Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Joseph Stiglitz dan Globalisasi yang Lebih Adil
10 Desember 2024 13:28 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Globalisasi, sebuah term yang cukup memengearuhi perkembangan ilmu sosial. Dan dalam praktiknya sangat memengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Idealnya, dengan adanya globalisasi, masyarakat dunia menjadi saling terhubung, terjadi pertukaran antar-negara yang mencegah isolasi, dan kesemua itu ditujukan agar masyarakat dunia lebih sejahtera dan efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
ADVERTISEMENT
Martin Wolf dalam Globalisasi Menuju Kesejahteraan (2007) menyebut bahwa tanpa globalisasi kehidupan tidak akan lebih baik dan tidak akan ada kesejahteraan ketika masing-masing negara mengisolasi perekonomian nasional. Hal tersebut, karena globalisasi berfungsi sebagaimana yang dikatakan oleh Sorensen dalam Globalization and the Nation-state (2017), yang memungkinkan terjadi peningkatan hubungan yang signifikan terkait pertukaran antar negara dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya.
Namun, bagi pengkritiknya, globalisasi dipandang sebagai perpanjangan tangan negara-negara industri maju, karena dalam praktiknya sering kali lebih menguntungkan negara-negara maju tersebut pada satu sisi, dan pada sisi lain kerap gagal menyelesaikan persoalan di negara-negara berkembang dan miskin, sehingga yang terjadi adalah ketidakmerataan di antara mereka yang semakin tinggi. Globalisasi pun dipandang lebih bersifat ideologis dalam pengertian untuk mempromosikan fundamentalisme pasar, meskipun operasionalisasinya terjadi kadang-kadang secara terselubung.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh bagaimana kerja globalisasi yang kerap lebih menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, yakni tergambar pada lembaga-lembaga keuangan internasional selalu meminta keterbukaan pasar, yang seolah menjadi resep mujarab termasuk untuk menyejahterakan masyarakat di negara-negara berkembang. Dampak dari anjuran tersebut adalah negara-negara berkembang harus terbuka terhadap investasi asing, dan dalam praktiknya terjadi hubungan yang tidak setara, sehingga negara-negara berkembang relatif kurang memiliki power dalam “meja negosiasi”.
Alih-alih terjadi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi agar negara-negara berkembang ke depannya lebih bisa mandiri termasuk dalam mengelola kekayaan negerinya, yang terjadi justru kepentingan negeri-negeri industri maju itu adalah untuk menguasai kekayaan alam di negara berkembang itu sendiri.
Resep-resep dari lembaga keunganan internasional, yang menjadi salah satu agen utama dalam globalisasi, seolah menjadi resep tunggal yang berlaku untuk semua. Padahal setiap negara memiliki kompleksitas yang berbeda-beda, seperti struktur ekonomi, konteks sosial dan politik dan sebagainya dan hal ini seharusnya berimplikasi pada resep penyelesaian yang berbeda-beda pula.
ADVERTISEMENT
Salah satu kritikus yang layak didengar adalah Joseph Stiglitz, seorang Ekonom peraih nobel, yang juga memiliki pengalaman sebagai penasehat ekonomi Gedung Putih dan pernah berkarir di Bank Dunia. Pengetahuan ekonominya sebagai seorang Professor Ekonomi dan pengalaman kerjanya di pemerintahan maupun Bank Dunia inilah yang menyebabkan pandangan Stiglitz nampak jernih dan solid dalam memandang globalisasi.
Membangun Tata Dunia yang Lebih Adil
Betapapun praktik globalisasi menghadirkan sejumlah permsalahan. Namun rasanya sulit membayangkan kita melepaskan diri dari globalisasi. Maka usaha yang paling mungkin dan strategis, meskipun mengundang tantangan yang tidak mudah juga, yakni merestukturisasi tatanan globalisasi, dengan mengambil banyak manfaatnya di satu sisi, dan pada sisi yang lain berusaha meminimalisasi dampak negatifnya. Di sinilah pemikiran Stighlitz akan menemukan relevansinya.
ADVERTISEMENT
Bila penulis rangkung, beberapa poin yang dipersoalkan dari Stiglitz dalam Making Globalization Work (2007), yakni: (1). Aturan main yang dibuat kurang fair, yang cenderung menguntungkan negara industri maju maupun perusahaan transnasional; (2). Terlalu mengutamakan nilai kebendaan yang kerap mengorbankan nilai lain seperti ekologis; (3). sistem ekonomi yang kerap dipaksakan kepada negara berkembang; (4). Peneglolaan globalisasi yang kerap mencabut sebagian kedaulatan negara-negara berkembang termasuk dalam mengambil berbagai keputusan, dan sebagainya.
