Konten dari Pengguna

Jokowi dan Warisan Orde Baru yang Menyejarah

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
22 September 2024 9:42 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Jokowi dan Prabowo (Foto diambli dari presidenri.go.id https://www.presidenri.go.id/foto/presiden-jokowi-bertemu-prabowo-di-istana-merdeka/ )
zoom-in-whitePerbesar
Foto Jokowi dan Prabowo (Foto diambli dari presidenri.go.id https://www.presidenri.go.id/foto/presiden-jokowi-bertemu-prabowo-di-istana-merdeka/ )
ADVERTISEMENT
Joko Widodo atau yang biasa disapa Jokowi adalah fenomena menarik dalam politik Indonesia. Mulanya, kehadiran Jokowi dalam pentas politik nasional dianggap sebagai harapan baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, mengingat sosoknya yang dikenal sederhana, merakyat, jauh dari kesan elitis sebagaimana yang banyak tergambar dalam diri politisi dan atau pejabat di Indonesia, dan ia bukan berasal dari keluarga politik yang mapan.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, saat Pilpres 2014, ia berhadapan dengan Prabowo Subianto, sosok yang diidentikan dengan Orde Baru dan dianggap banyak pihak sebagai seorang yang berkecenderungan otoritarian.
Namun beberapa tahun belakangan, demokrasi Indonesia bukan hanya mengalami stagnasi, tetapi bahkan mencapai puncak regresi. Fenomena tersebut menghadirkan banyak kekecewaan di sebagian kalangan pro-demokrasi termasuk mereka yang semula mendukung Jokowi.
Di sinilah pentingnya mengulas buku Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (2005) yang merupakan kumpulan tulisan Vedi Hadiz, ilmuwan sosial Indonesia bereputasi dunia yang kini mengajar di Univ. Melbourne.
Foto Buku Dinamika Kekuasaan karya Vedi Hadiz yang masih aktual dalam menjelaskan fenomena politik kekuasaan yang terjadi belakangan ini (Dok. Pribadi).
Sebenarnya, tulisan tersebut dibuat dalam era 3 pemerintahan, yakni Habibie, Gus Dur dan Megawati. Namun, tesis yang dibangun oleh Hadiz masih relevan untuk menganalisis persoalan politik dan demokrasi di Indonesia hari ini.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya, Hadiz menyoroti sejumlah nada optimisme dari sebagian kalangan ilmuwan mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kejatuhan pemerintahan otoriter Soeharto. Posisi akademik Hadiz berbeda.
Hadiz mengamini bahwa memang ada perubahan institusional antara pemerintahan Soeharto dan sesudahnya, seperti kebebasan sipil dan politik yang meluas. Namun, sifat dari hubungan kekuasaan yang sesungguhnya berlangsung tidak banyak mengalami perubahan. Apa yang disebut sebagai predatory capitalism yang melekat pada Orde Baru terus berlanjut dan turut menopang demokrasi Indonesia (hlm. Xxv).
Lalu apa itu predatory capitalism? Dan bagaimana signifikansi atau relevansinya dalam menjelaskan perkembangan politik dan demokrasi Indonesia hari-hari ini dan lebih khususnya lagi pada pemerintahan Jokowi? 2 pertanyaan penting inilah yang dielaborasi lebih lanjut dalam ulasan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan-tulisannya, posisi Hadiz mendasarkan pada perspektif struktural (ekonomi politik-historis), yang bila kita merujuk perspektif tersebut maka kita akan paham bahwa kondisi belakangan hanyalah salah satu konsekuensi logis dari trajektori demokrasi Indonesia yang sejak awal reformasi adalah demokrasi yang illiberal.
Kritik terhadap Pandangan Jokowi sebagai “Ratu Adil”
Buku Dinamika Kekuasaan (2005) memang tidak membahas perkembangan politik era Jokowi, namun tesis yang dihadirkannya masih sangat aktual dan relevan. Seperti yang kita tahu, belakangan muncul banyak keresahan dan kritik dari sebagian akademisi atas kemandekan dan kemunduruan demokrasi Indonesia di era Jokowi. Padahal, sebelumnya, banyak yang mempersepsikan Jokowi layaknya “ratu adil”. Seorang tokoh dan atau aktor politik yang akan membawa pada pembaharuan dan perubahan.
ADVERTISEMENT
Pandangan kekecewaan terhadap Jokowi terlukis dengan cukup baik, misalnya dalam tulisan Eve Warbuton dalam Jokowi and the New Developmentalism (2017), yang menyebut bahwa pada mulanya, kemunculan Jokowi adalah harapan untuk mendobrak "sistem atau pola" yang lama, tapi yang terjadi selanjutnya Jokowi justru seperti "politisi normal" lainnya yang "bermain" dalam "sistem atau pola" lama dibanding mendobrak sistem. Jokowi, juga seperti halnya Soeharto, yang mengembangkan pemerintahan berdasarkan pada patronase.
