Konten dari Pengguna

Hatta dan Cita-cita Historis Indonesia Merdeka: Refleksi 79 Tahun Usia Republik

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
18 Agustus 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta.
 Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Hatta adalah salah satu intelektual terbesar dalam sejarah republik ini. Pengalamannya dalam menyaksikan dan merasakan hidup dalam rezim kolonial yang eksploitatif kemudian menginspirasinya untuk memperjuangkan sebuah negara-bangsa yang merdeka.
ADVERTISEMENT
Lalu yang jadi pertanyaan kemudian, negara bangsa seperti apa yang dicita-citakan oleh Hatta untuk mengisi kemerdekaan tersebut? Mendiskusikan hal ini sangat penting sebagai bahan refleksi kita dan sebagai pengingat apa yang menjadi cita-cita historis republik ini.
Dalam buku Membangun Ekonomi Indonesia (1985), yang diimpikan oleh seorang Hatta adalah sebuah negara hukum demokratis berbentuk republik dan berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Apa yang dicita-citakan Hatta tersebut juga menghiasi kalbu banyak tokoh pergerakan nasional lainnya.

Implikasi dari Term Kedaulatan Rakyat

Term kedaulatan rakyat ini menjadi salah satu kosakata penting dalam pemikiran dan imajinasi politik seorang Hatta. Term kedaulatan rakyat mengandung implikasi bahwa rakyat harus menjadi subjek politik. Itu artinya, pemerintahan yang berjalan tidak bisa bertindak dan atau bergerak berdasarkan rasionalitas dan atau kepentingannya sendiri, melainkan harus mencerminkan kehendak umum yang pada pangkalnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam proses untuk mewujudkan kesejahteraan umum tersebut, rakyat harus terlibat aktif dan keterlibatannya ini harus didasarkan juga pada akal budi.
Poin penting lainnya menyangkut apa yang menjadi titik berdiri Hatta, bahwa keterlibatan rakyat dalam politik harus menyertakan juga sebuah rasa tanggung jawab, termasuk dalam menjaga demokrasi. Demokrasi harus menjadi arena pengujian akal budi, yang mana tiap warga negara bisa saling bercengkrama untuk membincangkan apa-apa yang menjadi masalah umum guna menghadirkan apa-apa yang baik bagi kemaslahatan umum.
Dalam hemat penulis, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi di sini sebagai implikasi dari pandangan Hatta, bahwa Tindakan politik harus didasarkan pada akal budi, juga diarahkan bagi kehidupan baik bersama. Itu artinya, politik dan demokrasi bukanlah arena untuk mengejar kepentingan-kepentingan private (seperti dominasi kekuasaan keluarga, akumulasi kapital), dan kepentingan private tidak boleh mengintervensi apa yang menjadi kepentingan publik. Dengan kata lain, Hatta pun menekankan pentingnya rigiditas antara apa yang private dan yang publik.
ADVERTISEMENT
Bila kita jujur, dunia politik kita sudah lama mengalami penyimpangan, distorisi dan disorientasi, dan sangat jauh dari cita-cita historis berdirinya republik ini. Politik seakan hanya menjadi urusan kekuasaan, arena pengejaran kepentingan private dan sebagainya. Sering kali, pemerintah dan elite lainnya berjalan dengan rasionalitas dan atau kepentingannya sendiri sehingga kedaulatan rakyat hanya terjadi di bilik suara dan menjadi objek politik 5 tahunan semata.
Ada banyak contoh yang menggambarkan masalah tersebut, salah satunya proses politik yang melahirkan kebijakan pembangunan yang sarat akan kepentingan private seperti kepentingan korporat dalam mengakumulasikan kapital yang disokong oleh negara dan hal tersebut justru semakin memarjinalisasikan masyarakat setempat.
Dengan kata lain, proses politik justru meminggirkan rakyat sebagai subjek politik, yang alih-alih dalam prosesnya menekankan pada deliberasi guna menjawab kebutuhan masyarakat, yang terjadi justru sering kali semakin memarjinalisasikan masyarakat yang rentan. Politik sebagaimana yang diimajinasikan oleh Hatta pun semakin kehilangan makna otentiknya.
ADVERTISEMENT
Penting untuk digarisbawahi, bahwa term kedaulatan rakyat bukan hanya dalam politik, tapi juga ekonomi. Apa yang dikehendaki oleh tokoh pergerakan nasional terutama Hatta untuk mengisi kemerdekaan adalah sistem ekonomi yang berlandaskan pada kerakyatan. Dengan demikian, demokrasi politik dan ekonomi harus berjalan dalam satu tarikan napas.
Adapun ekonomi kerakyatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sritua Arief dalam Indonesia Tanah Air Beta (2001) adalah perekonomian yang bertumpu pada etika sosial kerakyatan yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi harus menempatkan komposisi dan isi output yang tumbuh dengan memprioritaskan kebutuhan rakyat banyak dan dilakukan oleh rakyat banyak. Salah satu contoh aplikatifnya adalah dengan tidak mengabaikan industri padat karya karena mencerminkan keterlibatan massal dalam proses produksi, serta produksi nasional yang mendominasi haruslah barang-barang kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam ekonomi kerakyatan yang juga berpijak pada strukturalis-neostrukturalis mengharuskan adanya transformasi sosial, terlebih bagi negara yang terkungkung pada feodalisme dan bekas koloni. Dalam konteks ini, keberpihakan terhadap golongan miskin dan marjinal mutlak diperlukan, karena akses mereka yang terbatas terhadap kekuatan politik dan mustahil bagi mereka untuk bersaing dalam kompetisi terhadap sumber-sumber pembiayaan maupun materil lainnya.
Dengan kata lain, jika tidak ada kebijakan yang melindungi rakyat miskin dan rakyat kebanyakan ini, maka secara mutlak sumber-sumber materil akan lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat dan yang terjadi selanjutnya adalah pemupukan kekayaan dan penguasaan sumber daya materil yang semakin besar di tangan segelintir elite.

