Kerumitan dan Tanggung Jawab Etis Ilmuwan Politik

Cusdiawan
Penulis adalah sarjana ilmu sejarah dengan konsentrasi sejarah politik di Univ. Padjadjaran, dan menyelesaikan studi master di Ilmu Politik pada universitas yang sama. Menulis di berbagai laman, seperti PMB LIPI, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2024 18:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi saat meneliti buruh tani di Indramayu (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi saat meneliti buruh tani di Indramayu (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Menjadi ilmuwan politik bukanlah hal mudah. Fenomena politik di “layar depan” belum tentu menunjukkan realitas yang sebenarnya, dan bukan hanya itu, persoalan yang sesungguhnya justru kerap kali ditentukan di “layar belakang”, fenomena di “layar belakang” ini sangat kompleks, dan sering kali lebih kompleks dari yang diperkirakan. Dan untuk mengetahui apa yang terjadi di “layar belakang” tersebut menuntut kita untuk kuat “ke dalam juga” (relasi dengan elite misalnya), tapi itu pun tidak menjamin bahwa info yang kita peroleh benar-benar faktual dan benar-benar yang mendasari (inti) persoalan, terlebih di era politik yang sarat akan transaksional. Ditambah, tubuh politik itu tidak diatur oleh “hukum yang bersifat ajeg”, yang berbeda dengan tubuh biologis, sehingga menyebabkan bukan hanya sifat politik yang sangat dinamis, tapi sering kali sulit diprediksi.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang lebih sulit dari kerumitan di atas, yakni ilmuwan politik pun memiliki tanggung jawab etis untuk berupaya mewujudkan perubahan sosial yang lebih berkeadilan. Hal ini dikarenakan dalam ilmu politik dikenal paradigma kritis yang mengandaikan pertautan antara teori praksis.
Layar Belakang Seringkali Lebih Kompleks dari Layar Depan
Ada berbagai contoh fenomena politik yang sulit untuk diteliti. Misalnya, pertarungan ekonomi-politik di belakang layar dalam soal wacana kebijakan publik. Tarik menarik kepentingan berbagai aktor, usaha lobi-lobi politik dan sejenisnya yang sering sekali sulit untuk diverifikasi sehingga terkadang yang bisa diajukan oleh pengamat atau peneliti politik adalah hal-hal yang sifatnya dugaan. Politik transaksi di bawah meja tentu bukan suatu hal yang ditampilkan di layar depan oleh para aktor politik, dan sekali lagi mengamati dan memverifikasi politik transaksional di bawah meja ini bukanlah hal mudah. Sementara itu, fenomena di layar belakang sering kali jauh lebih kompleks dari apa yang ditampilkan di layar depan, dan fenomena di layar depan sendiri lebih banyak ditentukan oleh proses yang terjadi di layar belakang.
ADVERTISEMENT
Fenomena belakangan yang sangat menghebohkan misalnya menyoal pencalonan Gibran. Betapapun tanda-tanda perbedaan atau keretakan antara Jokowi dengan PDI P sudah sedikit terlihat, tetapi tidak ada analis yang memprediksi sebelumnya (satu atau dua tahun lalu) bahwa pencalonan Gibran akan terjadi, setidaknya sebelum wacana tersebut muncul ke permukaan. Seorang ilmuwan yang dekat dengan Jokowi bahkan tidak menyangka langkah tersebut akan diambil oleh Jokowi.
Fenomena di atas hanya sedikit contoh betapa tubuh politik seringkali sulit diprediksi. Dan selanjutnya, kerja ilmuwan politik untuk menyelidiki proses politik yang terjadi di belakang layar terkait pencalonan Gibran pun adalah tantangan tersendiri. Selain memerlukan relasi yang kuat ke dalam (elite) untuk misalnya meneliti bagaimana lobi-lobi yang memengaruhi fenomena tersebut tentu bukan hal mudah. Karena, orang awam terhadap politik sekalipun pasti paham bahwa nyaris mustahil suatu kerja politik tanpa ada lobi-lobi yang bermain di belakang layar.