Maka untuk mengatasi persoalan globalisasi di atas, sebagai implikasi dari cara pandang Stiglitz, penulis berusaha menafsirkan lebih lanjut mengenai apa yang perlu dilakukan oleh negara-negara berkembang. Pertama, bahwa negara-negara berkembang perlu mendorong agar aturan main dalam globalisasi berlangsung lebih fair, dan ini diperlukan keberanian lebih. Satu atau dua negara, suaranya mungkin kurang berdampak secara politik, tapi bagaimana kalau terjalin suatu solidaritas di antara negara-negara berkembang (seperti Asia dan Afrika)? Tentu akan lebih efektif. Selama ini memang ada ketimpangan relasi kuasa dalam struktur perekonomian (dan politik) global di antara negara berkembang dan maju. Solidaritas di antara negara berkembang akan membantu untuk menaikkan daya tawar dari negara berkembang itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Keduanya, negara-negara berkembang pun perlu secara serius untuk “mengintervensi” resep pasar bebas (atau fundamentalisme pasar) yang kerap digencarkan oleh agen globalisasi seperti IMF. Bila berkaca pada Stiglitz, kesejahteraan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Diperlukan suatu intervensi pemerintah yang terukur. Bagaimanapun, pasar bebas rentan terjadi hubungan yang eksploitatif di antara pihak yang memiliki kapital (dan power) dengan yang lemah.
Ketiganya, diperlukan kesadaran bagi pemerintahan negara-negara berkembang untuk secara serius menerapkan pembangunan berkelanjutan. Bagaimanapun, ada biaya yang tidak sedikit dari pembangunan yang bersifat ekstraktif, baik biaya sosial maupun biaya ekologis, dan implikasinya adalah surplus neraca perdagangan yang akan terkuras banyak untuk mengatasi dampak dari pembangunan yang ekstraktif tersebut.
Namun, terlepas dari berbagai dampak negative dari praktik globalisasi, Stiglitz tidak menutup mata bahwa globalisasi pun berpotensi menghadirkan kebermanfaatan. Dalam tulisannya, yakni Globalization and Discontents (2002), Stiglitz merujuk pada kasus negara-negara Asia Timur yang memperoleh tingkat pertumbuhan yang mengagumkan, dan salah satunya karena adanya globalisasi.
ADVERTISEMENT
Maka, hal yang perlu dilakukan secara bersamaan dengan upaya-upaya yang telah dirumuskan di atas adalah dengan memanfaatkan pasar global guna meraih keuntungan di dalam negeri (negara-negara berkembang), salah satunya dengan mengekspor produk-produk yang bernilai tambah, dan meminimalisasi untuk tidak mengekspor bahan-bahan mentah. Dalam konteks ini, diperlukan kebijakan strategis berjangka panjang, terutama untuk memperbaiki indeks pembangunan manusia di negara-negara berkembang (termasuk dalam mengasah kreativitas dan sebagainya), karena dengan jalur inilah selanjutnya yang lebih memungkinkan negara-negara berkembang untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat positif dari pasar global. Di sini, mengembangkan pola market governed, sebagaimana yang dipraktikan Korea Selatan menjadi hal penting.
Pembelajaran untuk Konteks Indonesia
Stighlitz dalam wawancaranya bersama Tempo dengan tajuk Indonesia Perlu Agenda Baru (2020) menyayangkan konsensi eksploitasi sumber daya alam yang kerap diberikan pemerintah Indonesia, yang dinilai olehnya terlalu panjang, dan terkadang kurang memperhatikan potensi perubahan buruk yang terjadi dalam evolusi pasar. Ia menyarankan agar Indonesia lebih berani untuk mengelola kekayaan alam sendiri dibanding bagi hasil dengan perusahan-perusahaan multinasional, karena kebermanfaatannya akan lebih besar bagi negara.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Cina dan India berani melakukan pembatasan capital flow. Dalam konteks ini, negara-negara tersebut tidak menginginkan pihak luar yang datang ke negara mereka hanya membawa uang, tapi harus membawa manfaat yang berjangka panjang, seperti pihak asing ini harus menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat secara meluas. Dalam kasus Thailand memang kurang berhasil, tapi pembelajaran penting di sini adalah bahwa hal tersebut akan lebih efektif dan berdaya jika dilakukan secara bersama-sama, Stighlitz menyebutnya semacam “inisiatif Asia”.
Mari bayangkan jika pemerintah kita secara serius melakukan hal tersebut, maka kerjasama dengan pihak asing akan berdampak secara signifikan dalam memangkas pengangguran, dan hal ini akan berkorelasi secara positif untuk memangkas kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Namun, untuk meningkatkan daya tawar dalam “meja perundingan”, kita pun perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan negara-negara berkembang lain untuk melakukan hal serupa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, seperti yang sudah disinggung pada sub bab sebelumnya, bahwa untuk mengambil manfaat positif dari globalisasi, pemerintah kita pun perlu “berinvestasi” jangka panjang secara serius untuk kebijakan seperti dalam bidang pendidikan. Meningkatkan mutu sumber daya manusia, umumnya akan bermanfaat untuk menjadikan bangsa kita memiliki daya saing tinggi dalam arus globalisasi. Meningkatkan kualitas manusia, salah satunya jelas diperlukan bagi struktur perekonomian yang didasarkan pada industrialisasi guna menghasilkan produk-produk bernilai tambah. Poin penting lainnya, bahwa bagi Stiglitz, kita pun tidak bisa mengabaikan land reform.