Penyimpangan terhadap Ekonomi Kerakyatan

Pada akhir tahun 1973, Hatta menulis Modal Asing yang menyoroti secara tajam penyimpangan yang semakin nyata terhadap Pasal 33 ayat 3. Hatta mengkritik liberalisme ekonomi yang dilakukan pemerintah Orde Baru yang saat itu disokong oleh para ekonom lulusan Amerika.
ADVERTISEMENT
Hatta melihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan kerusakan akibat eksploitasi asing, salah satunya pihak Jepang, ditambah kondisi pengusaha Indonesia secara umumnya yang belum siap bersaing dengan pengusaha Tionghoa, dan realitas yang menunjukkan bahwa pengusaha-pengusaha yang dekat dan atau berada di pemerintahanlah yang lebih banyak mendapat keuntungan. Dampaknya, kesenjangan antar kelas sosial semakin meningkat.
Menurut hemat penulis, ketidaksetetujuan Hatta jelas didasarkan pada pembacaannya yang jeli atas realitas yang disokong oleh tataran paradigmatik. Hatta mengidealkan sebuah sistem ekonomi kerakyatan, artinya rakyatlah yang menjadi subjek ekonomi dan negara harus menjamin hal tersebut.
Sementara liberalisme ekonomi, pasar-lah yang mengatur dan menjadi penentu ekonomi, yang dalam praktiknya menghadirkan kesenjangan karena faktanya setiap orang yang datang ke pasar tidak dalam keadaan setara dan atau dengan kata lain memiliki sumber daya yang berbeda-beda, sehingga mereka yang lebih memiliki kapital berpotensi untuk mengeksploitasi dan atau menguasai pihak lain, dan akibatnya ketidaksetaraan ekonomi akan terlihat semakin nyata. Dari sinilah kita bisa lihat pendirian Hatta yang konsisten sejak era pergerakan nasional hingga Orde Baru, yakni anti terhadap kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Namun, yang perlu segera ditambahkan. Dalam kasus Indonesia, kapitalisme yang berkembang memang tidak sepenuhnya pasar bebas sebagai yang diiteorisasikan oleh Adam Smith, karena akumulasi kapital terjadi bukan semata karena adanya pasar bebas, dan faktanya pasar memang bukan area yang netral, melainkan ada sokongan dari elite penguasa.
Itu artinya, relasi antara penguasa dengan pengusaha atau pemodal (kapital) inilah yang menyebabkan kepentingan private mereka lebih terkondisikan dan fenomena tersebut disebut oleh ahli, seperti Helen Hughes dalam Crony Capitalism (1999) sebagai kapitalisme kroni.
Hatta sendiri dalam berbagai tulisan dan atau pidatonya menyoroti secara tajam pemerintahan Orde Baru, dengan merujuk pada istilah dari Sombart, menyebutnya sebagai “kapitalisme muda”, dan Hatta menggugat tumbuhnya kelas pemupuk rente. Kelas tersebut bisa disebut juga sebagai kapitalisme rampok.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, setelah 26 tahun tumbangnya Orde Baru, hubungan ekonomi politik yang mencerminkan kondisi struktural sebagaimana yang disorot oleh Hatta masih bertahan hingga kini. Pembedanya, para elite tersebut beradaptasi dengan sistem demokrasi.
Sebagai penutup, bahkan bila kita jujur di bulan kemerdekaan ini, bahwa 79 tahun usia republik ini namun kita masih belum berhasil mengisi kemerdekaan dengan cita-cita historis para pendiri bangsa dan semangat konstitusi terutama yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan sebagai fondasi paradigma dan praktik pembangunan kita.
Hal tersebut bisa terlihat dari pemaparan Jeffrey Winters dalam Reflections on Oligarchy, Democracy, and the rule of law in Indonesia (2021), bahwa kekuatan-kekuatan segelintir elite (oligark) yang menguasai kekayaan materil yang sudah membesar pada 2010, justru meningkat secara tajam pada satu dekade sesudahnya (2020).
ADVERTISEMENT
Winters memaparkan bahwa para oligarki tersebut memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan dibanding warga negara rata-rata pada 2010, dan kini menjadi 759.420 kali. Artinya, terjadi peningkatan 33 persen.
Data yang dipaparkan Winters tadi menunjukkan bahwa terjadi konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elite, dan jelas saja salah satu sumbernya adalah kekayaan alam yang seharusnya dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat sebanyak-banyaknya sebagaimana perintah konstitusi. Penyimpangan terhadap Pasal 33 ayat 3 yang di dalamnya mengandung cita-cita historis pendiri bangsa mengenai ekonomi kerakyatan pun semakin menunjukkan penyimpangan yang jauh.