Konten dari Pengguna

Dekolonisasi Museum: Mengungkap Narasi Sejarah yang Terlupakan

Cut Meurah Rahman
A Storyteller and SEA Research Enthusiast - Museum Educator at Museum Indonesia - BSc in History at Sakarya University, Turkiye
10 Juli 2024 9:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cut Meurah Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pengunjung melihat caption lukisan di Galeri Nasional di Jakarta Pusat. Sumber gambar: Zalfa Imani
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjung melihat caption lukisan di Galeri Nasional di Jakarta Pusat. Sumber gambar: Zalfa Imani
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Warisan Afrika tidak seharusnya hanya berada di koleksi pribadi dan museum Eropa. Warisan Afrika tidak hanya harus dipamerkan di Paris, tetapi juga di Dakar, Lagos, dan Cotonou," kata Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dalam kunjungan ke Burkina Faso pada 2017 silam. Pernyataan ini telah memicu negara-negara Eropa lainnya untuk mengambil tindakan serupa, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda untuk mengembalikan koleksi warisan Afrika dan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk mengembalikan artefak maupun objek sejarah dan budaya di masa lampau oleh bekas negara penjajah disebut dekolonisasi. Saat ini jumlah artefak yang berhubungan dengan Nusantara ada banyak sekali berada di luar sana.
Di Rijksmuseum ada sekitar 20.000 koleksi sedangkan di Tropenmuseum sendiri ada sekitar 25.000 koleksi yang berkaitan dengan Indonesia. Kedua museum tersebut telah melakukan dialog dengan pemerintah Indonesia akan segala kemungkinan untuk mengembalikan koleksi-koleksi tersebut.
Pada Maret 2020, Keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro berhasil kembali ke tanah air melalui penyerahan simbolik yang dilakukan oleh Raja Willem Alexander kepada Presiden Jokowi. Keris ini dibawa oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens pada tahun 1831 dan menjadi koleksi yang dipamerkan di Museum Volkenkunde, Leiden. Setelah 189 tahun, koleksi ini kembali ke Indonesia dan sempat dipamerkan di Galeri Nasional dalam tajuk “Pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara.”
ADVERTISEMENT
Selain itu masalah pendanaan yang dialami oleh beberapa museum di Belanda memaksa mereka untuk mengembalikan koleksi-koleksi tersebut secara bertahap seperti yang dialami oleh Museum Nusantara di kota Delft.
Perjalanan pengembalian warisan budaya telah dimulai sejak awal kemerdekaan, tepatnya saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Upaya ini terus berlangsung hingga saat ini. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, menyatakan bahwa repatriasi ini tidak hanya tentang memindahkan koleksi dari Belanda ke Indonesia, tetapi juga mengungkap makna yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
"Sebelum benda-benda tersebut kembali ke Indonesia, kedua komite repatriasi dari Indonesia dan Belanda telah bekerja sama dalam serangkaian pertemuan dan diskusi untuk membahas arti penting dari benda-benda tersebut bagi kedua negara, baik di masa lalu maupun saat ini," kata Hilmar di Museum Volkenkunde, Belanda, pada Juli 2023.
ADVERTISEMENT

Narasi Kolonialisme

Museum secara historis memiliki kekuasaan dan otoritas untuk mendefinisikan dan membatasi pengetahuan, yang sering kali mengarah pada penghapusan atau pembungkaman budaya dan narasi Pribumi. Abad ke-16 di Eropa, museum digunakan untuk barang jarahan dari negara-negara yang dijajah.
Ini merupakan simbol dominasi kolonial Barat atas budaya lain. Praktik menampilkan artefak sebagai bukti superioritas budaya dan politik ini telah memiliki dampak yang bertahan lama terhadap identitas nasional dan telah berkontribusi pada narasi sejarah yang bias yang sebagian besar mencerminkan perspektif kolonial.
Akibatnya hingga saat ini narasi dalam museum bias, sering kali mengesampingkan suara-suara dari kelompok terpinggirkan. Bias ini diperparah oleh kurangnya keberagaman dalam bidang museum itu sendiri, yang masih didominasi oleh kulit putih, dan tidak mencerminkan keragaman populasi umum.
ADVERTISEMENT
Museum di Indonesia pada umumnya bercerita terkait etnografi khususnya museum yang dikelola oleh pemerintah provinsi maupun nasional. Meskipun demikian, ada banyak museum yang dinarasikan dari perspektif kolonial. Upaya untuk mengubah narasi tersebut masih dikerjakan hingga saat ini.
Seperti halnya Museum Aceh yang awalnya dibangun pada tahun 1915 sebagai museum etnografi. Pasca-kemerdekaan, narasi museum tersebut dinasionalisasi dan berfungsi sebagai museum provinsi. Saat ini, para peneliti dan pekerja museum berusaha untuk melakukan penelitian terkait asal-usul koleksi tersebut dan mendekolonisasi koleksi kolonial tersebut.
Dekolonisasi museum merupakan perjalanan penting bagi merawat sejarah Indonesia. Koleksi-koleksi tersebut bagai kepingan-kepingan yang apabila terkumpul menjadikan narasi pemersatu yang kokoh. Proses panjang ini harus dirawat oleh masyarakat umum agar pengetahuan akan sejarah lokal masih terjaga hingga generasi anak bangsa ke depan.
ADVERTISEMENT