Konten dari Pengguna

IKN dan Kegelisahan Andrinof Chaniago

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
2 Juli 2024 15:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Titik Nol Nusantara di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (5/7). Foto: Alfadillah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Titik Nol Nusantara di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (5/7). Foto: Alfadillah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
IKN adalah salah satu kebijakan Jokowi yang paling kontroversial. Bagi pihak yang kontra terhadap IKN, IKN dianggap sebagai kebijakan yang ugal-ugalan, tanpa proses teknokrasi yang matang, dan hanya akan menghabiskan banyak anggaran. Sementara bagi pihak yang mendukung IKN, kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan yang progresif dan langkah yang berani dari pemerintah Jokowi untuk memangkas ketimpangan antar wilayah (Jawa dan non-Jawa) guna menghadirkan apa yang disebut sebagai Indonesiasentris.
ADVERTISEMENT
Uniknya, orang yang disebut sebagai penggagas IKN, yakni Andrinof Chaniago, seorang Pengajar Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik Universitas Indonesia, yang juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pertama di era Jokowi, justru menyuarakan kegelisahannya juga soal perkembangan IKN mutakhir. Andrinof nampak begitu mengkhawatirkan pembangunan IKN akan melenceng dari gagasan dan filosofi awal.

IKN Menuju Penyimpangan?

Membedah gagasan awal IKN sangat penting untuk menilai perkembangan mutakhir apakah kebijakan tersebut sesuai dengan paradigma awal dan perencanaan, atau sebaliknya, mengalami pergeseran dan bahkan penyimpangan. Dan untuk melihat gagasan awal IKN, nama Andrinof jelas tidak bisa dipinggirkan.
Penting untuk diketahui, bahwa Andrinof adalah Koordinator Tim Visi Indonesia 2033 yang sejak era pemerintahan SBY aktif menyuarakan pindah ibu kota ke Kalimantan. Andrinof dikenal sebagai tokoh yang berperan penting atas melejitnya karier politik Jokowi, dan sejak Jokowi masih berkantor di Balai Kota Jakarta, Andrinof sudah menitipkan naskah perpindahan ibu kota kepada Jokowi yang saat itu akan dilantik sebagai Presiden RI.
ADVERTISEMENT
Jokowi yang saat itu sudah merasakan menjadi pemimpin Jakarta dan bagaimana kompleksnya masalah Jakarta pun menyambut baik dan memilki banyak kesamaan pemikiran dengan Andrinof.
Namun belakangan, Andrinof justru aktif menyuarakan kegelisahannya mengenai perkembangan IKN. Kegelisahannya tersebut didasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, pembangunan IKN ditujukan untuk membuat sebuah kota baru, yakni sebuah kota publik. Konsep kota publik ini nampak tidak diresapi dengan baik oleh pemerintah, sehingga dalam banyak kesempatan, pemerintah nampak mencoba untuk menarik investasi swasta sebanyak-banyaknya.
Sementara itu, logika swasta jelas didasarkan pada kepentingan private untuk akumulasi kapital, dan atau dengan kata lain, logika untuk kepentingan bisnis “untung-rugi”. Jika yang terjadi adalah dominasi investasi swasta, maka hal itu akan merusak makna “kota publik” itu sendiri. Dan kita hanya akan mengulangi pola pembangunan perkotaan di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Jika yang terjadi justru mengandalkan investasi swasta, maka bukan tidak mungkin juga, manfaat pembangunan kota yang alih-alih bisa dinikmati oleh publik atau masyarakat secara luas, justru dipersempit karena yang lebih banyak diuntungkan dari manfaat pembangunan tersebut adalah para pemilik modal.
Bagi Andrinof, menggembor-gemborkan investasi bukan langkah yang tepat dan tidak diperlukan. Bukan untuk anti terhadap investasi, tetapi meletakkan investasi secara terukur dan tepat. Bagaimanapun, pembangunan IKN harus mengandalkan APBN, terutama untuk infrastuktur inti dan strategis, dan investasi bisa masuk untuk melengkapi keperluan kota.
Terlebih lagi, menggembor-gemborkan investasi pun bukan sesuatu yang urgen bila kita kembalikan pada rencana pembangunan IKN itu sendiri. Kita perlu ingat bahwa IKN adalah pembangunan jangka panjang yang dilakukan secara bertahap.
ADVERTISEMENT
Proyek tersebut direncanakan berlangsung sampai tahun 2045, sehingga dengan anggaran yang diproyeksikan mencapai kurang lebih 400-500 triliun sesungguhnya tidak terlalu memberatkan APBN. Tapi sekali lagi, dengan catatan jika skemanya konsisten dengan rancangan. Kita bisa membagi anggaran 400-500 triliun tersebut selama 25 tahun, maka rata-rata dana per tahun yang akan digunakan kisaran 18-20 triliun.
Namun, bila menyimpang dari skema awal dan pembangunan IKN dilakukan secara tergesa-gesa, terburu-buru, maka jelas akan memberatkan kemampuan fiskal kita dan yang terjadi adalah kita mengejar investor sebanyak-banyaknya. Dan apa yang menggelisahkan seorang Andrinof adalah perkembangan IKN yang menunjukkan menyimpang dari gagasan dan skema awal.
Foto penulis dengan Andrinof Chaniago (dokumen pribadi).
Bagi penulis pribadi, kegelisahan Andrinof jelas sangat beralasan, terlebih ia adalah seorang akademisi ekonomi politik. Suara kegelisahannya barangkali adalah bagian dari upayanya untuk mencegah apa yang disebut oleh Marcur Olson dalam "The Rise and Decline of Nations" (1984) sebagai distributional coalition di antara penguasa dan pengusaha yang dalam konteks ini dapat menyebabkan pembangunan menjadi disetir mengikuti selera pengusaha dan yang terjadi selanjutnya kebijakan tersebut menjadi sarana untuk akumulasi kapital. Dalam relasi tersebut mustahil juga untuk mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, bila yang terjadi demikian, maka kebijakan tersebut akan semakin kehilangan legitimasinya, karena yang terjadi selanjutnya adalah kecurigaan publik yang semakin menguat bahwa kebijakan tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan segelintir elite dan negara hanya menjadi perpanjangan tangan kaum pemodal. Cita-cita bahwa negara ini mampu membangun kota publik sendiri pun akan dipastikan gagal.
Andrinof pun menduga mundurnya otorita IKN yang dikenalnya sebagai professional yang memiliki reputasi mentereng pun imbas dari pergeseran (jika tidak dikatakan penyimpangan) dari skema awal IKN, salah satunya karena otorita yang diberikan beban lebih seperti menarik investor-investor besar yang jelas sulit dilakukan.
Padahal, jika kita sudah terbukti berhasil membangun suatu kota publik, atau sekurang-kurangnya dalam proses pembangunannya menunjukkan progres, maka investasi-investasi akan menyusul dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Keresahan lainnya dari seorang Andrinof adalah penataan Jakarta pasca tidak menjadi ibu kota. Bagi Andrinof, infrastuktur-infrastuktur pemerintah yang tidak akan digunakan lagi nantinya harus dipilah-pilah mana yang sekiranya bisa dialihfungsikan untuk pembangunan rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah, kemudian membangun ruang terbuka hijau dan sebagainya, dan mana yang harus dipertahankan untuk kepentingan heritage.
Sehingga dengan langkah yang demikian, diharapkan Jakarta akan lebih tertata, lebih layak huni, dan sedikit banyaknya kebijakan perpindahan ibu kota tersebut mampu mengatasi sebagian permasalahan sosial perkotaan seperti perumahan.

