubungan di dalam oikos bersifat apolitis. Garis damarkrasi antara ruang privat dan ruang publik ini penting bagi Arendt untuk menghindarkan politik dari intervensi hubungan yang bersifat privat.
Dengan demikian bila mengacu pada pandangan Arendt, apa yang disebut sebagai “pemerintahan” pun belum tentu dikatakan bersifat politik, dan bisa saja “pemerintahan” sekalipun masih dalam keadaan prapolitis dan bahkan apolitis. Politik baru terlaksana ketika terwujud koeksistensi individu-individu yang setara dan bertindak bersama-sama dalam ruang publik.
Dalam The Human Condition (1959), Arendt menegaskan bahwa politik merupakan “ke-bersamaan dalam keberagaman”. Dengan demikian, tindakan politik, harus didasarkan pada common good (kehidupan baik bersama). Sebab itu, apa yang disebut sebagai tindakan politik mengandaikan penerimaan atas pluralitas, dan harus mampu meminggirkan kepentingan privat guna mewujudkan kehidupan baik bersama.
ADVERTISEMENT
Menurut Maurizio Passerin d’Enteves dalam Filsafat Politik Hannah Arendt (2003), Arendt sendiri dalam mengonsepsikan politik, lebih didasarkan pada gagasan active citizenship (kewarganegaraan aktif), yakni pada nilai dan arti penting civic engagement (keterlibatan warga negara) dan collective deliberation (penilaian kolektif) tentang pelbagai persoalan yang memengaruhi komunitas politik dan hajat hidup orang banyak.
Tentu saja, kesemua itu tidak dapat terwujud jika tidak ada kebebasan. Dengan demikian, Arendt pun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Sudibyo (2012), berkesimpulan bahwa makna politik adalah kebebasan. Politik adalah kebebasan dari hubungan yang bersifat despotik, dominatif dan semacamnya, serta kebebasan untuk tampil secara autentik dalam ruang kebersamaan warga. Dengan demikian, politik terjadi melalui tindakan politis dalam ruang publik.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Arendt, apa yang disebut sebagai manusia politik, merujuk kepada kapasitas bertindak dan berbicara di ruang publik pluralistik. Dengan demikian, gagasan Arendt, menekankan warga sebagai pusat dalam kehidupan politik, dengan mengandaikan warga sebagai agen politik, yang mempunyai kapasitas untuk melakukan deliberasi ataupun penilaian politis, tentunya dalam tindakan bersama dalam keberagaman untuk mewujudkan kehidupan baik bersama. Itulah pemaknaan politik yang otentik dalam kacamata Hannah Arendt.
Hambatan Mengembangkan “Politik Autentik”: Refleksi atas Politik Indonesia
Politik otentik dalam perspektif Arendt, mengandaikan adanya rigiditas antara “yang publik” dan “yang privat”. Sementara itu, dalam konteks politik Indonesia, kerapkali yang mendominasi “praktik politik” adalah pengejaran kepentingan-kepentingan privat (pribadi), seperti penguas-aan sumber daya materi dan sebagainya. Sehingga yang terjadi, yakni dominasi oligarki dalam kehidupan politik, atau bila mengacu pada teori lain, yakni suburnya praktik politik kartel.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut, jelas dapat menjadi hambatan warganegara untuk menjadi agen politik dan pusat dalam kehidupan politik. Apa yang menyangkut “kehidupan orang banyak”, bukan ditentukan oleh tindakan politis warga, melainkan oleh segelintir elite. Dan terang saja, fenomena tersebut menghambat apa yang disebut oleh Arendt sebagai ‘tindakan politis’, yang seharusnya mendasarkan pada tindakan warga dalam “kebersamaan dalam keberagaman” untuk mewujudkan common good.
Hal lain yang menghambat terwujudnya politik autentik, yakni dari warga negara itu sendiri. Tindakan dalam ruang publik, acap kali masih diwarnai dengan sentimen-sentimen primordial. Dengan kalimat lain, kita masih dapat menjumpai tindakan warga dalam ruang publik yang di-dasarkan pada kepentingan privatnya (seperti kepentingan kelompok). Hal inilah yang juga dapat menjadi hambatan terpancarnya virtue dalam ruang publik politik.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang baru-baru ini sangat meresahkan juga yakni upaya segelintir elite yang diduga berupaya memanipulasi konstitusi untuk memuluskan hasrat kuasa pribadi dan melanggengkan praktik dominasi dalam politik, yang menciderai politik sebagai penggunaan akal budi karena titik berangkat dalam prosesnya adalah ikatan darah atau kekerabatan dan ikatan darah atau kekerabatan inilah juga yang menjadi “nilai jualnya”.
Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa term politik mengalami krisis yang semakin parah dan bahkan pembusukan, dan pangkal utama masalahnya yang juga menjadi masalah umum dalam politik modern, yang juga mengutip Arendt dalam The Human Condition adalah semakin kaburnya batas antara oikos dan polis. Sebab itulah dengan mengetengahkan Arendt adalah bagian dari upaya untuk melawan pembusukan tersebut dan mengembalikan term politik dalam pemaknaan aslinya, dan jelas diperlukan revitalisasi republikanisme. Dalam upaya tersebut yang diandaikan menjadi agen adalah demos itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, politik harus dikembalikan pada gagasan active citizenship (kewarganegaraan aktif), yakni pada nilai dan arti penting civic engagement (keterlibatan warga negara) dan collective deliberation (penilaian kolektif) tentang pelbagai persoalan yang memengaruhi komunitas politik dan hajat hidup orang banyak. Pemaknaan tersebut sejalan juga dengan pengertian demokrasi yang sederhana, yang juga diidealisasikan oleh para pendiri bangsa kita, yaitu “kedaulatan rakyat”.