Konten dari Pengguna

Jokowi, Elite PBNU dan Kemiskinan Imajinasi Struktural

Cusdiawan
Alumnus Program Magister Ilmu Politik Unpad dan lulus sebagai wisudawan terbaik di fakultas dengan IPK sempurna. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi Univ. Padjadjaran. Menulis di PMB BRIN, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
9 Juni 2024 18:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Jokowi dan Elite PBNU dalam sebuah acara (Sumber foto: PresidenRI.go.id, https://www.presidenri.go.id/foto/presiden-jokowi-terima-ketua-umum-pbnu/ )
zoom-in-whitePerbesar
Foto Jokowi dan Elite PBNU dalam sebuah acara (Sumber foto: PresidenRI.go.id, https://www.presidenri.go.id/foto/presiden-jokowi-terima-ketua-umum-pbnu/ )
ADVERTISEMENT
Di penghujung masa akhir pemerintahannya, Jokowi kembali menghadirkan kebijakan yang sangat kontriversial dan menuai polemik yang tajam dalam ruang publik. Adapun kebijakan yang dimaksud adalah organisasi masyarakat yang dimungkinkan untuk mengelola tambang, dan organisais masyarakat yang terlihat sangat antusias menyambut kebijakan tersebut adalah PBNU yang merupakan ormas Islam terbesar. Sikap Jokowi dan Elite PBNU ini menunjukkan betapa miskinnya mereka atas imajinasi struktural.
ADVERTISEMENT
Jelas saja, kebijakan pemerintahan Jokowi dan sikap PBNU ini perlu kita koreksi karena bukan hanya menyalahi konstitusi yang di dalamnya mengandung semangat historis yang diwariskan para pendiri bangsa ini, namun kebijakan tersebut juga menyalahi etika pembangunan Islami yang harusnya disadari betul oleh para elite PBNU.
Puncak Penyimpangan atas Pasal 33 ayat 3
Lalu yang jadi pertanyaan, mengapa dikatakan bahwa kebijakan bagi-bagi tambang untuk ormas menyalahi konstitusi? Jawabannya sederhana, orang perlu kembali melihat pasal 33 ayat 3, bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Jadi, bila mengacu pada pasal 33 ayat 3 di atas, yang menguasai kekayaan alam adalah negara untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan sekelompok orang tertentu.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi kebijakan bagi-bagi tambang sarat akan kepentingan politis, sehingga sangat wajar bila publik menilai kebijakan tersebut bagian dari tukar tambah kepentingan politik.
Catatan penting lainnya, selama ini tambang memang menjadi lahan bisnis yang menggiurkan untuk memperkaya diri. Mekanisme yang berlangsung dalam pembagian hasil tambang saja sangat jauh dari semangat redistribusi keadilan, karena lebih banyak menguntungkan pihak korporat atau swasta, sehingga dalam praktiknya sangat jauh dari semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3.
Kekayaan alam yang alih-alih dipergunakan untuk kemakmuran rakyat seluas-luasnya, justru dijarah sehingga menghadirkan kesenjangan yang semakin melebar. Peraturan terbaru yang memungkinkan ormas mengelola tambang adalah puncak dari penyimpangan atas pasal 33 ayat 3 tersebut..
Andrinof Chaniago, Pengajar Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik Universitas Indonesia, yang juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pertama di era Jokowi pun menyayangkan sederet kebijakan kontroversial Jokowi di akhir masa jabatannya, termasuk izin tambang.
ADVERTISEMENT
Menurut Andrinof, dalam acara Rosi di Kompas Tv, alih-alih melakukan koreksi atas mekanisme pembagian hasil tambang batu bara antara negara dan swasta, dan yang ditekankan selanjutnya adalah bagiamana hasil tambang tersebut lebih banyak didistribusikan dan atau menyasar usaha rakyat menengah ke bawah, dan tidak lagi menjadi lahan basah para pebisnis untuk memperkaya diri. Jokowi justru menerbitkan peraturan yang membolehkan ormas mengelola pertambangan yang semakin menjauhkan diri dari semangat konstitusi dan ekonomi kerakyatan.
Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Pembangunan Islami
Dalam banyak doktrin Islam, banyak ayat-ayat yang memerintahkan umat manusia untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi, berlaku adil dan sebagainya. Hal inilah yang seharusnya menjadi pondasi etika Islami, termasuk dalam memandang pembangunan.
ADVERTISEMENT
Etika artinya prinsip dasar yang harusnya dipegang teguh. Dalam konteks inilah, etika Islami berkesesuaian dan bahkan harusnya mendukung agenda pembangunan berkelanjutan. Apa itu pembangunan berkelanjutan? Definisi paling sederhana dari pembangunan berkelanjutan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh World Commission on Environment and Development (1987), yakni pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Implikasi dari definisi paling standar tersebut adalah bahwa yang disebut pembangunan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tetapi juga tidak boleh memangkas apa yang harus dimikiki oleh generasi mendatang.