IKN Kebijakan yang Progresif?

Bila diletakkan kepada gagasan awal, IKN sesungguhnya kebijakan yang progresif dan cukup radikal dalam menyikapi problem ketimpangan pembangunan di Indonesia. Dalam pikiran Andrinof, dengan adanya IKN, maka akan terbentuk pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, sehingga diharapkan mampu memangkas kesenjangan antar-wilayah (Jawa dan non Jawa). Terlebih lagi, selama ini kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial, terbukti gagal mengatasi problem klasik pembangunan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kehadiran IKN diharapkan mampu menggerakkan daerah sekitar IKN, dan hal ini diharapkan dapat memecah magnet tunggal yang selama ini terpusat di Jawa. Jawa terutama Jakarta dan sekitarnya tidak lagi menjadi magnet satu-satunya, dan ini akan memberi efek berjenjang untuk mengatasi masalah sosial-kependudukan seperti kepadatan penduduk yang tinggi di Jakarta, kualitas SDM dan sebagainya.
Selama ini, kebijakan parsial seperti transmigrasi kurang berhasil, jika tidak dianggap gagal, untuk mengatasi problem kependudukan tadi, karena memang yang menjadi magnet adalah Jawa terutama Jakarta sekitarnya.
Mari kita bayangkan, selama ini, umumnya, talenta-talenta terbaik dari luar Jawa akan memimpikan bisa berkarier di Jawa. Jabodetabek dan kota-kota besar di Jawa pun menjadi tujuan utama urbansisasi. Kehadiran IKN sebagai episentrum baru diharapkan mampu mengatasi problem klasik tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada sisi yang lain, kebijakan pindah ibu kota pun diharapkan lebih memudahkan Jakarta untuk menata kotanya, terlebih dengan beban yang dikurangi. Bahkan, kebijakan tersebut pun diharapkan bermanfaat juga untuk Jawa secara umumnya.
Alasannya, selama ini posisi Jawa sebagai magnet tunggal mengakibatkan Jawa pun menderita beban lebih berkait daya tampung dan daya dukung, hal ini menghadirkan masalah sosial yang kompleks hingga persoalan ekologis.
Ingat juga, Jawasentris pun mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian di Jawa yang dikenal subur justru berlangsung secara mengkhawatirkan. Dengan adanya pusat episentrum baru di luar Jawa, yang diharapkan dapat menekan laju alih fungsi lahan tersebut dan dengan demikian gagasan pindah ibu kota berkaitan juga dengan ketahanan pangan.
Dengan demikian, sebenarnya IKN adalah kebijakan yang progresif jika dijalankan dengan benar, tidak gerasa-gerusu, dan sebagainya. Dan sejarah akan mencatat bahwa kita pun mampu membangun kota publik sendiri, mengingat selama ini kita hanya meneruskan kota-kota warisan kolonial.
ADVERTISEMENT
Tapi sekali lagi, proses pembangunannya harus dijalankan dengan benar. Sebab itulah saya memahami kegelisahan seorang Andrinof, salah satu konseptor awal IKN ini, bahwa yang menjadi tantangannya adalah ego-ego politik yang sempit, dan proses pembangunannya dikhawatirkan tidak mengutamakan pertimbangan tekonkratis yang matang. Dan jika yang terjadi demikian, sejarah akan mencatat IKN sebagai catatan kelam kegagalan kebijakan pembangunan.