Tulisan lainnya, yakni Marcus Mietzner dalam How Jokowi Won and Democracy Survived (2014) bahkan merekam bahwa kemenangan Jokowi dianggap sebagai kemenangan demokrasi, karena kontestan yang saat itu berhadapan dengan Jokowi adalah Prabowo Subianto, seorang mantan petinggi militer era Orde Baru yang disebut dalam berbagai sumber sebagai seorang perwira yang memiliki catatan hitam soal pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Kesalahan pandangan yang menempatkan Jokowi sebagai layaknya “ratu adil” tersebut bila merujuk pada tesis Hadiz, yakni fokosnya pada aktor politik. Sementara posisi teoretis yang dikembangkan oleh Hadiz pada persoalan yang memfokuskan pada struktur sosial, yakni kelas, koalisi-koalisi kepentingan, konflik kekuasaan dan warisan kesejarahan terutama dalam bingkai ekonomi politik.
Dengan demikian, sebagai seorang aktor politik, Jokowi misalnya, bisa saja ia secara tulus memang memiliki “niat baik”. Namun, “niat baik” saja tidak cukup. Ia akan tersandera oleh struktur sosial (kekuasaan), seperti faksi-faksi politik termasuk elite lama dan kepentingannya, sehingga membatasi ruang geraknya dan mau tidak mau harus mengakomodasi kepentingan faksi-faksi politiknya untuk menyokong dan atau melestarikan kekuasaannya. Sehingga, ia pun mengembangkan pola patronase, sesuatu yang sudah lazim dalam politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka, bila mendasarkan pada cara pandang di atas. Kita akan memahami, bahwa meskipun kemenangan Jokowi disebut sebagai kemenangan demokrasi karena berhasil mengalahkan Prabowo, jendral Orde Baru, tapi pada sisi yang lain Jokowi pun dikelilingi juga oleh jendral-jendral Orde Baru lainnya yang juga memiliki berbagai kepentingan.
Berkaca dari hal tersebut saja, kita tentu tidak akan kaget ketika Jokowi gagal menyelesaikan persoalan HAM di masa lalu, sesuatu yang sempat dijanjikannya. Belum lagi jika kita bicara dalam konteks yang lebih luas, seperti bertahannya elite-elite lama yang memiliki kepentingan mempertahankan akses atas sumber daya material.
Pada akhirnya, Jokowi pun mengambil banyak kompromi juga untuk melestarikan kekuasaannya, termasuk dengan aliansi kekuasaan sisa-sisa Orde Baru. Dari sini seharusnya kita tidak kaget ketika Jokowi “terjerat” dalam politik patronase yang sudah menyejarah dalam politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Struktur sosial (hubungan dan sifat kekuasaan) inilah yang menghambat Jokowi untuk menjadi tokoh reformis (perubahan) dan atau semacam “ratu adil”. Ada hubungan yang sifatnya timbal balik antara Jokowi sebagai aktor politik dengan faksi elite tertentu yang masing-masing memerlukan akses terhadap kekuasaan dan penguasaan terhadap sumber daya material.
Predatory Capitalism: Sifat Hubungan Kekuasaan di Indonesia
Lebih jelasnya, posisi teoretik Hadiz adalah bahwa ia tidak menutup mata atas perubahan institusional yang lebih demokratis dan terdesentralisasi pasca jatuhnya Orde Baru. Namun, sifat dari relasi kekuasaan yang menopang rezim lama tidak banyak mengalami perubahan fundamental. Adapun relasi kekuasaan tersebut semacam predatory capitalism (Hlm. Xvi).
Sederhananya, predatory capitalism adalah aliansi yang memiliki kepentingan konkret dan material untuk saling menjamin akses kepada lembaga negara dan sumber dayanya (Hlm 268). Dan tidak berlebihan bahwa pola seperti itulah yang mendasari sifat kekuasaan dalam politik Indonesia yang sangat sulit untuk dibantah.
ADVERTISEMENT
Hadiz pun mencontohkan bahwa naiknya orang seperti Gus Dur yang dianggap memiliki reputasi kredibel sebagai seorang democrat, pluaralis dan sebagainya, tapi tidak bisa dilepaskan dari hasil kompromi elite lama, dan pada akhirnya ia pun terjerat dalam kondisi struktur (hubungan kekuasaan) yang demikian, sehingga mau tidak mau memaksanya untuk turut bermain dalam pola capitalism predatory tersebut guna melestarikan kekuasaan.
Meski akhirnya, pemerintahannya hanya bertahan singkat terutama karena ketidakberdayaan Gus Dur ketika mencoba melawan “aliansi atau faksi lama” yang sebelumnya berkontribusi atas naiknya menjadi presiden. Konsekuensi logisnya, turunnya Gus Dur pun diwarnai sejumlah isu skandal, yang pada sisi lain sebenarnya skandal-skandal tersebut juga dilakukan oleh faksi yang menjatuhkannya juga (Hlm. 254-271). Pemerintahan akuntabel, jargon keadilan sosial dan semacamnya pun sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya yang lain, yakni Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (2004), yang ditulis bersama Richard Robison, keduanya pun menuturkan bahwa sejak awal reformasi, sebagai konsekuensi bertahannya faksi-faksi lama (oligarki) dan hubungan kekuasaan yang bersifat predator tadi, maka yang dihasilkan adalah illiberal democracy.