Persoalannya, praktik pertambangan batu bara selama ini, bukan hanya akan memangkas apa yang harus dimiliki oleh generasi mendatang, karena terbukti menghadirkan kerusakan pada aspek lingkungan hidup, tetapi juga gagal memenuhi kebutuhan masyarakat yang hidup hari ini karena pembagian hasilnya lebih banyak menguntungkan pebisnis dan tidak berdampak pada kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat, bahkan kepada masyarakat di sekitar pertambangannya sekalipun.Pertambangan batu bara justru kerap menghadirkan konflik antara masyarakat sekitar dengan koalisi pengusaha dan negara.
ADVERTISEMENT
Hal yang patut kita sesalkan, jika kegiatan pertambangan batu bara terbukti merusak ekologis, penuh dengan praktik ketidakadilan, dan jauh dari semangat Islami. Lalu mengapa ormas besar seperti PBNU yang harusnya kritis terhadap praktik pertambangan batu bara selama ini, justru menyambut baik izin ormas terhadap tambang?
Sebagai ormas Islam, harusnya PBNU mendukung wacana pembangunan berkelanjutan, karena sejalan dengan etika pembangunan yang Islami. Bukan menjadi aktor yang justru akan melanggengkan dan semakin mengkondusifkan praktik pembangunan yang semangatnya jauh dari aspek keberlanjutan.
Miskin Imajinasi Struktural
Hal yang sangat disesalkan adalah bagaimana miskinnya imajinasi struktural yang bukan hanya terjadi di level elite politik, tetapi juga di level ormas keagamaan. Struktural yang di maksud di sini dalam pengertian hubungan ekonomi politik atau relasi kekuasaan ekonomi politik dalam mempertahankan sumber daya materil dan bahkan memperluasnya yang pada pangkalnya bertujuan untuk mengkondusifkan kepentingan privat akumulasi kapital.
ADVERTISEMENT
Selama ini, pertambangan menjadi lahan yang kondusif untuk mengakumulasikan kapital tadi, dan berdampak juga atas kesenjangan sosial-ekonomi dalam Indonesia kontemporer.
Mari kita membayangkan, jika selama ini kekayaan alam benar-benar dikuasai negara untuk kepentingan kemakmuran rakyat seluas-luasnya. Maka berapa banyak uang dari hasil batu bara tadi untuk kepentingan masyarakat luas, seperti menguatkan usaha ekonomi masyarakat menengah ke bawah, membangun infrastuktur dasar di daerah-daearh pinggiran lebih maksimal lagi, meningkatkan fasililtas universitas-universitas di luar Jawa, dan atau mensubsidi pendidikan lebih masif lagi.
Masalah di atas, harusnya benar-benar ada di kepala elite politik, jika visi bernegaranya di dasarkan pada semangat konstitusi dan kesejahteraan masyarakat. Ormas pun harusnya bertindak sebagai agen kritis yang mengoreksi praktik ketidakdilan yang disebabkan kondisi struktural. Namun sayangnya, elite politik maupun elite ormas seperti PBNU justru miskin akan imajinasi struktural.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi kondisi saat ini, pemerintah harusnya mulai meminimalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang berbasiskan pada sumber ekstraktif dan mengusahakan secara sungguh-sungguh transformasi energi. Kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumber ekstraktif, bukan hanya tidak akan menghasilkan pertumbuhan yang berkualitas, malahan yang terjadi adalah pertumbuhan dengan cacat strukural.
Dan untuk ormas seperti PBNU, harusnya bukan hanya teriak-teriak dan sibuk mengkampanyekan persoalan kultural seperti keberagaman dan toleransi, tetapi harus memperjuangkan keadilan sosio-ekonomi juga yang otomatis memerlukan kesadaran struktural. Bukankah, keadilan dan semangat keberIslaman harus berada dalam satu tarikan nafas?
Saya sengaja memilih diksi “miskin imajinasi struktural”, justru karena saya masih berusaha berpikir positif bahwa sikap elite poltik dan ormas di atas terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap persoalan struktur ekonomi politik.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, jika saya menyebut bahwa sikap dan atau perilaku elite di atas justru terjadi bukan karena mereka yang miskin imajinasi struktural, tetapi lebih karena mereka yang sengaja berupaya memanfaatkan kondisi struktural (hubungan ekonomi politik) yang ada dan terbentuk sejak lama justru untuk kepentingan private mereka?
.