ADVERTISEMENT
Persoalan selanjutnya, dan jika pun seorang ilmuwan memiliki relasi yang kuat, belum tentu juga info yang diungkap oleh para informan adalah suatu kebenaran. Siapa juga yang benar-benar tahu kondisi batin seseorang, terlebih lagi ketika yang diteliti adalah hal yang sensitif misalnya bagi yang bersangkutan. Proses verifikasi data meskipun sudah ada standar metodologi tetap akan dihadapkan pada kerumitan. Ini hanya salah satu gambaran betapa rumit dan tidak mudahnya menjadi ilmuwan politik.
Teori dan Praksis dalam Ilmu Politik
Di atas penulis sudah memaparkan contoh kerumitan menjadi ilmuwan politik. Namun, persoalannya tidak behenti di situ, ilmuwan politik tidak hanya mendiagnosis masalah, mendeskripsikan fenomena empiris ataupun menginterpretasikannya, tetapi juga turut memberikan resep atas berbagai persoalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seorang neo-institusionalis, ia akan berupaya membuat semacam rekayasa institusi untuk membuat proyeksi desain institusi apa yang relevan diterapkan untuk suatu negara atau lembaga, sehingga desain institusi tersebut sekurang-kurangnya bisa mengantisipasi potensi dari serangkaian permasalahan yang ada, dan bahkan mampu mengatasi beragam masalah itu. Menurut hemat saya, ini menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab besar bagi ilmuwan politik, mana kala ia salah memberikan resep terkait desain institusi tadi, maka yang bisa dirugikan bukan hanya satu atau dua orang, dan bahkan satu negara.
Hal tadi berlaku juga, misalnya ilmuwan politik menganalisis beragam permasalahan masyarakat kemudian hasil penelitiannya dijadikan rujukan untuk membuat suatu kebijakan publik guna mengatasi beragam masalah masyarakat tersebut, maka yang bisa dirugikan bisa satu negara.
ADVERTISEMENT
Dalam paradigma dan atau kasus lainnya misalnya. Dalam ilmu sosial maupun politik dikenal paradigma kritis. Paradigma kritis ini menekankan pada kritik imanen yaitu kritik pada struktur yang menindas. Proyeksi teoretik yang dibangun adalah bahwa teori berkaitan dengan praksis, dan dalam konteks ini kerja ilmu sosial maupun politik juga bertanggung jawab untuk mewujudkan perubahan sosial dan keadilan.
Paradigma kritis biasanya digunakan untuk mengkaji subjek-subjek yang mengalami ekslusi, yakni mereka yang papa, marjinal dan sebagainya. Tugas dalam penelitian ini, bukan sekedar berbicara mengenai suatu fenomena dan menginterpretasinya, tetapi juga bagaimana terbangun relasi yang bersifat intersubjektif antara peneliti dan subjek yang diteliti. Dan lebih dari itu, tanggung jawab besarnya, yakni bagaimana agar penelitian yang dihasilkan bukan sekedar untuk pengembangan akademik belaka, tetapi bermanfaat secara praksis dan turut mengupayakan terjadinya prubahan sosial dan keadilan bagi mereka yang marjinal dan papa ini.
ADVERTISEMENT
Itu artinya, kerja ilmuwan politik dengan paradigma kritis ini mengandaikan bagaimana agar mereka yang kurang atau bahkan tidak memiliki akses terhadap sumber daya kemudian bisa berpartisipasi secara aktif dalam politik kewargaan, termasuk dalam merumuskan pembangunan sehingga mereka yang mengalami ekslusi ini lebih didengar dan lebih merasakan sebaran manfaat dari berbagai kebijakan atau pembangunan tersebut.
Bagi seorang ilmuwan politik, cara kerja yang demikian adalah salah satu upaya untuk mewujudkan demokrasi yang lebih substantif, yang salah satu syaratnya bila mengutip Larry Diamond dan Leonardo Molino dalam Assesing the Quality of Democracy (2005), yakni tereduksinya ketimpangan sosial.
Sekali lagi, ini adalah tanggung jawab moral yang besar bagi ilmuwan politik dan tentu bukan hal mudah juga. Ilmuwan politik, bukan sekedar mendiagnosis dan atau menganalisis fenomena yang ada. Lebih dari itu, bagaimana agar pengetahuan-pengetahuan tersebut mempunyai kekuataan praksis. Jadi, siapa bilang menjadi ilmuwan politik itu mudah?
ADVERTISEMENT