Dalam illiberal democracy, bahwa meskipun instutusi formal demokrasi nampak bekerja, tetapi praktik-praktik perburuan rente, akumulasi kapital akibat hubungan informal penguasa dan pengusaha masih marak terjadi. Salah satu konsekuensinya, yakni marjinalisasi terhadap kelompok rentan terutama ketika berhadapan dengan agenda kelas dominan (elite oligarki).
Orde Baru dan Warisan yang Menyejarah
Salah satu warisan sentral orde baru adalah terjalinnya kepentingan bisnis dan kepentingan politik birokratik. Kunci keberhasilannya adalah pada kemampuannya untuk menggunakan secara paksa kekuasaan negara serta lembaga-lembaganya, serta mengembangkan jaringan patronase yang didasarkan atas kontrol terhadap sumber daya negara (hlm. 259).
ADVERTISEMENT
Aliansi tersebut didasarkan pada praktik perburuan rente yang disokong oleh negara, terjadi hubungan timbal balik. Kerangka yang demikian justru mengingatkan kita atau sekurang-kurangnya mendekati dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis yang pertama kali terbit tahun 1848 bahwa negara adalah alat perpanjangan kelas pemodal.
Dalam konteks hari ini, aliansi antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik-birokratik ini semakin kukuh salah satunya justru dengan adanya pemilihan umum langsung. Kita tahu, proses pemilu memerlukan biaya tidak sedikit. Di sinilah terjadi pertemuan antara kepentingan bisnis dan politik. Pihak satu memerlukan akses terhadap sumber daya materil tetap terjaga, sementara phak lain memerlukan modal untuk pemenangan guna mendapat kekuasaan.
Faktanya bisa lebih kompleks lagi, seperti halnya di era Orde Baru, bahwa aktor politik dan pebisnis bisa berada pada satu entitas sekaligus, dan ini terus berlanjut hingga hari ini. Namun yang sedikit membedakan, praktik predator yang dimainkan oleh oligarki hari ini mencoba beradaptasi dengan institusi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Warisan Orde Baru lainnya adalah kurang efektifnya gerakan opisisi termasuk dari masyarakat sipil. Kita tahu, selama Orde Baru, kekuasaan amat tersentralisasi yang nyaris tidak memberi ruang bagi pihak yang kritis. Orde Baru pun memberlakukan disorganisasi terhadap masyarakat sipil. Dampak dari pola kekuasaan yang demikian masih terasa hingga kini sehingga sulit bagi kita untuk membayangkan misalnya ada gerakan buruh maupun kelompok lainnya yang efektif untuk benar-benar memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial (Hlm. 11-102).
Berangkat dari pemaparan di atas, maka rasanya sulit kita membayangkan pemerintahan yang akuntabel, termasuk dalam soal tata kelola sumber daya alam, dan menyangkut isu yang lebih luas yakni tumbuhnya demokrasi yang substantif. Dalam persepektif struktural, semakin besar penguasaan sumber daya material ataupun kekayaan kelas dominan (elite-oligarki) di satu sisi, dan pada sisi lain tidak ada kelas dan atau kelompok yang mampu menjadi penyeimbang dan atau tandingan kelas dominan tadi, maka makin besar pula peluang bagi kelas dominan tadi untuk memengaruhi agenda-agenda kebijakan publik, menjarah sumber daya negara, melakukan politisasi hukum dan sebagainya, agar proses-proses politik yang terjadi sejalan dengan agenda kepentingan kelas dominan tadi.
ADVERTISEMENT
Mengagendakan Suatu Proyeksi, Mungkinkah?
Jika kita membaca tesis Hadiz, rasanya sulit bagi kaum pro demokrasi untuk membangun semacam proyeksi ke depan untuk terwujudnya perubahan sosial dan politik yang lebih baik. Barangkali, salah satu kelemahan tesis Hadiz adalah absennya persoalan agensi di tengah persoalan struktur (hubungan dan sifat kekuasaan ekonomi politik) yang sangat kompleks.
Dalam beberapa kasus, gerakan masyarakat sipil nyatanya sukses untuk memperlambat, walau tidak benar-benar mengamputasi, langkah oligarki politik. Hal itu setidaknya terlihat beberapa kali terjadi penundaan pembahasan RUU (Rancangan Undang-undang) yang dinilai akan semakin memperburuk demokrasi dan sebagainya.
Maka, timbul suatu secercah harapan, bahwa kerangka agensi untuk melakukan perubahan dan demokratisasi harus terus diupayakan. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat gerakan masyarakat sipil, yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga masyarakat sipil bisa menjadi kekuatan kritis dan mendesakkan sejumlah wacana yang sejalan dengan demokrasi dan keadilan sosial guna menandingi wacana dan atau agenda dari kelas dominan oligarki.
ADVERTISEMENT